Yessar Rosendar, The Conversation

Salah satu alasan pemerintah bersikeras untuk tetap mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) akhir tahun ini meski banyak sekali yang menentangnya adalah alasan ekonomi.

Pemerintah memperkirakan Pilkada bisa memutar uang hingga Rp 26 triliun dan diharapkan dapat menggerakkan ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat pandemi.

Namun, dua peneliti ekonomi yang kami wawancarai mengatakan argumentasi tersebut tidak tepat.

Mereka berpendapat dampak ekonomi dari Pilkada tidak akan signifikan dan malah memberikan dampak risiko penyebaran COVID-19 yang lebih tinggi.

Dampak tidak signifikan

Rizal Taufikurahman, kepala pusat Ekonomi Makro dan Keuangan di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan bahwa dampak ekonomi Pilkada tidak akan maksimal karena terbatasnya mobilitas masyarakat.

Jika kondisi normal dan tidak di tengah pandemi, Pilkada memang akan mendorong berbagai sektor untuk tumbuh seperti usaha sektor tekstil, perdagangan, informasi, dan komunikasi. Contohnya untuk pembuatan baliho, serta atribut kampanye sampai ke iklan di media.

Namun karena terbatasnya mobilitas masyarakat, sumbangan Pilkada akan tidak besar terhadap ekonomi ini karena yang akan tumbuh hanya sektor seperti informasi dan komunikasi. Ini dikarenakan pembatasan mobilitas massa maka aktivitas kampanye akan dilakukan sebagian besar secara daring ataupun media lainnya.

Pada triwulan kedua tahun ini, sektor informasi dan komunikasi hanya menyumbangkan 4,66% dari produk domestik bruto (PDB) atau seluruh penjualan jasa dan barang di Indonesia yang mencapai Rp 3.687,7 triliun.

Pendapat senada juga datang dari Eric Alexander Sugandi, peneliti senior di Universitas Kebangsaan Republik Indonesia. Secara historis, menurut Eric, dampak ekonomi penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia hanya bertahan paling lama setengah tahun saja.

“Ada dampak ekonominya, namun akibat negatifnya juga banyak jika pandemi ini berlarut-larut dan dana penanganan dari pemerintah pasti bertambah,” jelas Eric.

Jika penanganan pandemi menjadi lebih lama karena kasus yang terus bertambah, maka pemulihan ekonomi juga akan menjadi tertunda dan anggaran yang dibutuhkan akan membengkak.

Jika wabah COVID-19 ini tidak terkendali, maka kemungkinan besar target pertumbuhan 5% yang direncanakan pemerintah di tahun depan pun akan sulit tercapai.


Baca juga: Peneliti: target pertumbuhan ekonomi 5% tahun depan sulit tercapai


.

Risiko penularan lebih tinggi

Selain dampak ekonominya yang tidak signifikan, penyelenggaraan Pilkada justru akan memberikan dampak risiko penyebaran COVID-19 yang lebih tinggi.

Sampai saat ini jumlah penambahan kasus COVID-19 belum mengalami perlambatan. Hingga kamis, 22 Oktober 2020, kasus positif COVID-19 telah mencapai 377.541 kasus setelah pada hari itu bertambah 4.432 kasus.

Rizal melihat risiko ini bisa muncul mulai dari proses kampanye, pemungutan suara, maupun pemutusan dan perhitungan suara.

Walaupun pemerintah sudah mengimbau pelaksanaan protokol kesehatan dalam proses pemungutan suara seperti pembatasan jumlah pemilih yang hadir hingga 50 orang dengan jaga jarak 1 meter, namun pelanggaran masih bisa terjadi.

Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat setidaknya terdapat 375 pelanggaran protokol kesehatan ketika waktu kampanye yang terjadi pada kurun 6-15 Oktober 2020. Jumlah ini meningkat dari 237 kasus di periode 26 September hingga 5 Oktober.

Peta zona risiko dari Kementerian Kesehatan mengidentifikasi setidaknya ada ada 309 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. Dari daftar tersebut, setidaknya 45 kabupaten/kota masuk dalam zona merah (tinggi).

Pilkada serentak sebaiknya ditunda sampai tahun depan

Menurut Rizal dan Eric, Pilkada serentak ini sebaiknya ditunda sampai setidaknya tahun penyebaran COVID-19 lebih terkendali.

“Pilkada serentak sebaiknya dipikirkan kembali,” ujar Rizal.The Conversation

Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: