JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pro-kontra pembangunan proyek reklamasi pantai Pluit, Jakarta Utara terus berlanjut. Sejumlah kalangan mendesak agar orientasi pembangunan reklamasi diperjelas sebelum dilangsungkan pembangunannya. Sebab, dampak buruk dan kerugian masyarakat pesisir menjadi pertimbangan utama dalam kasus reklamasi pantai Pluit ini.

Deputi bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Marthin Hadiwinata mengatakan, proyek yang disebut-sebut akan menduduki lahan seluas 160 hektare itu sangat penting untuk dicermati dan dikaji kembali tujuan pembangunannya. "Perlu diperjelas tujuan dan kepentingan proyek ini. Siapa yang berkepentingan di balik reklamasi ini," kata Marthin saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (2/6).

Marthin menegaskan, arah kebijakan proyek reklamasi pantai Pluit harus dipahami sepenuhnya agar masyarakat khususnya nelayan tradisional tidak dirugikan. Marthin mengaku, pihaknya akan akan mendukung jika pembangunannya bermanfaat bagi masyarakat namun seandainya justru merugikan maka segera dihentikan. "Kalau merugikan nelayan, maka sebaiknya proyek Pluit dihentikan," tegas Marthin.

Proyek yang rencananya akan dibangun dalam waktu lima tahun tersebut boleh dikata merupakan sebuah proyek prestisius. Tak tanggung-tanggung, proyek yang bakal digarap anak usaha Agung Podomoro Land Tbk yakni PT Muara Wisesa Samudra tersebut menelan biaya besar untuk mendirikan 1.200 ruko dan villa, 15.000 unit apartemen dalam 20 menara, perkantoran, hotel, perumahan, pusat belanja, serta 8 hektare taman.

Namun demikian, dalam proses perencanaan izin dan pembangunan reklamasi Pluit ini masih dihadapkan pada tarik ulur antara masyarakat, LSM dan pemerintah. Khusus bagi LSM dan aktivis lingkungan, mayoritas menyerukan penolakan dan mendesak Pemprov DKI untuk tidak memberikan izin reklamasi pantai Pluit.

Sebelumnya, sejumlah pihak menyambut baik langkah DPR yang tidak merestui pembangunan proyek di pinggir pantai Jakarta Utara itu. Hal itu dapat dilihat melalui keputusan DPR beberapa waktu lalu yang pada intinya mendesak Pemprov DKI Jakarta membatalkan sejumlah Surat Keputusan (SK) Gubernur tentang Izin Reklamasi Pantai Jakarta Utara.

Menurut pihak DPR, reklamasi tersebut bertentangan dengan sejumlah aturan yakni UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisit dan Pulau-Pulau Kecil dan Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Menarik untuk diamati drama pembangunan reklamasi pantai Pluit yang kerap diselingi pertentangan antara kalangan pemerintahan dalam hal ini Pemprov DKI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Misalnya, salah satu pihak dari kalangan pemerintah yang cukup lantang menyuarakan penolakan atas reklamasi pantai Pluit adalah Direktur Jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau Kecil (KP2K) KKP Sudirman Saad.

Dalam keterangan sebelumnya, Sudirman mengungkapkan, izin yang dikeluarkan Pemprov terkait reklamasi pantai Pluit secara legal telah menabrak Peraturan Presiden No. 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perpres tersebut menuntut sejumlah tahapan dan syarat semisal kajian dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) sebelum menerbitkan izin reklamasi.

Namun, Pemprov DKI tetap mengandalkan ruang dan kapasitas hukum yang dimiliki sesuai UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Dimana, daerah memiliki kewenangan mengelola sumber daya alam di wilayah pesisir hingga 12 mil batas laut.

Menanggapi hal itu, Sudirman mengklaim, izin pembangunan tetap ada ditangan pemerintah pusat meskipun area reklamasi berada di bawah 12 mil. Pasalnya, lokasi tersebut merupakan kawasan strategis nasional. "Area reklamasi tersebut termasuk wilayah strategis nasional sehingga yang mengeluarkan izin adalah Kementerian," tandas Sudirman.

BACA JUGA: