Hilda Arum Nurbayyanti, Akatiga

Untuk mengatasi pemukiman kumuh di kawasan perkotaan yang terus meningkat akibat urbanisasi, biasanya pemerintah menggusur, merelokasi (pemindahan penduduk ke daerah lain), dan memperbaiki lingkungan.

Namun, studi dari Cities Allience, sebuah kemitraan global untuk mengatasi kemiskinan urban dan mendukung pembangunan kota berkelanjutan, menyimpulkan bahwa penggusuran dan relokasi tidak menyelesaikan masalah pemukiman kumuh di kawasan perkotaan; perbaikan lingkungan adalah upaya yang lebih baik.

Tim peneliti Akatiga, pusat analisis sosial, telah menerbitkan laporan akhir terkait keberhasilan warga kelurahan Suryatmajan, Kecamatan Danurejan, Yogyakarta, mengubah pemukiman kumuh perkotaan menjadi kawasan layak huni di bawah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan (PNPM Perkotaan).

Kami menemukan dua kunci utama dari keberhasilan ini, yaitu membuat program yang melibatkan masyarakat setempat dan memperkuat institusi lokal.

1. Mendukung dan melibatkan masyarakat

Tim kami meneliti enam kelurahan penerima program PNPM Perkotaan, salah satunya adalah Kelurahan Suryatmajan di Yogyakarta, selama kurang lebih enam bulan.

Kriteria pemilihan kelurahan meliputi proporsi rumah tangga miskin, ragam infrastruktur yang dibangun, dan tipe intervensi PNPM Perkotaan.

Program ini menyediakan tenaga fasilitator kelurahan untuk merencanakan desain perkampungan bersama masyarakat dan para ahli.

Kami menemukan bahwa para fasilitator telah melibatkan dan berkonsultasi dengan warga setempat secara langsung.

Mereka akan mengirimkan desain lingkungan dan rumah kepada warga yang dapat mengakses melalui komputer atau telepon genggam.

Sebaliknya, warga juga berperan aktif memberikan masukan atas rencana tersebut.

Dengan demikian, proses perencanaan berjalan dua arah.

Faktor penting lainnya adalah para fasilitator bisa memberikan contoh yang relevan dengan konteks lokal, yaitu kesuksesan penataan bantaran Kali Code di Yogyakarta.

Pada 1984, seorang arsitek dan rohaniwan Katolik, Y.B. Mangunwijaya, atau lebih dikenal dengan Romo Mangun, berhasil menata kawasan kumuh di Kali Code, yang terletak di tengah-tengah kota Yogyakarta.

Romo Mangun berhasil mengubah Kelurahan Code di bantaran Kali Code, menjadi kawasan tertata rapi sehingga menarik wisatawan untuk berkunjung.

 

Hal ini menginspirasi warga Kelurahan Suryatmajan untuk melakukan hal yang sama dengan dukungan dari proogram PNPM Perkotaan.

Mereka memperbaiki jalan inspeksi antara sungai dan permukiman, merehabilitasi rumah, membuat saluran air hujan, membangun saluran dan pengolahan limbah, membangun pagar dan tanggul sungai, membuat ruang terbuka hijau (RTH), serta memasang aksesoris jalan lain.

Kami menemukan bahwa para fasilitator berkonsultasi tentang desain dengan komunitas arsitek, yang merupakan penerus dari Romo Mangun, untuk program PNPM yang mengubah kawasan kumuh menjadi layak huni.

Hasilnya, program ini bisa memberikan dampak positif secara fisik, sosial, dan ekonomi.

Dari segi fisik, masyarakat dan fasilitator bekerja sama memperbaiki infrastruktur sanitasi, akses jalan, drainase, hingga rumah-rumah yang tidak layak huni.

Dari segi sosial, kami menemukan bahwa masyarakat mulai merasakan bangga dan tidak malu dengan kawasan tinggal mereka karena perubahan tampilan dan terhubung dengan kawasan perkotaan lainnya.

Dari segi ekonomi, kawasan tersebut berubah menjadi salah satu destinasi wisata di Yogyakarta sehingga menjadi sumber mata pencaharian baru bagi warga.

Meski demikian, penelitian kami juga menyebutkan masih ada tantangan lanjutan dari perubahan positif tersebut. Misalnya, ada masalah terkait dengan kepastian kepemilikan lahan, dan potensi peminggiran warga lokal dan warga termiskin akibat pindahnya warga dari wilayah lain ke area yang telah diperbaiki.

2) Institusi lokal yang kuat

Hal berikutnya yang mendukung kesuksesan program pembangunan ini adalah memilih lokasi yang memiliki institusi warga yang kuat, seperti yang ada di Kelurahan Suryatmajan, Yogyakarta.

Studi kami menemukan bahwa masyarakat di lokasi PNPM Perkotaan berpartipasi aktif, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, hingga perawatan infrastruktur dan lingkungan.

Sebagai contoh, sebagian warga bersedia terlibat dalam pekerjaan dengan bayaran yang lebih rendah dari biasanya atau bersedia secara kolektif menyiapkan konsumsi untuk warga yang bekerja.

Selain itu, para kepala lingkungan dan warga juga berinisiatif untuk membuat kesepakatan bersama, seperti tidak mengendarai sepeda motor, membuang sampah sembarangan, dan menjemur pakaian di jalur pejalan kaki.

Hal ini bertujuan agar seluruh warga bisa memanfaatkan jalur pedestrian yang sudah diperbaiki secara nyaman dan aman.

Kesepakatan lainnya adalah mengadakan bazar makanan rutin di sepanjang area pedestrian yang menjadi daya tarik wisata dan memberikan pendapatan alternatif bagi warga setempat.

Warga menggunakan pedestrian yang sudah tertata rapi untuk kegiatan bersama. Yulia Indri Sari, Author provided

Legalisasi tanah sebagai tantangan keberlanjutan

Dari hasil penelitian, tim kami menilai bahwa ada dampak positif saat kita memperbaiki atau meningkatkan kualitas dari pemukiman kumuh perkotaan.

Namun, hal ini juga bisa menimbulkan beberapa dampak negatif, seperti jika warga lain jadi tertarik pindah ke wilayah itu dan berujung meminggirkan warga lokal dan warga miskin di situ.

Perbaikan lingkungan akan memicu kenaikan harga lahan, harga sewa, hingga biaya hidup, dan justru mendorong warga paling miskin keluar dari area yang sudah layak tinggal tersebut.

Pemukiman kumuh biasanya berlokasi pada lahan yang tidak jelas kepemilikannya atau lahan mangkrak. Kebanyakan warga pemukiman kumuh tidak memiliki legalitas atas lahan yang mereka tempati.

Konsekuensinya, warga sangat rentan terhadap peminggiran ketika ada kelompok yang memiliki kuasa atau uang untuk mengklaim area tersebut.

Bagi tim kami, program perbaikan permukiman kumuh perlu menggabungkan upaya perbaikan lingkungan dengan penanganan isu legalitas tanah.

Legalisasi tanah untuk warga merupakan instrumen terkuat untuk menjamin keamanan tempat tinggal warga, meski tidak harus hak milik individu.

Alternatif lain adalah memastikan keamanan kepemilikan, contohnya lewat kepemilikan kolektif, sewa jangka pendek yang tidak bisa dipindahtangankan, dan perlindungan dari penggusuran jika berlokasi pada lahan mangkrak.

Dalam menangani permukiman kumuh, pemerintah harus berani melihat gambaran lebih besar dari program mengatasi tantangan keberlanjutan ini.

Butuh kebijakan dan strategi yang jelas dalam melindungi hak tempat tinggal yang layak dengan infrastruktur dasar yang terjamin bagi warga miskin perkotaan, sekaligus kepastian status tanah.The Conversation

Hilda Arum Nurbayyanti, Peneliti, Akatiga

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: