Antoni Putra, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Sejumlah undang-undang (UU) yang menjadi bagian dari Undang-Undang (UU) omnibus Cipta Kerja kembali masuk agenda revisi pada tahun ini. Ini bisa dilihat di daftar Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sebagai UU omnibus, UU Cipta Kerja menggabungkan beberapa aturan (UU) yang berbeda – bahkan dari sektor-sektor yang berbeda serta tidak jelas keterkaitannya satu sama lain – dalam satu peraturan.

Setidaknya ada enam UU dalam UU omnibus Cipta Kerja yang kembali masuk agenda revisi tahun ini, yaitu: UU tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; UU Penyiaran; UU Badan Usaha Milik Negara; RUU tentang Perubahan UU Narkotika; RUU tentang perubahan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan UU Jalan.

Untuk UU yang disebut terakhir, pemerintah bahkan sudah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah RUU tersebut ke Komisi V DPR yang menandakan bahwa pembahasannya akan segera dimulai.

Dari agenda revisi UU Jalan ini, setidaknya terlihat tiga masalah dalam proses pembentukan undang-undang setelah UU Cipta Kerja disahkan akhir tahun lalu.

Tampak bahwa DPR dan pemerintah tidak memiliki proses perencanaan pembentukan UU yang baik. Hingga kini belum ada acuan penyusunan RUU terkait omnis law. Selain itu DPR dan pemerintah juga terlihat tergesa-gesa dan penyusunan dan revisi UU.

Tidak terencana dengan baik

Sejumlah UU yang menjadi bagian dari UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut belum lama direvisi, namun kini sudah kembali masuk agenda untuk revisi.

Ini merupakan bukti bahwa pemerintah bersama DPR tidak melakukan perencanaan pembentukan UU dengan baik, dengan pengkajian yang matang, dan responsif.

Akibatnya, subtansi dari UU tersebut kembali harus direvisi hanya sesaat setelah disahkan.

Padahal hasil dari revisi yang disahkan pada akhir tahun lalu tersebut belum memberikan dampak apa-apa pada negara dan masyarakat.

Bahkan sejumlah peraturan pelaksana dari UU tersebut baru disahkan pada awal Februari lalu.

Tergesa-gesa

Agenda revisi terhadap sejumlah UU itu juga menjadi bukti bahwa DPR bersama pemerintah menjalankan proses legalisasi dengan tergesa-gesa: belum selesai suatu pembahasan subtansi dilakukan, tapi UU sudah disahkan.

Ini terjadi bukan sekali ini saja. Tahun lalu, pemerintah bersama DPR juga merevisi sejumlah UU yang baru saja disahkan.

Misalnya UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (UU SBDPB) dan UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) yang disahkan pada 17 dan 18 Oktober 2019.

Dalam konteks UU SBDPB dan UU SDA, kedua UU tersebut terkesan dibuat hanya untuk kemudian direvisi melalui UU Cipta Kerja. Revisi kedua UU tersebut masuk dalam Prolegnas 2020 pada 22 Januari 2020 dan draf revisinya melalui RUU Cipta Kerja diserahkan pada 12 Februari 2020.

Apakah ada cukup waktu untuk mengkaji kedua UU itu sejak disahkan pada Oktober 2019 sehingga DPR dan pemerintah dapat menarik kesimpulan pada Januari 2020 harus merevisi?

Kalau memang ada masalah dalam kedua UU itu, mengapa disahkan? Mengapa tidak melakukan pembahasan secara mendalam terlebih dahulu sehingga tidak terburu-buru untuk merevisi kembali?

Kejadian serupa juga terjadi pada tahun lalu ketika UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) direvisi beberapa minggu setelah disahkan, dan bahkan dilakukan dalam masa sidang DPR pada tahun yang sama.


Baca juga: Potensi konflik regulasi dalam RUU Cipta Kerja


Persoalan cara penyusunan

Persoalan berikutnya yang wajib menjadi perhatian adalah cara penyusunan RUU yang sebelumnya telah direvisi melalui UU Cipta Kerja.

Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).

Namun revisi enam RUU ini belum menggunakan pendekatan omnibus law, baik dalam awal pembentukannya maupun penyusunannya sebagai UU yang menjadi bagian dari sebuah omnibus law.

Dalam konteks ini, perubahan suatu UU yang merupakan bagian dari UU omnibus Cipta Kerja tidaklah sederhana.

Revisi tersebut tidak hanya mengubah UU yang bersangkutan saja, melainkan juga mengubah UU Cipta Kerja yang menjadi “rumah” UU tersebut.

Pada tahun ini, ada enam UU bagian dari UU Cipta Kerja yang akan direvisi. Itu artinya juga terdapat enam agenda revisi terhadap UU Cipta Kerja dalam satu tahun masa sidang DPR.

Persoalan dari segi teknik penyusunan ini bahkan sudah muncul sejak tahap penulisan judul UU.

UU PPP mengatur bahwa nama peraturan perundang-undangan perubahan harus memiliki frasa “perubahan” di depan judulnya. Misalnya, UU No. XX tahun XXXX tentang Perubahan UU No. YY tahun YYYY.

Dalam hal ini, perubahan beberapa UU tersebut akan menyebabkan UU Cipta Kerja memiliki penambahan frasa “perubahan” berkali-kali dalam satu tahun masa sidang DPR.

Langkah perbaikan

Ada dua rekomendasi yang ingin saya sampaikan.

Pertama, pemerintah bersama DPR hendaknya menyusun perencanaan pembentukan UU dengan pengkajian dan tidak terburu-buru dalam mengesahkan sebuah UU.

Pemerintah dan DPR perlu melakukan pembahasan subtansi secara mendalam sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari yang menyebabkan UU tersebut harus kembali di revisi dalam waktu yang relatif singkat.

Kedua, DPR bersama pemerintah seharusnya memprioritaskan perubahan UU PPP terlebih dahulu untuk memberikan legitimasi penggunaan pendekatan omnibus law dalam pembentukan UU dan memperjelas teknik penyusunan RUU Perubahan dari UU yang menjadi bagian dari sebuah UU omnibus.

Tanpa adanya perubahan UU PPP, niscaya setiap proses legislasi yang berhubungan dengan UU omnibus akan selalu memunculkan masalah karena DPR dan pemerintah tidak memiliki acuan yang baku dalam menyusun RUU menggunakan pendekatan omnibus law, maupun RUU revisi terhadap UU yang menjadi bagian dari UU omnibus.

Selain merevisi UU PPP, DPR bersama pemerintah seharusnya melakukan evaluasi terhadap perencanaan pembentukan UU.

DPR bersama pemerintah seharusnya tidak hanya asal memasukkan UU ke dalam Prolegnas, melainkan harus berdasarkan penelitian yang mendalam.

Hal ini bertujuan agar UU yang dibentuk benar-benar menjawab persoalan dan tidak menghabiskan waktu dan energi untuk merevisi berulang-ulang.The Conversation

Antoni Putra, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: