JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pencalonan perempuan dalam pemilu legislatif tidak oleh partai politik dinilai hanya upaya memenuhi ketentuan kuota 30 persen. Pencalonan mereka juga tidak dikawal secara maksimal oleh partai politik bersangkutan.Sehingga keterpilihan perempuan dalam pemilu legislatif 2014 kali ini merosot dibanding tahun sebelumnya.

Para caleg perempuan yang terpilih juga mereka yang memanfaatkan kedekatannya dengan elit politik dan bukan karena telah lama berkecimpung dalam aktivitas atau pelayanan sosial di masyarakat. Selebihnya, caleg yang lolos ke senayan adalah mereka yang memang memiliki leadership yang kuat atau seorang petahana.

Sejumlah caleg perempuan yang lolos dan memiliki kedekatan dengan elit politik, diantaranya Norbaiti Isran Noor dari Partai Demokrat yang merupakan istri gubernur Kalimantan Timur Isran Noor, Aliyah Mustika Ilham dari Partai Demokrat adalah istri mantan walikota Makassar dan Ketua DPW Demokrat Sulawesi Selatan, dan Siti Hediati Soeharto dari Partai Golkar merupakan anak mantan presiden Soeharto.

Selanjutnya, dari Partai Golkar ada Delia Pratiwi Sitepu yang merupakan anak Bupati Langkat, dari PAN ada Indira Chunda Thita Syahrul yang merupakan anak Syahrul Yasin Limpo Gubernur Sulawesi Selatan, dari PDIP ada karolin Marget Natasa adalah anak Cornelis Gubernur Kalimantan Barat. Lalu dari PDIP ada Vanda Sarundajang yang merupakan anak Gubernur Sulawesi Utara Sarundajang, dari PPP ada Wardatul Asriah yang merupakan istri ketua umum PPP Suryadharma Ali.

Selain ibunya, anak Suryadharma Ali juga lolos menjadi anggota DPR dari PPP yaitu Kartika Yudhisti. Terakhir dari PPP ada Irna Narulita yang merupakan istri dari Anggota DPR RI Dimyati Natakusumah.

Fenomena ini menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menandakan bahwa caleg perempuan seperti hanya syarat untuk memenuhi kuota. Ia menambahkan jika sudah terpenuhi keterwakilan 30% partai seakan tidak mengawal caleg perempuan menjadi caleg terpilih. "Jadi komitmen partai berhenti pada sekadar mencalonkan, tapi setelah pencalonan berhenti sampai disana," lanjutnya pada Gresnews.com, Jakarta, Rabu (30/7).

Titi menambahkan penguatan kapasitas dan strategi building tidak banyak dilakukan oleh partai. Hal itu lebih banyak dilakukan di luar partai politik. Menurutnya, politik transaksional dan perilaku pemilih juga berpengaruh terhadap keterpilihan caleg perempuan. Titi mencontohkan kalau ditemukan 2 kandidat caleg yang memiliki kompetensi yang sama, satu laki-laki dan satu perempuan, pemilih akan cenderung memilih yang laki-laki.

"Jadi pemilih perempuan pilih perempuan belum menjadi prinsip bagi pemilih kita. Pemilih kita tidak membedakan berdasarkan jenis kelamin dan gender, tapi lebih ke politik popular. Kalau pun perempuan banyak dari artis atau politik dinasti. Kalau dia gak strong banget, tokoh dan leader perempuan," katanya.

Senada dengan Titi, pengamat politik dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Sri Budi Eko Wardani mengatakan persaingan yang ketat di dalam suara terbanyak sangat merugikan karena modalitas caleg perempuan dan laki-laki berbeda. Sementara partai politik tidak melakukan upaya perlindungan terhadap caleg perempuan.

"Karena sistemnya suara terbanyak, lalu jumlah partai semakin sedikit, persaingan itu membuat satu partai tidak bisa mendapatkan lebih dari 2 kursi. Rata-rata partai politik hanya memenangkan 1-2 kursi saja di setiap dapil. Itu menunjukkan peluang perempuan terpilih lebih susah, karena jumlah kursi cuma 1, biasanya suara terbanyak didapat laki-laki," jelasnya pada Gresnews.com.

Sri menambahkan sekarang banyak perempuan yang terpilih memiliki kekerabatan dengan elit atau bupati. Sehingga Sri menyimpulkan sekalipun dia terpilih, dia bisa menang karena ada modalitas yang strategis dari orang yang punya kekuasaan. "Buktinya teman-teman aktivis seperti Nurul Arifin masih tidak bisa memenangkan, Nurul punya pengalaman dan figur yang popular tetap tidak bisa menang," ujarnya.

BACA JUGA: