Yessar Rosendar, The Conversation

Mendapatkan uang dengan cepat dan mudah memang menggoda. Yang terkini melibatkan sebuah situs bernama TikTok Cash yang menawarkan uang untuk menonton video di aplikasi TikTok.

Tapi, TikTok Cash ternyata bukan layanan dari TikTok dan dicurigai sebagai investasi bodong yang menuntut penggunanya membayar biaya keanggotaan sebelum bisa mendapatkan keuntungan dari mengikuti akun, menyukai, dan menonton video TikTok.

Biaya keanggotaannya pun mulai dari Rp 89 ribu sampai dengan Rp 49 juta, dan banyak yang mengklaim bisa mendapatkan keuntungan sampai jutaan rupiah dalam satu hari.

Namun ternyata TikTok Cash adalah penipuan investasi dengan skema Ponzi, yang merupakan skema investasi yang menjaring investor dengan memberikan keuntungan awal yang sebenarnya berasal dari setoran investasi para investor yang masuk belakangan.

Celakanya ketika penipu menilai tidak bisa untung lagi dan kabur, maka investor akan kehilangan uangnya.

Kasus TikTok Cash mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokir situsnya.

Sebelumnya juga ada kasus serupa, yaitu aplikasi VTube yang menawarkan poin yang dapat ditukar dengan uang tunai hanya dengan menyaksikan konten di platform tersebut.

Kami bertanya kepada dua peneliti untuk mencari tahu kenapa modus penipuan seperti ini bisa berulang kali terjadi.

Ilustrasi investasi. creditdebitpro/flickr, CC BY

Faktor-faktor mengapa penipuan seperti TikTok Cash bisa terus terjadi

Stevanus Pangestu, dosen ekonomi dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, menjelaskan skema penipuan ini berhasil karena literasi keuangan yang rendah.

Literasi keuangan adalah kemampuan seseorang dalam membuat keputusan keuangan yang bijak untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya.


Baca juga: 5 cara meningkatkan literasi keuangan di tengah pandemi COVID-19


.

Berliterasi keuangan berarti mampu memilih produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan mengelola aset pribadi dengan baik. Termasuk di dalamnya ialah manajemen kas, utang, dan investasi

“Selain literasi keuangan yang rendah, hal ini diperkuat efeknya oleh kondisi ekonomi yang sulit dan hasrat untuk mendapatkan keuntungan instan,” ujar Stevanus.

Tingkat literasi keuangan di Indonesia masih rendah dan baru mencapai 40% pada tahun lalu. Bandingkan dengan Singapura yang masyarakatnya memiliki literasi keuangan yang tinggi hingga 78%

Namun, Stevanus menambahkan para kriminal akan selalu mencari cara inovatif dan kreatif agar dapat mengakali hukum. Bahkan hal ini terjadi juga di Singapura.

Data dari Kepolisian Singapura menunjukkan bahwa di enam bulan pertama tahun 2020, terjadi 400 penipuan investasi yang menimbulkan kerugian S$22,3 juta (Rp 235 miliar).

Untuk itu masyarakat harus terus meningkatkan literasi keuangannya, untuk setidaknya bisa menghindari risiko terjebak penipuan seperti TikTok Cash ini.

Tiga faktor pendorong

Lebih jauh lagi, Alanda Kariza, peneliti ilmu perilaku dari Advislab, melihat ada beberapa faktor yang mungkin membuat orang terjerumus ke dalam jenis investasi bodong seperti TikTok Cash ini.

Yang pertama adalah bias keterwakilan, yang membuat orang yakin bahwa suatu hal yang mewakili sebuah entitas seharusnya sebaik entitas yang diwakili.

Kendati TikTok Cash bukanlah sebuah produk maupun program TikTok, tetapi penggunaan nama “TikTok” dalam skema ini membuat sebagian orang percaya bahwa ini merupakan skema buatan TikTok yang berarti seharusnya terpercaya dan aman karena dibuat oleh perusahaan bonafide.

Yang kedua adalah adanya kepercayaan diri berlebih, yang mendorong orang sering kali kelewat percaya diri dengan kemampuan maupun keberuntungannya.

Skema money game, skema Ponzi, maupun multilevel marketing/network marketing mengharuskan investornya untuk merekrut orang lain untuk bergabung yang biasanya melibatkan teman atau keluarga. Relasi ini yang kemudian cenderung membuat orang menilai bahwa “permainan” ini aman karena berhubungan dengan orang-orang dekat.

Penelitian di Inggris pada tahun 2005 menunjukkan bahwa orang yang memilih untuk bergabung di skema serupa biasanya mempercayai bahwa mereka akan menerima keuntungan yang besar.

Orang tetap terjerat pada permainan ini juga karena adanya efek biaya hangus atau sunk cost effect/fallacy dan teori prospek. Efek ini menjaga seseorang untuk berada dalam permainan sampai mendapatkan keuntungan jauh lebih besar dari uang yang diinvestasikan.

Jadi, jika kita telah mengeluarkan uang untuk bergabung di TikTok Cash ini, banyak dari kita yang merasa bahwa harus tetap berada di permainan tersebut sampai minimal uang kembali – yang tentunya jarang terjadi.

Yang harus pemerintah lakukan

Menurut Stevanus, tentu dibutuhkan sinergi kuat antara lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, Kepolisian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) agar dapat lebih lincah dalam menangani dan mencegah insiden seperti ini.

Solusi jangka panjangnya ialah dengan memberikan edukasi keuangan kepada masyarakat kota maupun desa.

“Saya merasa literasi keuangan sebagai salah satu literasi yang perlu diperkenalkan sedini mungkin di sekolah. Mungkin dibutuhkan integrasi literasi keuangan ke dalam kurikulum sekolah,” kata Stevanus.

Sementara Alanda menambahkan, terkait cara bertindak, pemerintah, TikTok, dan masyarakat bisa memberikan edukasi bahwa program ini bukan milik TikTok dan merupakan skema penipuan.

“Mengedukasi masyarakat melalui media maupun melalui platform TikTok itu sendiri menjadi penting, ini untuk mencegah konten terkait ini untuk tersebar ke terlalu banyak pihak di TikTok mengingat pengguna TikTok banyak yang masih muda dan mungkin literasi finansialnya berada di tingkatan yang berbeda-beda,” jelas Alanda.The Conversation

Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: