Luthfi T. Dzulfikar, The Conversation

Awal bulan ini, forum berisi 17 guru besar alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari berbagai kampus termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta dan Universitas Diponegoro (UNDIP) di Semarang, Jawa Tengah, menerbitkan dokumen yang mengkritik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dokumen ini merupakan pernyataan resmi pertama dari para ilmuwan terkemuka negeri ini terkait polemik BRIN.

Dalam dokumen yang diterima oleh The Conversation Indonesia, salah satu poin yang dikritik adalah keputusan pemerintah untuk membentuk “dewan pengarah” di tubuh BRIN.

Seperti diberitakan, dalam keputusan tersebut, pemerintah juga menunjuk Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebagai ketua dewan pengarah, yang berisiko membuat pelaksanaan riset oleh BRIN menjadi tidak objektif dan berpihak pada kepentingan politik.

Kami berbicara dengan dua profesor yang tergabung dalam forum tersebut untuk menjelaskan kekhawatiran mereka terhadap keberadaan dewan pengarah tersebut di salah satu institusi riset terbesar di Indonesia.

Ketika ranah peneliti diawasi politikus

Siti Zuhro, profesor dan peneliti politik senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang juga merupakan anggota Dewan Pembina The Conversation Indonesia, menjelaskan bahwa keberadaan dewan pengarah tidak sesuai dengan visi awal pembentukan BRIN.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang menjadi dasar pembentukan BRIN tidak mengamanatkan adanya dewan pengarah di dalam lembaga tersebut.

Ia mengatakan hal ini karena keberadaan dewan pengarah atau pengawas bukanlah sesuatu yang wajar di dalam lembaga penelitian.

“Yang jelas dunia riset tidak pernah punya dewan pengarah atau semacamnya,” kata Siti

“Ini dunia akademis, dunia para akademisi, guru besar, doktor, tentu ada rasionalitas dan cara berpikir yang logis. Satu sejarahnya tidak ada dewan pengarah, itu nggak ada. Akademis ya akademis.”

Siti bersama forum guru besar sudah menyerahkan dokumen kepada Kepala BRIN, Laksono Tri Handoko pada awal Juni lalu.

Guru Besar Ilmu Administrasi Negara dan juga mantan rektor di Universitas Gadjah Mada (UGM), Sofian Effendi sepakat dengan pendapat Siti.

Menurutnya, dewan pengarah atau pengawas yang memantau kebijakan riset biasanya hanya ada di negara yang otoritarian atau beraliran komunis – seperti pengaruh Partai Komunis Cina (CCP) pada berbagai institusi riset di negara tersebut – yang menempatkan politikus sebagai pengawas pelaksanaan riset.

Sofian juga menyayangkan bagaimana kursi Ketua Dewan Pengarah BRIN sudah dirancang supaya terikat dengan lembaga yang bersifat politis.

Rancangan itu, misalnya, tercermin dalam Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 yang mengatur kelembagaan BRIN. Peraturan tersebut menyebutkan secara spesifik bahwa Ketua Dewan Pengarah BRIN diisi oleh anggota dewan pengarah lembaga yang membina Pancasila – dalam hal ini Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang juga diketuai Megawati.

“Ini yang menimbulkan kecurigaan, kok wilayah peneliti tahu-tahu mau diawasi politikus? Apalagi dirangkap secara ex-officio (rangkap jabatan) oleh dewan pengawas dari BPIP,” ungkap Sofian.

Ambiguitas riset yang “berbasis Pancasila”

Kedua guru besar khawatir bahwa dengan penunjukan Megawati sebagai ketua Dewan Pengarah BRIN akan membatasi kebebasan akademik.

Saat orasi pengukuhan gelar profesor-nya yang kontroversial belum lama ini pun, Megawati sendiri sudah menyampaikan keinginannya supaya riset di Indonesia “berbasis Pancasila”.

Megawati telah menyampaikan keinginannya supaya riset di Indonesia ‘berbasis Pancasila’ (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

“Pancasila sebagai ideologi negara masa’ mau dipakai sebagai yardstick (tolak ukur) apakah penelitian yang baik atau tidak, relevan atau tidak?” kata Sofian.

Siti menggambarkan bahwa hal ini berpotensi menimbulkan pembatasan terhadap penelitian yang topiknya sensitif atau berseberangan dengan kepentingan pemerintah – dari studi tentang Papua hingga sistem khilafah – dengan dalih menjaga nilai Pancasila.

Hal ini akan memperparah situasi yang sudah memprihatinkan.

Dalam studi yang diinisiasi oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), sebanyak 48,3% dari 102 responden peneliti mengatakan mereka mengalami tekanan dari pembuat kebijakan ketika melakukan riset atau kajian akademik yang mengkritik atau berlawanan dengan pemerintah.

Misalnya, selain topik Papua dan khilafah, menjelang Pemilu 2019 banyak diskusi akademik lain dibubarkan, termasuk pemutaran dokumenter Senyap tentang peristiwa 30 September, serta kajian tentang LGBT atau marxisme. Topik-topik tersebut seringkali dicap berseberangan dengan Pancasila tanpa mempertimbangkan konteksnya secara akademik.

“Terpasung itu, seperti dulu kembali ke masa-masa Orde Baru. Peneliti yang nyemper-nyemper (bersinggungan) sedikit sama Pancasila sudah di-cap ‘bukan kita’,” tambah Sofian.

Berpotensi membuat BRIN menjadi partisan

Kekhawatiran lain yang dimiliki oleh para guru besar adalah potensi BRIN menjadi institusi riset yang partisan dan mendukung kelompok politik manapun yang mengendalikannya.

Saat ini, misalnya, Ketua Dewan Pengarah BRIN, Megawati Soekarnoputri juga merupakan Ketua Umum PDIP.

“Nasib riset kita akan diombang-ambingkan oleh kepentingan jangka pendek dari kekuatan politik,” ujar Siti

Menurut Siti, dengan adanya dewan pengarah yang politis, BRIN bisa saja diarahkan untuk menguntungkan salah satu kelompok politik dalam ajang politik seperti Pemilihan Presiden.

Misalnya, suatu partai atau calon presiden bisa diunggulkan melalui survei elektabilitas yang dikeluarkan LIPI, tempat di mana Siti meneliti dan juga salah satu institusi riset yang kini di bawah koordinasi BRIN.

“Sebelumnya saja kita merasakan, seperti apa lembaga survei yang tadinya LIPI nggak mensurvei, survei untuk pilpres 2014 dan 2019, itu ke mana arahnya? Itu satu contoh,” katanya.

“Nanti itu akan menghasilkan kajian yang partisan, demikian juga intitusi kalau sudah ter-kooptasi (diambil alih), ya partisan jadinya.”

Mayling Oey, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) mengkhawatirkan BRIN bisa menjadi di bawah kendali partai politik. Sumber: CNN Indonesia.

Masih adakah jalan keluar?

Siti mengatakan bahwa untuk meredam berbagai dampak di atas, perlu peran aktif komunitas peneliti untuk senantiasa mengawasi setiap langkah BRIN.

Dalam pertemuan dengan Kepala BRIN, sebenarnya Handoko telah menjamin pada Siti dan rekan-rekannya bahwa peneliti BRIN tidak akan pernah bisa diintervensi. Namun, Siti tetap menegaskan bahwa ia akan terus mengawal berbagai kebijakan BRIN kedepannya.

“Komitmen saya terus terang aja mengajak membuat tim task force (satuan tugas) bagaimana mengawal kebijakan BRIN, khususnya berkaitan soshum [bidang sosial dan hukum] supaya on the right track (di jalur yang tepat).”

Sementara itu, Sofian mengatakan bahwa apabila dewan pengarah tetap ada di BRIN, risikonya akan fatal terhadap iklim riset di Indonesia.

Tapi, ia mengatakan bahwa keadaannya belum terlambat dan masih ada waktu untuk menghapus dewan pengarah dari tubuh BRIN.

Dia menyarankan Presiden Jokowi untuk menarik kembali Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur pembentukan Dewan Pengarah BRIN.

“Yang mengeluarkan Perpres kan presiden, setiap hari bisa mencabut […], paling tidak pasal yang tentang dewan pengawas,” kata Sofian.

“Kalau beliau berpikir sebagai anggota PDIP yang paling taat, dia pasti mengikuti arahan Ibu Ketua kan? Tapi kalau presiden berpikir untuk bangsa, itu yang harus dilakukan.”

“Kalau sudah dibiarkan ada dewan pengarah, bangsa ini semacam harakiri (bunuh diri) pada bidang penelitian, itu pasti akan memandulkan lembaga penelitian kita,” pungkasnya.The Conversation

Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: