JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sejumlah tokoh lintas agama mendukung perubahan syarat minimal menikah bagi perempuan dari 16 menjadi 18 tahun. Alasannya, baik dalam syari´at atau norma agama Islam, Katolik dan Buddha tidak mewajibkan atau menetapkan usia tertentu, tapi pada tujuan pernikahan.
 
Cendekiawan muslim, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, mengatakan Alquran dan sunah nabi menganjurkan pernikahan dilakukan setelah mampu secara fisik dan materi. Sedangkan tujuan utamanya adalah membentuk keluarga bahagia yang penuh sakinah (ketenangan), cinta dan rasa kasih sayang yang diwujudkan dengan kerjasama, musyawarah dan tanggung jawab antara suami-istri.
 
Menurutnya, usia 16 tahun bagi perempuan belum sepenuhnya bisa bermusyarawarah dengan suaminya dan bertanggung jawab terhadap rumah tangga.
 
"Soal akil baliq bukan semata-mata dilihat dari kesiapan fisiknya namun juga mental seseorang," kata Quraish Shihab saat menyampaikan keterangannya sebagai ahli pemohon dalam sidang lanjutan pengujian usia nikah minimal bagi perempuan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (18/11).   
 
Karena itu, mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII (1998) sependapat meninjau ulang atau mengubah lebih tinggi ketentuan usia perkawinan yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Pernikahan).
 
Pendapat senada juga disampaikan perwakilan Pengurus Pusat Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Pastor Purbo Tamtomo Pr. Ia mengatakan, usia 16 tahun masih terlalu muda bagi perempuan untuk mengemban tanggung jawab, khususnya dalam membina rumah tangga.
 
Purbo berpendapat, batasan batasan usia itu lebih pada kematangn biologis, bukan kematangan tanggung jawab psikologis dan ekonomi. "KWI mendukung meninjau ulang batasan usia menikah bagi perempuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan," jelasnya dalam sidang yang sama.
 
Wali Umat Buddha Indonesia (Walubi) yang diwakili Suhadi Sendjaja juga sependapat syarat minimal menikah bagi perempuan idealnya dinaikkan menjadi 18 tahun. Alasanya, hukum Buddha selaras dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan (sains).
 
Menurutnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang menyatakan usia 18 tahun seorang wanita dianggap sudah siap secara fisik, psikologis, dan pengetahuan untuk berkeluarga dan menghasilkan keturunan.
 
"Usia 18 tahun sudah pantas bagi perempuan untuk berumah tangga dan pas menjadi seorang ibu," terangnya.
 
Seperti diketahui, ketentuan pasal yang dipersoalkan tersebut diajukan oleh dua pemohon berbeda. Pertama, Indry Oktaviani, Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari SA Baniah, dkk meminta MK menguji Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Gugatan yang sama diajukan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan.
 
Pasal 7 ayat (1) berbunyi ´Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun´. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, ´Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita´.
 
Mereka berpendapat, batas usia anak perempuan dalam UU Perkawinan secara contrario tidak memiliki kesesuaian dengan 19 peraturan perundang-undangan nasional, baik dalam bentuk undang-undang, keputusan menteri, peraturan pemerintah, hingga putusan Presiden Republik Indonesia.
 
Secara umum peraturan-peraturan tersebut menyatakan bahwa anak disebutkan telah dewasa apabila telah berusia di atas 18 tahun. Kondisi ini dianggap secara faktual dan aktual telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum mengenai batas usia anak di Indonesia.
 
Misalnya, contra dengan pasal 26 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak sampai usia 18 (delapan belas) tahun.  Bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mengatur bahwa usia anak sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
 
Contra juga dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pengaturan wajib belajar anak selama 12 (dua belas) tahun; dan contra dengan Pasal 131 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal ini menyebutkan ´Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun´.

BACA JUGA: