Choky R. Ramadhan, Universitas Indonesia

Usulan terbaru Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melarang pengedaran dan konsumsi minuman beralkohol lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Undang-Undang (UU) tersebut mengancam memberikan sanksi hukuman denda hingga penjara bagi siapa saja yang membuat, mengedarkan, membeli, menjual, menyimpan, dan bahkan meminum minuman beralkohol.

Fraksi-fraksi yang mengusung RUU ini - mayoritas adalah partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) - berargumen bahwa UU ini sejalan dengan larangan dalam agama Islam. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa UU ini akan membantu melindungi masyarakat dari dampak negatif kesehatan minuman beralkohol dan juga menjamin ketertiban masyarakat.

Dengan membandingkan pengaturan yang sejenis di negara-negara lain, saya berpendapat bahwa argumen di belakang rencana pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol tersebut lemah. Aturan tersebut tidak praktis dan realistis dijalankan, apalagi mengingat keterbatasan tenaga penegak hukum, kapasitas tahanan, dan penjara di Indonesia.

Pandangan Islam yang beragam tentang minuman beralkohol

Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia berkali-kali mencoba membuat aturan larangan minuman beralkohol. Beberapa fraksi di DPR pernah mengusulkannya pada 2009 dan mencobanya lagi pada 2014, tapi tidak pernah berhasil karena antarfraksi tidak bisa menemukan kata sepakat.

Tapi kali ini, partai-partai Islam mengajukan usulan larangan terhadap minuman beralkohol kembali dengan alasan untuk menegakkan nilai-nilai Islam.

Jika merujuk pada sejarah Islam, alasan tersebut tidak kuat karena hingga saat ini larangan minuman beralkohol bukan sesuatu yang mutlak dan menjadi perdebatan sejak zaman Nabi Muhammad. Pelarangan minuman beralkohol dan penghukuman bagi pelanggarnya bukan sesuatu yang seragam dalam Islam dan di antara negara mayoritas Muslim.

Pada masa Nabi Muhammad, pelarangan khamr, alkohol yang berasal dari anggur terjadi melalui 3 tahap. Awalnya, alkohol tidak dilarang tapi sebaiknya dihindari. Lalu, alkohol kemudian dilarang untuk kondisi tertentu. Hingga akhirnya, alkohol benar-benar dilarang.

Paska wafatnya Nabi Muhammad, beberapa ulama dan pemimpin negara Islam berbeda pendapat dalam mengatur atau melarang minuman beralkohol. Perbedaan pendapat tersebut seputar apa saja dikategorikan minuman beralkohol hingga standar yang dipakai untuk membuktikan bahwa orang bersalah.

Ahmad Bin Hanbal, ulama ahli hadis dan hukum Islam dan menjadi rujukan Mazhab Hambali, melarang total mengkonsumsi sesuatu yang dapat memabukkan, baik alkohol maupun narkotik, meskipun sedikit jumlahnya.

Pada abad ke-20 terdapat lagi perdebatan tentang pengaturan minuman beralkohol dalam ajaran Islam.

Ilmuwan Muslim abad ke-20 menolak bahwa mengkonsumsi alkohol merupakan suatu kejahatan yang hukumannya diatur secara pasti atau (hudud). Mereka berpendapat hudud hanya terjadi apabila ketentuan hukumannya diatur secara rinci dalam Alquran dan sunnah (ucapan dan perilaku Nabi Muhammad).

Salah satu ilmuwan yang menggugat adalah profesor hukum Islam di Universitas Islam Internasional Malaysia, Mohammad Hashim Kamali. Dia berargumen meminum alkohol merupakan taʿzīr, yang pengaturan dan penghukumannya tergantung kondisi seseorang, kondisi sekitar, dan keputusan pemerintah atau hakim setempat.

Perdebatan tersebut membuat negara-negara Muslim tidak seragam dalam melarang alkohol.

Dari 50 negara mayoritas Muslim, hanya 5 negara (Afghanistan, Libya, Arab Saudi, Somalia, dan Sudan) yang melarang total dan 10 negara (Brunei Darussalam, Komoro, Iran, Kuwait, Maladewa, Mauritania, Pakistan, Palestina, Suriah, dan Yaman) yang melarang terbatas umat Muslim. Mayoritas negara lainnya tidak melarang dan hanya membatasi atau mengatur peredarannya.

Alasan ekonomi (kontribusi industri alkohol) dan keberadaan penduduk atau imigran non-Muslim adalah beberapa alasan dari negara-negara Muslim yang tidak mengeluarkan aturan larangan minuman beralkohol.

Larangan yang tidak efektif

Observasi saya terhadap aturan pelarangan alkohol di beberapa negara menunjukkan bahwa larangan tersebut tidak menjamin terjadinya pengurangan konsumsi dan terciptanya ketertiban masyarakat seperti yang diharapkan DPR.

Di Pakistan, misalnya, larangan alkohol pada 1977 gagal menghentikan orang Pakistan untuk tidak meminum alkhohol. Pelanggarnya dapat diganjar hukuman 80 pecutan.

Pelarangan ini justru meningkatkan jumlah konsumsi alkohol beracun yang diproduksi oleh industri ilegal. Selain itu, pelarangan alkohol justru mengakibatkan peningkatan praktik suap kepada kepolisian.

Aturan tersebut juga meningkatkan aksi tindak kekerasan dan menyulut tindakan teror yang ekstrem. Pelarangan ini seolah memberi legitimasi kepada sekelompok orang, bukan penegak hukum, untuk memaksa tutup hingga menghancurkan tempat yang menjual alkohol.

Di negara sekuler, larangan minuman beralkohol juga tidak efektif. Hasil pelarangan alkohol tahun 1919 di Amerika Serikat terbukti meningkatkan tingkat kejahatan penyelundupan, dan industri ilegal minuman beralkohol.

Kondisi ini berdampak pada menjamurnya mafia yang mengambil keuntungan dan melindungi bisnis ilegal tersebut. Merajalelanya mafia ini mengakibatkan meningkatnya aksi kekerasan terhadap penegak hukum dan korupsi.

Larangan tersebut juga menambah jumlah perkara pidana yang harus diselesaikan di persidangan. Selama 10 tahun pertama berlakunya larangan alkohol di Amerika Serikat, sebanyak 343.695 orang bersidang dan diputus bersalah di pengadilan.

Larangan alkohol juga membuat perekonomian Amerika Serikat limbung karena perolehan pajak negara juga berkurang signifikan. Sebelum pelarangan misalnya, perolehan pajak dari alkohol sebesar US$ 226 juta) pada 1914. Selama pelarangan, total estimasi kehilangan pajak dari industri alkohol di Amerika Serikat sebesar US$ 11 miliar.

Tidak hanya ekonomi, di Iran, larangan minuman beralkohol menimbulkan masalah sosial karena stigma yang harus diderita peminum alkohol. Peminum alkohol di Iran mendapatkan stigma yang lebih buruk di banding pengguna narkotik karena Alquran secara tertulis menyebut larangan untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Akibatnya mereka kesulitan mengakses perawatan yang dibutuhkan.

Bagaimana di Indonesia?

Pengaturan larangan minuman beralkohol di Indonesia juga tidak akan efektif.

Pada kurun waktu 2012-2014 saja tercatat polisi menunggak untuk menindaklanjuti 44.273 perbaikan berkas yang diberikan kejaksaaan.

Selain itu, peradilan pidana tingkat pertama juga selalu menyisakan puluhan ribu perkara yang belum selesai ditangani tiap tahunnya, 21.555 perkara pada 2016 dan 27.212 pada 2017.

Implikasi dari berlakunya UU larangan minuman beralkohol dapat menambah perkara pidana yang ditangani penegak hukum seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Selain menambah beban penegak hukum, larangan ini juga akan mengakibatkan hilangnya fokus untuk menyelesaikan tindak pidana yang lebih serius dan membahayakan publik.

Pelarangan minuman beralkohol berpotensi membuat semakin sesak rumah tahanan dan penjara. Populasi rutan dan penjara saat ini mencapai 241.130 orang, melebihi kapasitas nasional yang hanya 135.705.

Kondisi sesaknya rumah tahanan dan penjara saat ini terjadi akibat berlakunya UU Narkotika sejak 2009. Jumlah tahanan dan narapidana narkotik meningkat 39 kali lipat dibanding sebelum UU Narkotika itu disahkan.

Efek yang sama diprediksi juga akan terjadi ketika RUU Larangan Minuman Beralkohol nantinya akan disahkan. Apalagi UU Larangan minuman beralkohol sama sekali tidak memberikan alternatif dari hukuman penjara.

Penjabaran di atas membuktikan bahwa alasan pembahasan UU Larangan Minuman Beralkohol untuk menciptakan ketertiban masyarakat diragukan.

Pelarangan ini justru akan menambah beban penegak hukum dan mengambil energi mereka untuk mencegah tindak kejahatan yang lebih serius. Tidak hanya itu, larangan ini juga berpotensi menyuburkan penyuapan seperti yang terjadi di Pakistan dan Amerika Serikat.The Conversation

Choky R. Ramadhan, Lecturer, Universitas Indonesia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: