JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan hukuman mati yang diterapkan di Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Australia dan Brazil memprotes keras eksekui mati terhadap warga negaranya. Bahkan lembaga Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia untuk mengurungkan pelaksanaan eksekusi mati itu.

Sejumlah akademisi yang konsen di bidang kebijakan hubungan internasional melihat, isu eksekusi mati yang dilakukan dalam era Presiden Joko Widodo ini harus menjadi mementum merevitalisasi gaya diplomasi para diplomat Indonesia saat ini. Para diplomat harus bisa menerjemahkan apa yang menjadi semangat pemerintahan sekarang.

"Isu hukuman mati bisa jadi momentum mencari wajah diplomasi Indonesia yang sebenarnya," kata Ketua Jurusan Hubungan Internasional Univesritas Binus Tirta Mursitama dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (7/3).

Diplomasi Indonesia bukan dengan menunjukkan inferioritas terhadap negara lain tetapi harus sebaliknya. Karenanya, pelaksanaan hukuman mati sebagai penegakan hukum tertinggi tetap harus dilakukan. Karenanya sangat penting para diplomat memberikan pemahaman kebijakan tersebut terhadap negara luar.

Jelang pelaksanaan eksekusi mati tahap dua terjadi ketegangan antara Indonesia dengan beberapa negara khususnya Australia tidak terelakkan. Namun Tirta mengatakan tekanan yang disampaikan Perdana Menteri Australia Tony Abbot tidak perlu dirisaukan.

"Saya melihat kemungkinan ketegangan akan ada. Tapi Tony Abbott telah mengatakan tak akan memulangkan duta besarnya dari Indonesia. Artinya ini permainan politik diplomatik dengan Indonesia," jelas Tirta.

Artinya, jelas Tirta, tidak akan ada kiamat hubungan Indonesia dengan Australia akibat eksekusi ini. Maka ini tugas diplomat untuk menjelaskan konteks hukuman mati bukan hanya Jokowi.

Tirta tak mengecilkan peran diplomat selama ini. Hanya saja dengan isu hukuman mati yang diangkat media secara besar-besaran, kerjanya akan lebih berat. "Diplomasi harus disesuaikan dengan konteksnya. Pasti ada pembicaraan khusus yang tidak dibuka ke publik. Saya yakin mereka sudah melakukan itu, misalnya komunikasi dengan konjen-konjen kita," tuturnya.

Hal sama disampaikan Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina Dinna Wisnu. Menurutnya, kebijakan pelaksanaan hukuman mati tidak hanya dilihat untuk kepentingan diplomasi jangka pendek tetapi juga jangka panjang. Jangan sampai hukuman mati menyebabkan terisolirnya Indonesia dari pergaulan global.

Karenanya, strategi diplomasi harus dilandasi semangat yang substansial tentang kedaulatan Indonesia. Bahwa Indonesia berada di rel demokrasi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).

"Karenanya isu hukuman mati tidak perlu dibawa ke ranah publik lagi, biarkan para diplomat bekerja sesuai kebijakan presiden," kata Dinna.

Namun Dinna mendesak pemerintah untuk ke depan kebijakan hukuman mati perlu ditinjau ulang. Sebab saat ini hampir semua negara di dunia trennya menghapus hukuman mati.

Sementara Direktur Populi Center Nico Harjanto mendukung kebijakan Jokowi untuk melakukan eksekusi terpidana narkotika jika dilihat dalam kerangka kebijakan jangka pendek. Menurut dia, pemerintah saat ini tidak bisa lagi menunda pelaksanaan hukuman mati karena pemerintah sebelumnya sudah menunda-nunda eksekusi mati.

"Kemarin, pemerintahan sebelumnya memang ditunda terus, ada permintaan grasi dan lain lain tidak diproses karena kebijakan SBY itu zero enemy, beliau tidak mau dalam politik luar negeri meninggalkan isu," kata Nico.

Namun jika dilihat dalam kerangka pemikiran jangka panjang, Nico berpendapat bahwa pemerintah harus merevisi undang-undang yang berkaitan dengan eksekusi mati terpidana.

Saat ini ada 10 terpidana mati yang masuk daftar tunggu regu tembak di gelombang dua dan sembilan di antara telah berada di Nusakambangan. Mereka adalah Zainal Abidin dari Indonesia, Serge Areski Atlaoui asal Perancis, Rodrigo Gularte asal Brazil, Silvester Obiekwe Nwaolise asal Nigeria, Martin Anderson alias Belo asal Ghana dan Okwudili Oyantanze asal Nigeria. Lalu dua orang warga negara Australia Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, satu orang warga negara Spanyol Raheem Agbaje Salami, serta seorang warga negara Filipina Mary Jane Fiesta Veloso.

BACA JUGA: