JAKARTA - Perwakilan warga Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah akan mengadukan kasus lahannya yang tak kunjung tuntas ke Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada Selasa (15/1).

Dalam siaran pers yang diterima redaksi, Senin (14/1) dijelaskan, hal itu dilakukan untuk mendorong penyelesaian permasalahan tanahnya dengan segera, agar warga bisa menggarap lahannya lebih produktif dengan tenang.

Dijelaskan, lahan dimaksud dulunya bekas perkebunan Belanda yang tanamannya serat nanas (Sisal) dan kopi. Setelah merdeka tanah digarap masyarakat, tapi sistem penggarapannya masih belum teratur sampai 1954. Kemudian ditarik oleh pemerintah dan dibagikan secara adil sesuai wilayah desanya masing–masing, memakai kriteria kuli setengah dan kuli kendo. Mulai saat itu yang jatah perkampungan sudah ditempati oleh masyarakat, yang jatah tegal juga sudah mulai digarap.
 
4 Januari 1964 pemerintah memberikan bukti kepemilikan kepada masyarakt berupa SK yang dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah Jawa Tengah (KINAD), antara lain: SK No. 2971X1172/DC/64 dan 3891z/173/72/DC164.
 
Awal 1965 Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) yang sekarang PTP Nusantara IX ingin memperluas kebunnya dengan cara menyewa tanah masyarakat tersebut dalam jangka waktu 25 tahun, per 1/4 hektar tanah akan disewa Rp2500. Tetapi warga keberatan karena tanah tersebut adalah satu–satunya sumber penghidupan.

Seiring posisi tarik ulur antara boleh atau tidak boleh, terjadilah peristiwa G30SPKI. Ironisnya peristiwa tersebut dimanfaatkan (disalahgunakan) oleh PPN dan Aparat untuk menakut- nakuti (mengintimidasi) warga, yaitu bagi warga yag tidak mau menyerahkan tanahnya secara sukarela maka di-cap sebagai PKI dan ditahan tanpa proses.
 
Pertengahan 2000, warga mulai memperjuangkan tanahnya agar bisa kembali dengan melobi dari tingkatan Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai ke Pusat. Bahkan warga telah menempuh berbagai cara agar tanahnya bisa kembali, antara lain dengan menjalin dan membangun komunikasi serta koordinasi baik dengan DPR, instansi pemerintah maupun lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat, di antaranya Kementerian BUMN; Departemen Keuangan; Departemen Pertanian; Departemen Dalam Negeri; Komnas HAM; Ombudsman Republik Indonesia; DPR RI; BPN Pusat; Kanwil BPN Jawa Tengah; Gubernur Jawa Tengah; DPRD Sragen; Bupati Sragen; BPN Sragen; Kecamatan Sambirejo; serta lembaga lainnya.
 
Dalam perkembangannya, pada 15 Juni 2005 kasus tersebut sudah ditangani Pansus Pertanahan DPR-RI yang diketuai Nyoman Gunawan yang berkoordinasi langsung dengan pihak-pihak terkait.
 
31 Desember 2006 Hak Guna Usaha PTPN IX habis, lalu tanah tersebut sebagian kembali dikuasai dan digarap oleh masyarakat dengan ditanami Polowijo dan Kayu-kayuan seperti Kayu Mahoni, Kayu Jati, kayu Sengon, Pohon pisang, coklat, jagung, kacang dan lain-lain, sehingga sangat bermanfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Seperti diberitakan sebelumnya, tahan seluas sekitar 300 hektar yang telah dikuasai warga kembali setelah habis masa HGU PTPN IX, namun sampai saat ini tak kunjung tuntas penyelesaiannya. PTPN IX mengatakan akan mengembalikan ke warga sebagai pemiliknya, namun perwakilan warga dikejutkan dengan kabar dari pihak Kemeneg BUMN, bahwasanya sudah ada perpanjangan HGU atas tahan tersebut sejak 2010.

BACA JUGA: