JAKARTA, GRESNEWS.COM - Distribusi dan penguasaan tanah yang timpang menjadi salah satu sumber konflik antara pengusaha besar dengan para petani sekitar lahan sengketa. Selain mengakibatkan bentrok fisik, tidak sedikit yang berujung di pengadilan. Dipastikan, para pengusaha besar akan menang, sebaliknya para petani kerap mendapat ganjaran sanksi pidana.

Faktor pemicunya, kata Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, salah satunya adalah keberadaan mafia tanah yang menguasai dan mempermainkan tanah kepada pihak tertentu. Mafia tanah yang didefinisikan Ferry sebagai sifat dan karakter menyimpang dari tugas seharusnya yang diberikan badan atau intitusinya. Mulai dari menjual tanah-tanah ilegal, mafia juga bermain saat masyarakat mengurus perizinan atau pemilikan tanah.

Mafia tanah ini, lanjut Ferry, dominan berada di dalam badan atau institusi tertentu yang memiliki lahan, dan paling dominan berada di Badan Pertanahan Nasional (BPN), penegak hukum dan pengusaha besar itu sendiri. "Kondisi seperti itu jelas akan terus menimbulkan konflik yang dipastikan petani selalu kalah," tutur Ferry, Kamis (13/11).

Dampak yang disebabkan mafia tanah membuat konflik tanah terus meningkat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghitung bahwa persoalan konflik agraria telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan atau tidak digunakan secara optimal seluas 607.886 hektar atau seluas 6.078.860.000 m2.

Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa, jika kita hitung dengan NJOP tanah terendah (Rp15.000), maka kerugian Negara telah mencapai Rp. 91,1829 Triliun. Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dengan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp146,804 triliun.

Karena itu, Ferry menyatakan akan berupaya memberantas mafia tanah dan membenahi agraria setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan kementerian lain. Salah satunya adalah akan mengambil alih tanah-tanah milik pengusaha besar yang tidak dimanfaatkan atau digunakan (tanah menganggur) untuk kemudian disita di bawah penguasaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Kata Ferry, tanah sitaan itu selanjutnya akan didistribusikan kepada para petani dengan prioritas yang tidak mempunyai tanah.  "Kami sudah berencana memasang plang (di bawah penguasaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang) sebagai shock therapy bagi pihak yang tidak memanfaatkan tanahnya," tegasnya. Namun, ia belum merinci lebih detail langkah apa saja yang bisa diambil dalam proses tersebut.

Sementara Ketua Eksekutif  Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, menegaskan agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang segera mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi Undang Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Petani) dalam rangka memberikan jaminan luas lahan pertanian kepada petani dan segenap upaya perlindungan dan pemberdayaan lainnya.

MK mengabulkan sebab putusan tersebut bisa dilihat sebagai upaya membangun dasar-dasar reforma agraria atau landreform melalui redistribusi tanah kepada petani. Dalam MK berpendapat tanah negara yang telah diredistribusikan kepada petani, pemerintah tidak boleh memungut hak sewa karena hak sewa tanah pertanian di tanah negara bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan merupakan warisan kolonialisme yang harus dihapuskan.

Kemudian redistribusi tanah negara untuk petani harus memprioritaskan petani yang tak punya tanah; dan  pemberian izin-izin oleh pemerintah di kawasan pertanian harus bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Putusan MK juga telah meletakan dasar legitimasi bagi organisasi tani. Karena MK mengamanatkan pemerintah untuk mengakui kelembagaan petani yang dibentuk petani dan tidak boleh mendiskriminasikannya, serta tidak boleh mewajibkan petani bergabung kepada kelembagaan petani yang dibentuk oleh pemerintah.

"Putusan MK ini harus segera dijalankan oleh Presiden, Menteri Agraria, dan Menteri Pertanian dalam rangka memberikan jaminan luas lahan pertanian kepada petani dan segenap upaya perlindungan dan pemberdayaan lainnya," jelasnya dalam acara yang sama.

Seperti diketahui, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon yang menyatakan bahwa; Frasa ´hak sewa´ dalam Pasal 59 UU Petani bertentangan dengan UUD 1945. Frasa ´hak sewa´ dalam Pasal 59 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selanjutnya, Pasal 70 ayat (1) UU Petani juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ´termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani´, selengkapnya menjadi ´Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani´.
 
Berikutnya Pasal 71 UU Pertani. Frasa ´berkewajiban´ dalam Pasal 71 UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, selengkapnya menjadi: "Petani bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)".
 
Mahkamah berpendapat, petani berkewajiban berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal itu. Namun "Frasa ´berkewajiban´ bertentangan semangat kebebasan berserikat dan berkumpul yang dilindungi dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945.

BACA JUGA: