JAKARTA, GRESNEWS.COM - Diskriminasi terhadap perempuan ternyata tak hanya terjadi di lingkungaan sehari-hari. Bahkan dalam forum legislasi dan peraturan konsesus pun banyak yang mendiskriminasi kaum perempuan. Mulai dari gaya berpakaian, hingga terakhir, tes keperawanan pada calon anggota TNI perempuan.

Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Masruchah menyatakan, terdapat banyak kebijakan yang mendiskriminasi perempuan. "Sebanyak 365 kebijakan diskriminatif atas nama moralitas dan agama dan 279 terkait dengan kontrol kehidupan perempuan," paparnya kepada Gresnews.com, di Nusantara IV DPR RI, Senayan, Rabu (20/5).

Kebijakan-kebijakan tersebut diaplikasikan pada peraturan wajib dalam menggunakan jilab, pelarangan keluar malam, peraturan-peraturan daerah tentang prostitusi atau antimaksiat tapi isinya banyak yang menangatur kehidupan perempuan. "Jika mereka mau melindungi korban, maka buat peraturan bagi pelaku, bukan korban yang dikekang," katanya.

Ia mencontohkan, kebijakan diskriminatif kepada perempuan soal pelacuran, dimana siapapaun yang diduga seperti pelacur bisa dirazia, baik karena dandanannya, berkeliaran pada malam hari, atau cara berpakaiannya. Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini banyak menimbulkan salah tangkap karena pasal-pasalnya dalam konteks hukum terdapat ketidakpastian.

Di Jawa Timur, Perda pelarangan pelacuran terdapat kalimat yang menyatakan perempuan dilarang jalan mondar-mandir di malam hari. "Dugaan pelacur ini distigma hanya karena jalannya mondar-mandir, lucu bukan?" ujarnya heran.

Di Jawa Barat, terdapat perda yang mengatur tentang tata cara berpakaian. Padahal masalah pakaian merupakan hak induvidu setiap orang. Terakhir terdapat tes keperawanan khusus untuk perempuan yang ingin masuk TNI dengan alasan TNI yang tugasnya menjaga kedaulatan dan keselamatan bangsa harus memiliki kepribadian yang bagus, agar yang dijaganya tidak akan hancur.

"Kewajiban penggunaan jilbab dan keperawanan bukan urusan negara tapi personal," katanya.

Kebijakan dan undang-undang yang mendiskriminasi tersebut diduga lantaran banyak pembuat peraturan diintervensi oleh kepentingan partai politiknya. Faktanya parpol sering mengintervensi presentasi para anggota DPR. Artinya kebijakan yang dibuat tidak lepas dari intervesi pimpinan atau pengurus partai.

"Itu riil, saya harap anggota DPR bisa mengambil kerja legislasi yang bebas dari intervensi," katanya.

Caranya, soal inisiasi perspektif baik legislator perempuan dan laki-laki harus memiliki kerangka pikir yang jelas dan sama. Konstitusi dan UU harus dijadikan sebagai pijakan utamanya pada UU No. 23 tahun 2014 yang menyatakan dalam membuat kebijakan dilarang mendiskrimisnasikan baik atas nama etnis, ras, maupun gender.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago menyatakan, telah berusaha meningkatkan kapabilitas dan akuntabilitas anggota perempuan agar semua bisa terlibat terutama hal legislasi. Sayangnya, produk legislasi memang belum cukup meng-cover perempuan karena terjebak dalam isu perjuaangan ideologis.

Ditambah, tak semua anggota dewan laki-laki mempunyai perspektif yang sama, sehingga anggota perempuan lebih sulit menerobos agenda setting. "Diperlukan kesamaan visi di seluruh sektor pemerintahan, media, dan parlemen sebab persoalan gender bukan masalah perempuan semata," ujarnya.

Namun, Husein Muhammad sebagai tokoh agama menjabarkan produk kebijakan tersebut dibuat untuk melindungi perempuan. Pengekangan pembatasan ini dibuat agar menciptakan keadaan aman bagin perempuan untuk beraktivitas.

"Jadi mereka dapat melakukan apa saja dalam keadaan aman dan nyaman. Jika tidak dilakukan maka kemiskinan perempuan, bangsa, dan negara akan terus berlangsung," katanya.

BACA JUGA: