JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewasa ini, kejahatan lintas batas semakin kompleks dan terus berkembang  dalam berbagai bentuk. Salah satunya kejahatan perdagangan manusia (human trafficking).

Merujuk Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), perdagangan orang adalah Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman tertentu yaitu kekerasan, penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan, memberi bayaran, penjeratan utang.

Persoalan ini cukup serius jika dikaitkan dengan posisi Indonesia. Sebab pemerintah Indonesia telah penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi.

Direktur Jenderal Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhamad Iqbal mengungkapkan kerjasama global antar negara kembali dilakukan melalui pembahasan tentang isu kejahatan human trafficiking di Wina, Austria pada Senin (16/11) lalu. Pertemuan itu membicarakan penguatan peran dan koordinasi memerangi kasus perdagangan orang.

Pertemuan tingkat internasional human trafficking itu juga membahas peran agen penyalur tenaga kerja dan biaya perekrutan hingga pada praktik perdagangan orang. Bahkan, dalam perkembangannya, kejahatan ini dianggap cukup terencana dan terorganisir melibatkan agen-agen pengirim tenaga kerja.

"Ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab telah memperdagangkan WNI ke luar negeri," kata Iqbal kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Permasalahan ini, kata dia, harus diakui sebagai akibat lemahnya legislasi nasional di bidang ketenagakerjaaan dan kurangnya pengawasan terhadap kejahatan perdagangan orang.

FENOMENA PERDAGANGAN WNI - Masalah perdagangan manusia belakangan ini kerap menimpa sebagian masyarakat khususnya para Tenaga Kerja Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Wakil Ketua Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) Imam  Syafi´i menyebut, sebagian besar kalangan buruh migran Indonesia selama ini cukup marak dijadikan korban perdagangan orang. Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi persoalan tersebut, utamanya faktor ekonomi

Laporan data kasus SPILN yang dikutip dari International Organization for Migration (IOM), pada bulan Maret sampai Desember 2014, daerah Jawa Barat menempati urutan teratas dari jumlah korban yaitu mencapai 2.151, Jawa Tengah terdiri dari 909 orang dan Kalimantan Barat 732 orang.

Sementara, tahun 2015 wilayah yang cukup tinggi jumlah kasus perdagangan manusia adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Pihak terlibat perlu diberi sanksi, sementara korban perdagangan wajib difasilitasi hak-haknya," kata Imam kepada gresnews.com.

Alasan dibalik maraknya kasus perdagangan orang, kata dia, karena pemerintah belum secara tegas menegakkan aturan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Padahal secara konstitusional telah disebutkan bahwa setiap perbuatan atau serangkaian tindakan terkait perdagangan orang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

Contohnya, Pasal 2 ayat (2) UU PTPPO juga menyebutkan bahwa pihak atau orang yang terlibat dalam aksi perdagangan manusia terancam dipidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun atau pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

Belum tegak lurusnya aturan itu, alhasil, menjadi salah satu penyebab terjadinya banyak kasus. Di satu sisi, ketidakseriusan itu seringkali tampak saat kasus-kasus perdagangan manusia tidak ditindaklanjuti hingga tuntas ditambah belum terjaminnya hak-hak ganti rugi terhadap korban.

MODUS PERDAGANGAN MANUSIA - Kasus penyelundupan dan perdagangan manusia dilakukan dengan berbagai cara. Terkait posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang cukup panjang ditenggarai cukup rawan dijadikan praktik human trafficking.

Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kemenlu RI Andi Rachmianto menyebut, bila meninjau titik-titik lokasi di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Rote merupakan jalur yang masih rawan terjadi kejahatan perdagangan manusia.

Kemudian, di wilayah Jawa pun dirasa masih sulit terhindar dari praktik kejahatan lintas batas khususnya daerah Pangandaran, Sukabumi, Cilacap, Nusa Kambangan, kemudian ke Arah Jawa Timur Hingga Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Terkait praktik kejahatan ini, Ia menjelaskan ada berbagai cara yang ditempuh para penyelundup (smugggler) melalui rantai jaringan kerjasama yang sudah terorganisir dengan sebagian oknum di daerah-daerah yang minim pengawasan aparat penjaga.

Pelaku yang beraksi selama ini, kata Andi, memiliki jaringan di beberapa negara baik itu negara asal, transit dan destinasi (tujuan). "Pelaku memiliki jaringan kerjasama di negara-negara tertentu melalui jalur-jalur ilegal," kata Andi kepada gresnews.com.

Kejahatan lintas batas semacam ini, menurut Andi, merupakan ancaman bagi negara yang belum memiliki kekuatan armada pengawasan laut.

Terkait hal itu, upaya penguatan armada perbatasan dan langkah pengawasan menjadi faktor utama memeranginya. Langkah itu, dipandang efektif mengantisipasi peredaran kejahatan di darat dan laut sekaligus  meminimalisir kemungkinan ancaman lintas batas serta bentuk kriminal lainnya.

Aturan Tak Tegak Perdagangan Manusia Marak

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewasa ini, kejahatan lintas batas semakin kompleks dan terus berkembang  dalam berbagai bentuk. Salah satunya kejahatan perdagangan manusia (human trafficking).

Merujuk Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), perdagangan orang adalah Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman tertentu yaitu kekerasan, penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan, memberi bayaran, penjeratan utang.

Persoalan ini cukup serius jika dikaitkan dengan posisi Indonesia. Sebab pemerintah Indonesia telah penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi.

Direktur Jenderal Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhamad Iqbal mengungkapkan kerjasama global antar negara kembali dilakukan melalui pembahasan tentang isu kejahatan human trafficiking di Wina, Austria pada Senin (16/11) lalu. Pertemuan itu membicarakan penguatan peran dan koordinasi memerangi kasus perdagangan orang.

Pertemuan tingkat internasional human trafficking itu juga membahas peran agen penyalur tenaga kerja dan biaya perekrutan hingga pada praktik perdagangan orang. Bahkan, dalam perkembangannya, kejahatan ini dianggap cukup terencana dan terorganisir melibatkan agen-agen pengirim tenaga kerja.

"Ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab telah memperdagangkan WNI ke luar negeri," kata Iqbal kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Permasalahan ini, kata dia, harus diakui sebagai akibat lemahnya legislasi nasional di bidang ketenagakerjaaan dan kurangnya pengawasan terhadap kejahatan perdagangan orang.

FENOMENA PERDAGANGAN WNI - Masalah perdagangan manusia belakangan ini kerap menimpa sebagian masyarakat khususnya para Tenaga Kerja Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Wakil Ketua Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) Imam  Syafi´i menyebut, sebagian besar kalangan buruh migran Indonesia selama ini cukup marak dijadikan korban perdagangan orang. Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi persoalan tersebut, utamanya faktor ekonomi

Laporan data kasus SPILN yang dikutip dari International Organization for Migration (IOM), pada bulan Maret sampai Desember 2014, daerah Jawa Barat menempati urutan teratas dari jumlah korban yaitu mencapai 2.151, Jawa Tengah terdiri dari 909 orang dan Kalimantan Barat 732 orang.

Sementara, tahun 2015 wilayah yang cukup tinggi jumlah kasus perdagangan manusia adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Pihak terlibat perlu diberi sanksi, sementara korban perdagangan wajib difasilitasi hak-haknya," kata Imam kepada gresnews.com.

Alasan dibalik maraknya kasus perdagangan orang, kata dia, karena pemerintah belum secara tegas menegakan aturan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Padahal secara konstitusional telah disebutkan bahwa setiap perbuatan atau serangkaian tindakan terkait perdagangan orang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

Contohnya, Pasal 2 ayat (2) UU PTPPO juga menyebutkan bahwa pihak atau orang yang telibat dalam aksi perdagangan manusia terancam dipidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun atau pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

Belum tegak lurusnya aturan itu, alhasil, menjadi salah satu penyebab terjadinya banyak kasus. Di satu sisi, ketidakseriusan itu seringkali tampak saat kasus-kasus perdagangan manusia tidak ditindaklanjuti hingga tuntas ditambah belum terjaminnya hak-hak ganti rugi terhadap korban.

MODUS PERDAGANGAN MANUSIA - Kasus penyelundupan dan perdagangan manusia dilakukan dengan berbagai cara. Terkait posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang cukup panjang ditenggarai cukup rawan dijadikan praktik human trafficking.

Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kemenlu RI Andi Rachmianto menyebut, bila meninjau titik-titik lokasi di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Rote merupakan jalur yang masih rawan terjadi kejahatan perdagangan manusia.

Kemudian, di wilayah Jawa pun dirasa masih sulit terhindar dari praktik kejahatan lintas batas khususnya daerah Pangandaran, Sukabumi, Cilacap, Nusa Kambangan, kemudian ke Arah Jawa Timur Hingga Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Terkait praktik kejahatan ini, Ia menjelaskan ada berbagai cara yang ditempuh para penyelundup (smugggler) melalui rantai jaringan kerjasama yang sudah terorganisir dengan sebagian oknum di daerah-daerah yang minim pengawasan aparat penjaga.

Pelaku yang beraksi selama ini, kata Andi, memiliki jaringan di beberapa negara baik itu negara asal, transit dan destinasi (tujuan).
"Pelaku memiliki jaringan kerjasama di negara-negara tertentu melalui jalur-jalur ilegal," kata Andi kepada gresnews.com.

Kejahatan lintas batas semacam ini, menurut Andi, merupakan ancaman bagi negara yang belum memiliki kekuatan armada pengawasan laut.

Terkait hal itu, upaya penguatan armada perbatasan dan langkah pengawasan menjadi faktor utama memeranginya. Langkah itu, dipandang efektif mengantisipasi peredaran kejahatan di darat dan laut sekaligus  meminimalisir kemungkinan ancaman lintas batas serta bentuk kriminal lainnya.

BACA JUGA: