Irwandy, Universitas Hasanuddin

Jakarta dan berbagai daerah tujuan mudik lainnya berpotensi akan “panen” kasus COVID-19 dalam beberapa pekan ke depan. Peningkatan kasus ini berasal dari pergerakan orang dalam jumlah besar selama mudik Lebaran pekan lalu dan kini sebagian telah kembali ke Ibu Kota.

Walau ada pembatasan ketat dengan mengurangi layanan moda transportasi umum dan patroli polisi, data Kementerian Perhubungan menunjukkan sekitar 1,5 juta orang telah keluar dari Jakarta dan sekitarnya untuk mudik.

Angka itu diperkuat, misalnya, total kendaraan yang menyeberang ke Sumatera sebelum pelarangan mudik naik 212% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Fenomena ini seperti “pendulum bom waktu” yang siap meledak jika pemerintah pusat dan daerah gagal mengantisipasinya.

Bagaikan ayunan pendulum, arus mudik saat ini membuat arah pusat pertumbuhan kasus bergerak ke luar wilayah Jabodetabek bahkan hingga ke Sumatera. Selanjutnya arus balik akan membuat arah pendulum pusat pertumbuhan kasus bergerak kembali ke Jabodetabek.

Setengah juta kasus baru bisa muncul

Selama April 2021, rata-rata angka positif dari total jumlah tes PCR (positivity rate) Indonesia adalah 11,77%, jauh dari standar minimal WHO, 5%.

Jika kita menggunakan asumsi data ada 1,5 juta pemudik yang telah meninggalkan Jabodetabek dan angka positivity rate adalah 11,77% (minimum 8,97% - maksimum 19,87%), maka diperkirakan ada 170 ribu pemudik yang telah membawa virus Covid-19 ke “kampung mereka”.

Selanjutnya dengan estimasi angka reproduksi (penularan) COVID-19 sebesar 2,87 (minimum 0,48 dan maksimum 6,91), maka beberapa minggu ke depan diprediksi angka kasus baru COVID-19 bisa mencapai 500-an ribu kasus aktif baru (minimum 81.000 - maksimum 1.174.700).

“Potensi angka” setengah juta kasus aktif baru ini sangat menakutkan.

Sepanjang pandemi, rekor kasus aktif terbesar di Indonesia hanya 175 ribuan kasus. Itu saja hampir melumpuhkan sistem pelayanan kesehatan kita pada awal Februari tahun ini.

Kombinasi dari liburan panjang, tingginya mobilitas lokal karena masih diizinkannya tempat keramaian dan wisata beroperasi, masih rendahnya kepatuhan protokol kesehatan, cakupan vaksin dan testing masih rendah hingga masuknya varian virus baru merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan ledakan kasus baru.

1. Libur panjang dan pengalaman masa lalu

Setidaknya ada empat momen yang terjadi sepanjang 2020 yang bisa kita pelajari tentang liburan panjang dan angka kasus harian dan kematian yang meningkat pada 10-14 hari setelahnya.

Momen pertama libur Idul Fitri, Mei tahun lalu, yang menyebabkan kenaikan 68-93% kasus harian dan 28-66% angka kematian. Lalu libur Hari Kemerdekaan RI pada Agustus menyebabkan kenaikan 58-119% kasus harian dan 10-57% angka kematian. Libur Maulid Nabi akhir Oktober menyumbang kenaikan 37-95% kasus harian dan 13-75% angka kematian.

Terakhir momen libur Natal dan Tahun Baru yang menambah kasus harian sebanyak 37-78% dan 6-46% kasus kematian. Seluruh dampak kenaikan kasus ini terasa hingga minimal tiga pekan ke depan setelah liburan.

2. Mobilitas lokal yang tinggi

Walau pemerintah melarang mudik tahun ini, mobilitas penduduk masih tinggi akibat berbagai pusat keramaian dan wisata masih diizinkan untuk dibuka.

Hal ini menyebabkan pusat perbelanjaan seperti mal di berbagai daerah padat dikunjungi oleh masyarakat menjelang Idul Fitri.

Bahkan pada awal Mei, jumlah pengunjung Pasar Tanah Abang membludak hampir 200 persen melebihi kapasitasnya menjelang Lebaran. Pada akhir pekan, sekitar 87 ribu orang berkunjung ke pasar tersebut.

Meski tidak berhubungan secara langsung, setelah kerumunan di Pasar Tanah Abang jumlah kasus aktif di Jakarta Pusat meningkat 6%.

Selain pusat perbelanjaan dan pasar, tempat wisata juga masih boleh buka selama libur Lebaran, kecuali di daerah zona merah dan oranye.

Data Google Mobility Indonesia menunjukkan telah terjadi peningkatan mobilitas masyarakat di tempat-tempat seperti restoran, kafe, rumah makan dan mal sebesar 6% hingga pada 10 Mei jika dibanding periode akhir Maret.

Bahkan pergerakan masyarakat pada pusat perbelanjaan seperti supermarket dan pasar naik 36%. Di lingkungan perumahan kenaikan pergerakan orang terjadi sebesar 7%.

Hal ini mengkhawatirkan. Berdasarkan survei pemantauan nasional, restoran, pasar, dan lokasi wisata merupakan tempat yang paling sering ditemukan ketidakpatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.

3. Kepatuhan protokol kesehatan rendah

Masih rendahnya kepatuhan protokol kesehatan di berbagai daerah menjadi ancaman serius yang dapat meledakkan bom waktu peningkatan angka kasus setelah libur Lebaran.

Data Satgas COVID-19 Nasional (hingga 9 Mei 2021) menunjukkan bahwa hanya 41,43% kabupaten dan kota di Indonesia yang memiliki tingkat kepatuhan memakai masker >90%. Masih ada 10,86% kabupaten dan kota yang memiliki tingkat kepatuhan masyarakatnya dalam memakai masker <60%.

Persentase ketidakpatuhan masyarakat untuk menjaga jarak di tempat kerumunan meningkat. Per 2 Mei, terdapat 13,79% kabupaten dan kota yang kepatuhan masyarakatnya <60% dan jumlah kabupaten dan kota meningkat menjadi 14,57% pada 9 Mei.

4. Rendahnya cakupan vaksin

Hingga 23 Mei 2021 cakupan persentase penduduk yang divaksin di Indonesia baru 5,45%.

Angka ini masih lebih rendah dibanding rata-rata dunia yang telah mencapai 9,80% dan masih jauh dari target 60-70% agar dapat membentuk kekebalan kelompok.

Sebagai perbandingan, vaksinasi di India yang telah mencapai dua kali lipat dari Indonesia yakni 10,87%. Namun mereka saat ini tetap kewalahan menghadapi lonjakan badai kasus COVID-19 akibat dari kelalaian pemerintah dan masyarakat di sana yang kurang ketat menekan kerumunan akibat pelaksanaan tradisi keagamaan yang diikuti jutaan orang.

5. Kemampuan testing rendah

Kemampuan testing Indonesia untuk segera mendeteksi kasus baru di masyarakat untuk segera diisolasi dan dirawat saat ini juga masih sangat rendah.

Hingga 21 Mei 2021 untuk per seribu penduduk, angka testing Indonesia baru mencapai 0,16.

Bandingkan dengan Malaysia per 20 Meit telah memiliki angka testing lebih baik (2,37 per seribu penduduk). Namun mereka tetap menjalankan kebijakan pelarangan mudik (balik kampung) ditambah penerapan lockdown yang lebih ketat di beberapa daerah. Mereka menyadari akan bahayanya potensi mudik bagi peningkatan kasus.

India memiliki angka testing lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yakni 1,35 per seribu penduduk. Namun kenyataannya saat ini mereka sedang kewalahan menghadapi lonjakan cepat kasus akibat pergerakan penduduk yang tinggi dan ketidakpatuhan menerapkan protokol kesehatan.

6. Masuknya varian virus baru

Varian virus baru yang saat ini terus bermutasi menjadi faktor selanjutnya yang dapat memperparah ledakan bom waktu lonjakan kasus akibat libur Lebaran.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia hingga awal Mei sudah kemasukan tiga varian virus corona dengan kategori varian yang harus diwaspadai versi Organisasi Kesehatan Dunia. Varian tersebut adalah B117 dari Inggris, B1351 dari Afrika Selatan, dan B1617 dari India.

Hal ini tentu saja sangat berbahaya mengingat varian virus baru ini memiliki tingkat infeksi atau penularan yang lebih cepat seperti di India. Bahkan varian baru lain yang dikenal dengan varian E484K saat ini ditenggarai dapat menghindar dari beberapa antibodi yang sudah terbentuk akibat vaksinasi.

Jika kita gagal untuk segera mengantisipasinya masuk ke Indonesia, sistem kesehatan kita akan makin berdarah-darah menghadapi lonjakan kasus baru.

Letupan-letupan kecil mulai terdengar dari luar Jakarta

Saat ini letupan kecil peningkatan kasus mulai terdengar.

Jumlah orang yang dirawat di rumah sakit rujukan COVID-19 secara nasional hingga 2 Mei meningkat 1,28 persen. Sedangkan, angka kematian meningkat 0,7 persen dalam minggu pertama Mei dibanding minggu sebelumnya.

Pusat epicentrum akibat dampak mudik terlihat bergeser keluar wilayah Jabodetabek. Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu daerah tujuan mudik tertinggi, per 9 Mei 2021 telah naik kasusnya 8,7%.

Keadaan ini berbahaya karena kemampuan sistem pelayanan kesehatan di beberapa provinsi lain tidak sekuat Jabodetabek. Berdasar data RS Online, angka pemanfaatan tempat tidur perawatan COVID di RS telah terpakai lebih dari setengah daya tampung maksimalnya di Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatra Selatan, Jambi dan Kalimantan Barat,

Pendulum sudah mulai bergeser, pemerintah daerah khususnya daerah tujuan mudik harus sudah mulai menyiapkan sistem pelayanan kesehatannya agar tidak lumpuh dalam beberapa pekan ke depan.

Dalam jangka pendek dan menengah, pemerintah harus memperketat mobilitas penduduk dan persyaratan arus balik serta kunjungan dari luar negeri agar bom waktu ini tidak kembali berayun dan meledak hebat di Jabodetabek akibat arus balik.

Kegiatan testing acak dengan metode yang lebih tepat hingga pelaksanaan kewajiban karantina bagi para pelaku perjalanan arus balik di wilayah tempat tujuan masing-masing perlu benar-benar dilaksanakan.

Jika hal ini tidak dapat dilakukan secara maksimal seperti pengalaman pada saat membendung arus mudik kemarin, maka opsi lockdown Jabodetabek menjadi jalan terbaik.The Conversation

Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: