JAKARTA, GRESNEWS.COM – Wacana pemunduran jadwal Pemilihan Kepala Darah (Pilkada) pada 2016 mendatang menjadi perdebatan di internal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya komisi II. Sejumlah pihak menilai pemunduran jadwal Pilkada bertentangan dengan isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada Langsung,  yang menjadwalkan Pilkada Desember 2015. Selain itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga hanya memiliki dua opsi untuk menerima atau menolak Perppu, tanpa pembahasan atau perubahan.

Kalangan internal Komisi II DPR masih belum sepaham soal substansi Perppu tersebut. Tapi setidaknya anggota komisi II melihat terdapat dua alternatif yang bisa dilakukan. Pertama, menolak Perppu dan membuat Rancangan Undang-Undang Pilkada Langsung yang berasal dari materi Perppu yang telah diperbaiki. Kedua, menerima Perppu Pilkada dan merevisinya setelah menjadi undang-undang.   

Terkait hal ini, Ketua Komisi II fraksi Golkar DPR Rambe Kamaruzzaman mengatakan secara substansi materi Perppu Pilkada masih banyak yang perlu dipertanyakan dan diperbaiki karena dibuat terlalu teknis. Pertama, ia mempertanyakan bagaimana pengawasan bisa dilakukan kalau pilkada dilakukan serentak pada 2016. Kedua, banyak pihak yang mewacanakan untuk mengundur pilkada ke 2016 karena jika dilaksanakan 2015 persiapannya dianggap terlalu terburu-buru. Padahal harus diperhitungkan juga kebutuhan soal kenapa pilkada dijadwalkan pada 2015 atau 2016.

“Kalau isi Perppu mau diubah, kita harus cabut Perppu dulu baru kita ubah. Kalau mau pilkada langsung tidak apa-apa. Tapi jangan terima yang tidak bisa dilaksanakan. Sebab kalau diterima, dipertanyakan kok DPR terima yang salah,” ujar Rambe pada Gresnews.com, Selasa (30/12).

Berdasarkan Perppu Pilkada, pilkada dijadwalkan dua kali yaitu pada 2015 dan 2018. Rambe melanjutkan lebih mendukung agar pilkada dilaksanakan pada 2015 sesuai dengan Perppu. Sebabnya ada sebanyak 204 daerah yang habis periode jabatannya sebagai kepala daerah pada 2015. Kalau pilkada diundur ke 2016 maka periode jabatan pelaksana tugas pengganti kepala daerah dianggap terlalu lama yakni selama sekitar 1 tahun menuju 2016.

Lebih lanjut, dalam Perppu Pilkada masa jabatan kepala daerah yang habis pada 2016-2018, pelaksanaan pilkadanya bisa dilaksanakan pada 2018. Padahal ia menilai 2018 jaraknya sangat dekat dengan pemilu presiden dan legislatif. Sehingga kalau ada baiknya pilkada dilaksanakan pada 2017 kalau periode pilkada yang pertama tetap dilaksanakan 2015.

Ia menuturkan jika pilkada dilaksanakan pada 2017, partai tidak perlu lagi sibuk dengan pilkada tapi bisa lebih fokus pada pilpres di 2018. Lagipula daerah yang pemimpinnya telah habis masa jabatannya pada 2016 tidak akan terlalu lama dipimpin pelaksana tugas. Kalau pilkada dilaksanakan pada 2018, maka pelaksana tugas akan menjabat sekitar 2 tahun 8 bulan sebagai pengganti sementara kepala daerah. Adapun kepala daerah yang masih menjabat bisa juga diusulkan agar masa jabatannya dipercepat.  

Menurut Rambe, untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada, Perppu harus diubah. Jalurnya bisa mencabut Perppu lalu DPR dan pemerintah mengajukan rancangan undang-undang yang berasal dari Perppu Pilkada tahun 2014 yang sudah lebih dulu disiapkan. Sehingga tidak ada kekosongan hukum. Alternatif lainnya, DPR menerima Perppu Pilkada dan langsung melakukan perbaikan.

Sementara Anggota Komisi II Fraksi Demokrat Saan Mustofa mengatakan soal jadwal pilkada serentak menurutnya perlu dibuat kesepakatan antara DPR, KPU dan pemerintah. Perppu sendiri sudah jelas mengatur pilkada pada 2015 dan 2018. Tapi DPR perlu mempertanyakan soal kesiapan KPU menghadapi pilkada.

“Misalnya apakah persiapan pilkada 2015 terlalu mepet bagi KPU. Yang tahap kedua pada 2018 apakah pilkada mepet dengan pileg dan pilpres yang akan dilaksanakan pada 2019? Kalau KPU merasa pilkada serentak 2015 dan 2018 bisa kita bicarakan,” ujar Saan pada Gresnews.com, Selasa (30/12).

Ia mencontohkan misalnya saja DPR menerima Perppu pilkada lalu ada revisi terhadap Undang-Undangnya. Menurutnya, saat ini yang terpenting KPU memiliki kepastian hukum terhadap pelaksanaan pilkada. Pasalnya kalau DPR menolak Perppu tentu mengalami kekosongan hukum meskipun akan ada rancangan undang-undang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kekosongan hukum ini yang berbahaya karena KPU menjadi tidak memiliki dasar hukum untuk bisa bekerja.  

Sebelumnya, Perppu pilkada memandatkan pelaksanaan pilkada di 2015. Tapi muncul wacana pemunduran jadwal pilkada dari 2015 ke 2016 karena dianggap persiapannya terlalu mepet bagi KPU dan di 2016 akan lebih banyak daerah yang ikut pilkada serentak. Usulan tersebut membuat suara fraksi di DPR yang diyakini Demokrat akan menerima Perppu kembali goyah lantaran munculnya wacana pemunduran jadwal pilkada menunjukkan Perppu tidak kontekstual dengan kebutuhan yang ada.

BACA JUGA: