Kurt Braddock, American University School of Communication

Lima hari sesudah sekelompok pendukung dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyerbu gedung Capitol pada 6 Januari lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS merumuskan dakwaan pemakzulan terhadap Presiden Trump.

Dakwaan tersebut menuduh Trump atas hasutan pemberontakan dengan terus-menerus menyebarkan kebohongan dan teori konspirasi tentang pemilu 2020, bersama dengan retorika kekerasan yang ia sampaikan sesaat sebelum terjadinya serangan di gedung Capitol. Dakwaan tersebut menyatakan bahwa kebohongan dan retorika yang dibuat Trump secara langsung berujung pada kekerasan yang bertujuan untuk merusak legitimasi dari hasil penghitungan pemilu.

Presiden Trump, sebagaimana tercantum dalam dakwaan tersebut, “dengan sengaja membuat berbagai pernyataan yang, dalam konteks saat itu, mendorong – dan kemungkinan besar menyebabkan – terjadinya tindakan melanggar hukum di Capitol, seperti: ‘jika Anda tidak bertarung mati-matian Anda tidak akan memiliki negara lagi.’”

Proses pemakzulan atas tuduhan hasutan terhadap pemberontakan sangat jarang dalam sejarah Amerika. Namun, puluhan anggota dewan - termasuk beberapa dari partai Presiden Trump, yakni Partai Republik - mengatakan bahwa tindakan Trump menjelang serangan terhadap Capitol pada 6 Januari berkontribusi pada upaya pemberontakan atas demokrasi Amerika itu sendiri.

Klaim tersebut sebenarnya cukup rumit. Trump sendiri tidak melontarkan permusuhan secara langsung kepada anggota DPR AS, melainkan dituduh menggunakan bahasa yang memotivasi orang lain untuk melakukannya. Beberapa orang, termasuk presiden sendiri, menyangkal dengan argumen bahwa hubungan antara kata-kata Trump dan kekerasan di Capitol terlalu lemah dan abstrak.

Akan tetapi, penelitian selama beberapa dekade terakhir terhadap pengaruh sosial, perilaku bujukan, dan juga psikologi menunjukkan bahwa pesan yang diterima orang sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk terlibat dalam perilaku tertentu.

Yang dikatakan oleh riset

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pesan yang kita terima mempengaruhi perilaku kita dalam tiga cara.

Pertama, ketika seseorang menerima pesan yang mendukung sebuah perilaku, orang tersebut bisa mulai percaya bahwa kebiasaan itu akan menghasilkan dampak positif - terutama ketika pembicara dari pesan tersebut sangat disukai atau dipercayai oleh target pesan.

Kedua, ketika berbagai pesan ini mengkomunikasikan kepercayaan atau tindakan positif terhadap suatu perilaku – seperti ketika teman kita mengatakan merokok itu “keren” saat kita remaja – target pesan menjadi percaya bahwa orang-orang penting dalam hidup mereka akan membenarkan saat mereka terlibat dalam perilaku tersebut.

Akhirnya, ketika berbagai pesan tersebut mengandung bahasa yang menekankan bahwa target pesan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu, seperti saat seorang presiden menyampaikan pada para pendukungnya yang terkenal heboh bahwa mereka memiliki kekuatan untuk membatalkan pemilihan umum, mereka bisa mulai benar-benar yakin bahwa mereka dapat melakukan hal tersebut.

Bayangkan sesuatu yang kita semua pernah temui dalam konteks yang lebih sederhana - pesan yang dirancang untuk memotivasi kebiasaan berolahraga. Pesan-pesan ini sering mengatakan salah satu (atau lebih) dari tiga hal.

Pesan tersebut memberi tahu kita bahwa olahraga akan mengarah pada hasil positif – “Anda akan bugar secara fisik!”, meyakinkan bahwa orang lain juga berolahraga atau bahkan senang apabila kita juga turut melakukannya – “Berolahragalah dengan seorang teman!”, dan mereka mengatakan kepada kita bahwa memulai program latihan itu berawal dari diri kita sendiri - “Siapa pun bisa melakukannya!”

Dalam konteks ini, pesan ini bisa jadi ampuh dalam meningkatkan kemungkinan target pesan untuk berolahraga.

Sayangnya, seperti yang kita lihat di peristiwa Capitol, prinsip-prinsip persuasi ini juga berlaku untuk perilaku yang destruktif.

Bagaimana Trump melakukannya

Sekarang, mari kita lihat kembali apa yang terjadi pada perisitwa di Capitol, 6 Januari lalu.

Bahkan beberapa pekan terakhir sebelum pemilu, retorika Trump sudah agresif. Kampanyenya menuntut pendukung untuk “mendaftar” dalam “Pasukan untuk Trump” sebagai upaya untuk memilihnya kembali.

Setelah pemilu selesai dan menjelang serangan terhadap Capitol, Presiden Trump mengulangi berbagai klaim palsu tentang kecurangan pemilu dan menyatakan bahwa sesuatu perlu dilakukan untuk mengatasi tuduhan kecurangan ini.

Bahasanya sering mengambil nada agresif, mengajak bahwa para pendukungnya harus “bertarung” untuk menjaga integritas pemilu.

Dengan membanjiri pendukungnya melalui berbagai kebohongan ini, Trump membuat dua keyakinan kunci yang dengan mudah diterima oleh para pengikutnya. Pertama, agresi terhadap mereka yang ia dituduh mencoba “merusak kemenangannya” adalah suatu tindakan politik yang baik dan positif. Kedua, sikap agresif, yang bahkan bisa dianggap kekerasan terhadap musuh politik Trump adalah hal yang biasa dilakukan di antara seluruh jajaran pendukungnya.

Kata-kata punya konsekuensi

Selama beberapa minggu sesudah pemilu, jajaran sekutu Trump – termasuk mantan Wali Kota New York, Rudy Giuliani serta anggota DPR maupun Senat dari Partai Republik seperti Matt Gaetz, Ted Cruz, dan Josh Hawley, dan beberapa lainnya, justru semakin melanggengkan kebohongannya sehingga memperkuat keyakinan ini di antara pendukung Trump.

Dengan seluruh sikap dan kepercayaan yang sudah tertanam ini, pidato Trump pada 6 Januari di luar Gedung Putih berperan sebagai katalis penting yang memercikkan semangat massa pendukungnya untuk bertindak, yang kemudian berujung pada serangan di gedung Capitol.

Dalam pidato sebelum kejadian, misalnya, Trump mengatakan pada pengikutnya untuk “bertarung mati-matian” melawan “orang jahat”.

Trump menjelaskan bahwa mereka akan “turun ke Jalan Raya Pennsylvania” untuk memberi anggota Dewan dari Partai Republik keberanian yang seharusnya mereka miliki untuk “mengambil alih negara kembali”. Dia mengatakan bahwa “ini adalah waktu untuk menunjukkan kekuatan” dan bahwa saat ini berlaku “standar aturan yang sangat berbeda” daripada kondisi biasanya.

Kurang dari dua jam sesudah kata-kata tersebut diucapkan, sekelompok pemberontak dan teroris domestik berhasil menyerbu Capitol.

Dalam kasus Donald Trump selama ini, hubungan antara perkataan dan tindakan seakan tidak pernah terlihat jelas. Namun jangan salah, ada basis ilmiah yang valid untuk menyatakan bahwa kasus ini adalah hasutan.

Penelitian selama beberapa dekade telah menunjukan bahwa bahasa memberi efek pada perilaku - dengan kata lain kata-kata punya konsekuensi. Saat kalimat tersebut mengagungkan kekerasan, membuat kekerasan bisa diterima, dan memberanikan audiens untuk melakukannya, insiden seperti pemberontakan di gedung Capitol adalah hasilnya.


Wiliam Reynold menerjemahkan artike ini dari bahasa Inggris.The Conversation

Kurt Braddock, Assistant Professor, American University School of Communication

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: