Yessar Rosendar, The Conversation

Pemerintah Indonesia baru-baru ini merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi 5% pada tahun depan, namun peneliti melihat bahwa target tersebut sulit tercapai.

“Ada dua hal yang harus diperhatikan tahun depan, jika wabah COVID-19 belum terkendali dan untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) penyalurannya masih lambat maka proyeksi saya kemungkinan target pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai,” ujar Eric Alexander Sugandi, peneliti senior dari Universitas Kebangsaan.

Menurut Eric, perlambatan pertumbuhan ekonomi akan berkurang ke depannya karena yang terburuk telah terjadi pada triwulan kedua tahun ini ketika pemerintah pertama kali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pada periode ini roda perekonomian nyaris terhenti karena terbatasnya kegiatan ekonomi yang bisa dilakukan.

Pemerintah diprediksi tidak akan memberlakukan PSBB lagi dan hanya akan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Mikro ini dilakukan karena PSBM tidak memiliki dampaknya pembatasan kegiatan ekonomi separah PSBB dan membuat ekonomi bisa tumbuh lebih baik.

“Saya lihat pemerintah tidak akan menerapkan PSBB kembali, aktivitas ekonomi akan berjalan tapi kerugiannya wabah akan sulit dikendalikan,” kata Eric.

Sepakat dengan Eric, Agus Nugroho, Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melihat target pertumbuhan ekonomi pemerintah tahun depan kurang realistis.

Ada beberapa alasan mengapa target ini sulit untuk tercapai, yang pertama adalah karena tahun ini Indonesia sudah masuk ke zona resesi atau kemunduran ekonomi.

Resesi terjadi karena jumlah permintaan barang dan jasa yang menurun akibat tingkat kepercayaan masyarakat untuk melakukan konsumsi sangat rendah.

Menurut estimasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas, sepanjang bulan Maret sampai Juni daya beli masyarakat Indonesia hilang sebesar Rp 362 triliun karena pandemi COVID-19.

“Krisis kepercayaan ini yang tidak mudah untuk pulih secara cepat,” ujar Agus.

Yang kedua adalah karena Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mendapatkan dampak yang paling berat akibat pelemahan ekonomi saat ini. Celakanya, UMKM menyumbang 60% untuk produk domestik bruto (PDB) atau total nilai barang dan jasa di Indonesia sepanjang tahun lalu.

Sebab ketiga adalah karena resesi yang dihadapi oleh negara maju seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan akan memperlemah arus investasi asing yang masuk ke Indonesia.

Pada tahun lalu Singapura menyumbangkan investasi terbesar dengan Rp 95,9 triliun, Jepang terbesar ketiga dengan Rp 63,4 triliun dan Korea Selatan terbesar ketujuh dengan menyumbang Rp 14,7 triliun kepada realisasi penanaman modal asing pada tahun lalu totalnya mencapai Rp 416,3 triliun.

Tahun ini penurunan investasi asing karena COVID-19 mulai terasa, pada triwulan kedua investasi asing hanya mencapai Rp 97,6 triliun atau turun 6,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Apa yang harus dilakukan pemerintah

Agus menyarakan langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah mitigasi dampak terhadap UMKM.

Hal ini bisa dilakukan dengan memperbesar jangkauan bantuan insentif untuk UMKM, untuk bantuan modal bisa disalurkan bukan hanya melalui perbankan tapi juga lembaga non-bank termasuk lembaga keuangan mikro seperti Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) dan Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP).

Program pembelian atau belanja barang langsung dari pemerintah, stimulus berupa diskon belanja dan bazaar online bisa dilakukan untuk mendorong penjualan UMKM dan merangsang konsumsi masyarakat.

“Ini berarti defisit anggaran pemerintah masih harus ditingkatkan tahun depan,” ujar Agus.

Senada dengan Agus, Eric juga berpendapat jika segi permintaan dari konsumsi rumah tangga harus didorong. Pemerintah sebaiknya bisa lebih efisien dalam merealisasikan anggaran, bantuan di PEN yang daya serapnya lambat seperti bunga kredit 0% bisa dialihkan untuk bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial, dan bantuan modal untuk UMKM.

Menurut Eric, saat ini pemerintah ingin mendorong investasi agar bisa tercipta lapangan pekerjaan baru. Namun para investor juga masih melihat segi permintaan dari masyarakat. Jika daya beli masyarakat masih lemah maka investor tidak akan agresif mengucurkan dananya.

Utang pemerintah yang terus bertambah akibat penanganan COVID-19 juga harus diperhatikan.

Sampai bulan Agustus utang luar negeri Indonesia telah mencapai US$ 200 miliar atau naik 3.4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penambahan ini didorong oleh penarikan beberapa pinjaman dari lembaga beberapa negara yang memberikan dukungan kepada Indonesia untuk menangani pandemi COVID-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Yang jadi masalah sekarang banyak utang di awal, namun belanja atau penyerapannya tidak mencapai target, kita jadi berutang yang tidak perlu,” ungkap Eric.The Conversation

Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition), The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: