Muhammad Zulfikar Rakhmat, Universitas Islam Indonesia (UII)

Walau ada sentimen anti-Cina yang kian berkembang di Indonesia serta ada konflik kedua negara yang belum terselesaikan mengenai Laut Cina Selatan, kerja sama di antara negara eksportir terbesar di dunia dan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara tersebut diprediksi akan semakin berkembang. Terlebih pasca pertemuan para menteri senior Cina dan Indonesia bulan ini.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menemui Menteri Luar Negeri Cina Wa Ying untuk membahas potensi kolaborasi antara kedua negara di tengah pandemi COVID-19.

Salah satu persetujuan utama yang lahir dari pertemuan tersebut adalah keputusan untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat distribusi vaksin COVID-19 dari Cina di kawasan Asia Tenggara.

Kerja sama ini dipandang akan menguntungkan kedua belah pihak. Pasalnya, di satu sisi, Cina dapat menjadikan Indonesia - yang memiliki lebih dari 270 juta penduduk - sebagai tempat uji coba vaksin COVID-19, sekaligus mengamankan akses ke pasar Asia Tenggara.

Di sisi lain, Indonesia yang memiliki jumlah kasus COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara tidak hanya akan mendapat prioritas untuk mendapatkan vaksin tapi juga berpotensi besar mendapatkan keuntungan ekonomi sebagai distributor di wilayah ASEAN.

Kesepakatan terbaru ini menandai kemitraan yang lebih kuat antara kedua negara, dan sedikit banyak akan berdampak pula pada hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat.

Menguatnya hubungan Indonesia-Cina

Hubungan antara Indonesia dan Cina telah menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Secara ekonomi, Cina adalah sumber investasi langsung luar negeri (Foreign Direct Investment, FDI) terbesar kedua (setelah Singapura) dan salah satu mitra dagang utama Indonesia.

Cina juga merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia di sepanjang periode 2019, dengan nilai US$ 25,8 juta, atau sekitar 16,68% dari total ekspor.

Pada tahun yang sama, Cina turut menjadi sumber impor terbesar untuk Indonesia, senilai US$ 44,5 juta atau setara dengan hampir sepertiga dari total impor Indonesia.

Saat ini, perwakilan kedua negara juga telah menandatangani kesepakatan untuk beralih dari dolar AS dan mempromosikan penggunaan mata uang lokal masing-masing negara sebagai alat transaksi pembayaran dalam perjanjian perdagangan mereka.

Tak berhenti sampai di situ, Cina dan Indonesia turut memperluas pertukaran budaya, pendidikan dan masyarakat.

Walaupun demikian, hubungan keduanya bukannya tanpa konflik.

Terlepas dari isu pandemi COVID-19, sejak awal hubungan Beijing dan Jakarta sudah berada di jalan yang terjal, terutama ketika ketegangan terkait isu Laut Cina Selatan semakin memanas.

Kapal milik Cina beberapa kali ditemukan masuk tanpa izin ke wilayah perairan Indonesia dekat Laut Cina Selatan. Di sana Cina bersikukuh memiliki dasar hukum yang berbeda dan menuai kontroversi dalam menentukan klaim teritorinya.

Berulang kali sepanjang tahun Indonesia telah secara konsisten mengusir kapal penjaga pantai dan kapal penangkap ikan milik Cina dari kawasan perairan yang diaku Beijing memiliki klaim bersejarah.

Berbagai isu di atas kemudian semakin menyuburkan sentimen anti-Cina di Indonesia.

Namun demikian, polemik mengenai hal ini sesungguhnya telah ada sejak pertengahan 1960-an, ketika tersangka komunis - beberapa dari mereka keturunan Cina - dibunuh setelah diduga oleh pihak militer telah memicu percobaan kudeta. Orang keturunan Cina di Indonesia juga disalahkan atas kemerosotan ekonomi Indonesia selama Krisis Keuangan Asia karena keterlibatan mereka dalam banyak bisnis negara.

Tak pelak, ketika virus COVID-19 yang berasal dari Wuhan, Cina, menjadi pandemi global, persepsi masyarakat Indonesia terhadap Cina semakin menimbulkan reaksi negatif.

Dalam banyak kasus dijumpai masyarakat Indonesia menggunakan istilah “virus Cina” di media sosial untuk merujuk pada COVID-19.

Banyak di antara mereka juga menyerukan kepada orang-orang untuk menjauhi tempat-tempat yang biasanya warga Cina atau masyarakat Indonesia keturunan Cina bekerja dan tinggal.

Rencana pemerintah memasukkan 500 pekerja asal Cina ke Indonesia di tengah pandemi COVID-19 juga menuai kritik keras dari masyarakat luas. Orang-orang menolak para pekerja Cina karena takut mereka tidak hanya akan membawa virus tapi juga mengambil alih pekerjaan penduduk setempat.

Namun demikian, segala polemik di atas rupanya tak menyurutkan keinginan pemerintah kedua negara untuk mengeratkan hubungan.

Hal tersebut dapat terlihat dari semakin intensnya kunjungan yang dilakukan oleh pejabat kedua negara, seolah menyatakan bahwa ketegangan yang ada tidak perlu dikhawatirkan.

Kunjungan Luhut baru-baru ini untuk membahas vaksin hanya salah satu langkah terbaru dari semakin aktifnya pertukaran diplomatik kedua negara.

Sebelum Luhut, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengunjungi Hainan, Cina, pada Agustus lalu untuk membahas kemajuan pada proyek infrastruktur berskala besar Cina, yaitu Belt and Road Initiative (BRI).

Peran Luhut

Luhut, seorang mantan jenderal Angkatan Darat, dapat dikatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam menjadikan hubungan antara Jakarta dan Beijing kian menguat belakangan ini.

Tidak hanya memegang posisi yang sangat strategis sebagai Menteri Koordinator, tapi Luhut juga seorang politikus yang memiliki pengaruh kuat.

Banyak yang percaya bahwa, secara de facto, dialah orang yang memegang suara terakhir dalam banyak keputusan penting pada era pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo; banyak orang yang kemudian memberinya gelar “Lord Luhut”.

Luhut juga telah melakukan kunjungan kenegaraan ke Beijing beberapa kali.

Selama kunjungannya, dia telah menunjukkan komitmen Indonesia terhadap terselenggaranya proyek BRI.

Bahkan, ia pun turut serta dalam mendirikan dan memimpin Global Maritime Fulcrum Task Force, yang membawahi pelaksanaan proyek BRI di Indonesia dengan melibatkan berbagai kementerian dan banyak pemangku kepentingan.

Pada berbagai kesempatan di forum publik, Luhut seringkali menyatakan dukungannya atas kecenderungan dan keberpihakan Indonesia atas proyek dan inisiasi Cina. Dia berpendapat bahwa beroposisi dengan Cina tidak akan menguntungkan Indonesia, karena 18% ekonomi global dikuasai oleh Negeri Tirai Bambu tersebut.

“Jadi Anda suka [atau] tidak suka, senang [atau] tidak senang, bilang apa pun Tiongkok ini merupakan kekuatan dunia yang tidak bisa diabaikan,” katanya .

Tentang isu Laut Cina Selatan, Luhut menegaskan bahwa polemik itu tidak boleh dibesar-besarkan dan justru menyalahkan kemampuan dan jumlah kapal Indonesia yang terbatas di wilayah perairan tersebut.

Pernyataan-pernyataan Luhut tersebut dengan jelas menunjukkan keberpihakan dan pengaruh besar yang ia miliki terkait dengan menguatnya peran Cina di Indonesia.

Dampak yang terjadi

Hubungan yang kian intensif antara Cina dan Indonesia dapat mengakibatkan semakin kuatnya pengaruh Cina atas Indonesia, baik secara ekonomi, politik, ataupun militer.

Hal ini bisa membuat Indonesia menjadi sangat bergantung pada Cina. Kemungkinan tersebut juga dapat berpotensi merusak hubungan antara Indonesia dan AS.

Condongnya Indonesia kepada Cina semakin terlihat tatkala baru-baru ini pemerintah Indonesia menolak proposal AS untuk mengizinkan pesawat pengintai maritim P-8 Poseidon mendarat dan mengisi bahan bakar di wilayah Indonesia.

Proposal tersebut diajukan di tengah memanasnya kompetisi antara AS dan Cina untuk mendapatkan pengaruh di Asia Tenggara. P-8 dikirimkan oleh AS guna memainkan peran sentral dalam mengawasi aktivitas militer Cina di Laut Cina Selatan.

Penolakan Indonesia atas usul AS dapat memberi tanda keberpihakan Indonesia kepada Cina.

Dalam pembelaannya, Indonesia menjelaskan bahwa keputusan penolakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan luar negeri untuk tetap bersikap netral. Artinya Indonesia tidak memihak AS atau Cina.

Namun, Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar Indonesia untuk AS, memiliki pandangan berbeda atas hal ini.

“Kita tidak ingin tertipu ke dalam kampanye anti-Cina [yang digaungkan oleh AS] [kepada negara-negara ASEAN]. Tentu saja kita [akan terus] mempertahankan kemerdekaan kita, tapi ada faktor keterlibatan ekonomi yang lebih dalam dan Cina saat ini adalah negara paling berpengaruh di dunia bagi Indonesia,” ujarnya.


Artikel ini ditulis bersama dengan Habib Pashya, mahasiswa Universitas Islam Indonesia.The Conversation

Muhammad Zulfikar Rakhmat, Lecturer in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: