Nabila Yusuf, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Minggu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan uji formil terhadap revisi Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Uji formil merupakan kewenangan MK untuk menilai apakah pembentukan suatu UU bertentangan dengan asas dan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika dikabulkan, maka UU yang dimohonkan akan dinyatakan batal demi hukum sehingga tidak dapat diberlakukan.

Uji formil terhadap UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK diajukan oleh banyak kalangan yang terdiri dari pimpinan KPK periode 2015-2019, akademisi, aktivis penggiat anti korupsi dan advokat. Putusan MK tersebut keluar setelah proses selama 19 bulan.

Penolakan MK sayangnya dilakukan lewat pengujian yang tidak mendalam dan mencerminkan lumpuhnya pengawasan dan kontrol antara cabang-cabang kekuasaan.

Tidak mendalam

Dari sembilan hakim konstitusi, delapan hakim konstitusi satu suara untuk menolak permohonan uji formil revisi UU KPK, sedangkan satu hakim, yaitu Wahiduddin Adams, memiliki pendapat yang berbeda atau dissenting opinion.

Dalam pertimbangan putusannya, delapan hakim MK mementahkan semua dalil pemohon dan menyatakan bahwa revisi UU KPK sudah sesuai prosedur.

Ini sangat disayangkan karena hakim MK hanya menilai prosedur di permukaan saja dengan hanya berlandaskan pada keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden tanpa mengkaji lebih mendalam terhadap nilai-nilai yang ada di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Hakim Wahiduddin juga menyatakan bahwa seluruh tahapan prosedural pembentukan UU secara kasat mata memang telah ditempuh oleh pembentuk UU.

Namun, hampir pada setiap tahapan prosedur pembentukan Revisi UU KPK terdapat berbagai persoalan terkait konstitusi dan moral yang serius.

Persis seperti yang dikemukakan hakim Wahiduddin, MK seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon karena memang revisi UU KPK ini memiliki berbagai macam keganjilan.

Pembuatan UU KPK dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dan terburu-buru, misalnya dari fakta di persidangan terbukti bahwa Daftar Inventaris Masalah (DIM) Revisi UU KPK diselesaikan oleh presiden hanya kurang dari 24 jam.

Dari Naskah Akademik yang ada, fakta persidangan juga menunjukkan bawah DPR dan presiden mengarahkan revisi pada pembentukan aturan baru bukan hanya melakukan perubahan. Hal ini dapat dilihat dari rumusan pengaturan UU KPK Baru yang secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara mendasar.

Masalah serius lainnya adalah minimnya partisipasi masyarakat yang sangat fundamental dalam pembentukan peraturan, apalagi peraturan terkait isu korupsi yang merupakan masalah serius bangsa Indonesia.


Baca juga: Upaya pelemahan KPK telah berlangsung lebih dari satu dekade


Lumpuhnya checks and balances

Dalam teori pemisahan kekuasaan Trias Politica, ada tiga cabang pembagian kekuasaan yakni, eksekutif, legislatif, dan yudisial.

Di Indonesia, kekuasaan eksekutif dijalankan oleh presiden, legislatif dijalankan oleh DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kemudian yudisial dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan MK.

Untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya, maka diperlukan suatu checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan): masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol.

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dengan sistem presidensial, fungsi legislasi tetap mengacu pada adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, namun tidak diterapkan secara mutlak.

Sebelum amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan presiden. Namun, amandemen tersebut meletakkan kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR dengan tetap memberikan kewenangan legislasi kepada presiden.

Hal ini ditandai dengan adanya wewenang presiden untuk ikut serta dalam mengajukan suatu rancangan UU, membahas bersama dengan DPR untuk mencapai persetujuan bersama, dan mengesahkannya menjadi UU.

Dalam berbagai pembentukan perundang-undangan akhir-akhir ini, kita tidak melihat sistem pengawasan dan keseimbangan ini berjalan.

Untuk kasus revisi UU KPK, presiden dan DPR menyetujui bersama revisi tersebut di tengah penolakan besar oleh rakyat Indonesia – ditandai oleh protes mahasiswa pada akhir 2019. Penyusunannya pun mengabaikan partisipasi publik.

Praktik legislasi pada kasus revisi UU KPK, dimana masyarakat tidak dilibatkan dalam pembentukannya, biasa terjadi pada sistem politik totaliter.

Menurut mendiang guru besar ilmu sosial dan politik Miriam Budiadjo, dalam sistem totaliter, gagasan partisipasi masyarakat didasarkan pada pandangan elite politik bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Sehingga, pembentukan UU tidak perlu melibatkan masyarakat.

Masyarakat Indonesia yang keberatan pada suatu UU yang telah disahkan memang memiliki kesempatan untuk memohon pengujian lewat MK.

Namun kini kita bisa melihat bahwa ternyata MK pun tidak bisa menjadi pengoreksi antara kewenangan legislasi yang dipegang dua cabang kekuasaan yakni DPR dan presiden.


Baca juga: Status ASN bagi pegawai semakin melemahkan KPK


Independensi MK

Bagi suatu negara yang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia, pembentukan UU merupakan hal yang fundamental.

Indonesia sebagai salah satu negara yang menjamin prinsip-prinsip tersebut di dalam konstitusinya, sudah seharusnya memposisikan pembentukan UU seperti yang dikatakan filsuf Jean Jacques Rousseau, yaitu sebagai kehendak umum (general will) dari rakyat.

Putusan MK ini merupakan preseden buruk bagi pengujian formil di kemudian hari.

Padahal, saat ini kita bisa lihat pembentukan peraturan semakin ugal-ugalan, tanpa melibatkan partisipasi publik dan mengabaikan suara penolakan masyarakat. Contoh lainnya adalah pembentukan UU Cipta Kerja yang juga sedang diujikan ke MK.

Di tengah kuatnya konsolidasi presiden dan DPR, dan tanpa adanya oposisi di parlemen, nyaris setiap kebijakan legislasi yang kontroversial di masyarakat mulus sesuai kehendak politik pembentuknya bukan pada kebutuhan dan kehendak masyarakat.

Sesungguhnya rakyat hanya dapat berharap kepada MK untuk mendapatkan keadilan dari proses legislasi di Indonesia. Seharusnya Hakim MK mampu menerapkan konsep aktivisme yudisial dengan tidak melihat hukum sebagai teks undang-undang belaka melainkan menghidupkan kemaslahatan dalam tempat ia hidup.

Hakim MK seharusnya independen dan tidak terkooptasi kepentingan politik atau cabang kekuasaan lain dalam memutuskan suatu perkara pengujian UU.The Conversation

Nabila Yusuf, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK) and Assistant lecturer, Indonesia Jentera School of Law, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: