Rumah susun (rusun) muncul untuk mengatasi kebutuhan masyarakat dalam hal tempat tinggal. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini tengah membenahi pengelolaan rusun di Jakarta, salah satunya Rusun Muara Baru.

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. (Ketentuan Umum UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang selanjutnya disebut dengan UU Rumah Susun)

Rusun memiliki beberapa jenis, yaitu, rusun umum untuk masyarakat berpenghasilan rendah, rusun khusus untuk memenuhi kebutuhan khusus, rusun negara yaitu untuk penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan pegawai negeri yang difungsikan sebagai tempat hunian, dan rusun komersial yaitu rusun yang diselenggarakan untuk mencari keuntungan.

Di dalam satu rumah susun terdapat beberapa satuan rumah susun yang disebut sebagai sarusun. Satuan rumah susun ini adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Sarusun ini dapat dimiliki ataupun disewa. Dalam hal sarusun ini dibeli maka pembeli mendapatkan apa yang disebut sebagai sertifikat hak milik (SHM) atas sarusun tersebut.

Yang menjadi akar permasalahan dalam hal mendapatkan kepemilikan itu ada yang disebut dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Namun sangat disayangkan bahwa PPJB ini dilakukan dalam kondisi bangunan belum seutuhnya jadi, yaitu, hanya 20% sebagaimana digariskan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 yang menyatakan PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

Status kepemilikan tanah;
Kepemilikan IMB;
Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
Hal yang diperjanjikan.

Dari sisi inilah kita dapat menilai, apakah konsumen terlindungi dengan dibangunnya rusun yang baru mencapai 20%? Padahal konsumen tidak pernah tahu dengan jelas isi PPJB seperti apa. Hal tersebut seperti membeli kucing dalam karung, demikian ungkap Sekretaris Jenderal Aperssi, Aguswandi Tanjung. Pendapat tersebut diperkuat fakta, bahwa ikatan tanda jadi saat konsumen memberikan uang adalah uang tidak kembali jika terjadi sesuatu pada pembangunan rusun.

Inilah yang menjadi protes utama dari Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji HN. Ia menegaskan bahwa UU Rumah Susun tersebut telah gagal menciptakan ketentraman dan kenyamanan bertempat tinggal di rumah susun. Ibnu Tadji juga mengungkapkan sekarang ini, kita tak pernah tahu dengan jelas isi PPJB seperti apa, jadinya seperti membeli kucing dalam karung.

Pada dasarnya, PPJB ini merupakan suatu perjanjian jual beli yang umum. Sebagaimana perjanjian jual beli pada umumnya, PPJB ini juga tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah kontrak sebagai berikut:

Adanya kesepakatan yang artinya bahwa para pihak yang terikat sepakat untuk mengikatkan diri tanpa ada paksaan, penipuan atau ancaman dari pihak lainnya. Paksaan yang dimaksud adalah apabila salah satu pihak memberikan persetujuan karena ia takut terhadap suatu ancaman baik itu ancaman fisik ataupun yang bersifat psikis. Penipuan yang dimaksud adalah memberikan keterangan tidak benar, tipu daya sehingga pihak lain terbujuk untuk memberikan persetujuan;

Kecakapan para pihak. Cakap dalam pengertian ini adalah layak melakukan hubungan hukum dan dianggap telah dapat bertanggung jawab. Seseorang dikatakan cakap apabila telah mencapai usia 21 tahun menurut KUHPerdata atau sudah menikah. Para pihak juga tidak ada dalam pengampuan (bukan orang yang hilang ingatan, gila, ataupun orang yang mengalami gangguan secara psikis sehingga harus berada di bawah pengampuan). Orang di bawah 21 tahun dapat melakukan perjanjiannya melalui wali/orang tua. Sementara orang yang menderita gangguan pada psikisnya, jika hendak melakukan perjanjian harus diwakilkan melalui pengampunya;

Objek perjanjian yakni hal yang diperjanjikan, selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan prestasi;

Kausa yang halal, perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan maupun ketertiban umum
Kembali pada masalah PPJB, dalam hal PPJB tersebut telah memenuhi syarat sah kontrak sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata, PPJB tersebut memiliki kekuatan mengikat sebagaimana digariskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sementara dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 4 memaparkan tentang hak konsumen yang meliputi:

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dengan PPJB dilakukan dalam kondisi bangunan baru sampai 20% sangat memungkinkan terganggunya kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen dalam hal mengkonsumsi barang dan jasa tersebut. Selain itu, dengan isi perjanjian PPJB yang tertutup membuat akses konsumen dalam hal informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang atau jasa yang akan digunakannya menjadi terlanggar juga.

Di dalam Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Bagaimana pengelola dapat menjamin bahwa kondisi sarusun dalam kondisi yang baik dan sesuai dengan harga atau tarif yang diperjanjikan apabila kondisi bangunan belum selesai bahkan baru mencapai seperlima bagiannya?

Apabila memang terjadi kerugian yang harus ditanggung oleh konsumen, secara perdata, akibat konsumen menerima barang/jasa yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, dapat menggugat melalui Pasal 1243KUHPerdata tentang wanprestasi yang menggariskan tiga unsur yaitu:

Tidak melakukan hal yang diperjanjikan;
Melakukan tetapi tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan; atau
Melakukan tetapi lewat batas waktu.

Selain itu, konsumen juga bisa menggugat menggunakan Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Namun jika ditemukan terdapat unsur penipuan perihal kondisi barang yang akan dikonsumsi yang tidak sesuai dengan apa yang sudah diperjanjikan maka konsumen juga dapat melaporkan pihak pengelola atas dasar Pasal 378 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat maupun dengan karangan-karangan perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

Adanya kepalsuan dan perkataan bohong dan menggerakan pihak konsumen untuk menyerahkan uang (dengan cara membeli) seharusnya sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan ini. Konsumen pun dapat membatalkan perjanjian atas dasar bahwa kesepakatan yang dibentuk ternyata mengandung unsur penipuan.

TIM HUKUM GRESNEWS.COM

BACA JUGA: