JAKARTA,GRESNEWS.COM - Keterwakilan perempuan sebanyak 30% dalam pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang diatur dalam UU No. 8 tahun 2012 dinilai tumpang tindih dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2008 yang telah menganulir keterwakilan 30% tersebut.

“Jelas KPU itu inkonstitusional karena telah melawan putusan MK,” ujar Berar Fathia, Presidium Aliansi Perempuan kepada Gresnews.com, Minggu, (1/6). Ketentuan MK di tahun 2008 dengan putusan No. 22-24/PUU-VI/2008 telah membatalkan ketentuan UU 10/2008 pasal 214 huruf a, b, c, dan e.

Akibatnya, mekanisme penetapan calon tidak lagi didasarkan pada nomor urut terkecil dari calon yang bersangkutan. Melainkan didasarkan pada perolehan suara terbanyak. Dalam putusannya MK tidak membiarkan adanya kekosongan hukum, sehingga dibuatlah keputusan tersebut bersifat self executing.

Dengan demikian, tidak diperlukan revisi undang-undang atau pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam pelaksanaan ketentuan suara terbanyak. KPU dan jajarannya merujuk kewenangan Pasal 213 UU 10/2008 dapat menetapkan calon terpilih berdasarkan putusan MK ini.

Tapi, yang terjadi pada pemilu 2014 ini malah sebaliknya, KPU memakai UU No. 8 tahun 2012 sebagai dasar kuota 30% calon perempuan,  ditambah PKPU No. 07 Tahun 2013 yang akan menganulir seluruh bakal calon di daerah pemilihan jika suatu partai tidak memenuhi kuota 30% nya.

Hal inilah yang dirasa  mendiskriminasi hak-hak perempuan yang seharusnya mendapat hak yang sama dengan laki-laki dalam pemilu. Perempuan malah akan kehilangan hak perseorangan untuk mengajukan diri jika partai tersebut dibuat tidak berhak memiliki calon sementara. Apalagi menurut catatan KPU  keterpilihan DPR 2009-2014 pada perempuan tak sampai 20%, “Seharusnya diadakan pileg lagi, karena ini ilegal,” ucap Berar.

Berbeda dengan Berar, pengamat politik Arbi Sanit mengatakan bahwa KPU bisa saja tidak memakai putusan MK di tahun 2008, “Mungkin keputusan yang ditetapkan MK dirasa terlalu idealis bagi KPU sehingga KPU melakukan adaptasi tersendiri tentang sanksi dan kuota perempuan ini,” ujarnya, Minggu, (1/6).

Ia sendiri merasa jika selama terdapat peraturan yang membolehkan hal tersebut terjadi maka akan sah untuk dijalankan, “Tinggal MK saja nanti mau memperkarakan KPU dan hasil pemilu ini atau tidak,” ujarnya.

BACA JUGA: