JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sengkarut pemberian iPod dalam pesta pernikahan anak Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi telah mendistraksi atau mengalihkan perhatian masyarakat dari isu sesungguhnya. Sebab, yang harus disorot itu bukan suvenirnya, tapi apakah harta yang dimiliki Nurhadi itu wajar atau tidak.

"Ini tanggung penuh KPK untuk menyelidikinya. Masalah suvenir ini selain nggak penting, tapi malah mendistraksi isu sesungguhnya," kata Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil kepada Gresnews.com, Minggu (4/5).

Arsil menegaskan iPod yang diterima pejabat, penyelenggara negara atau penegak hukum dari resepsi pernikahan anak Nurhadi tersebut memang gratifikasi (hadiah), tapi tidak semua gratifikasi itu dapat dikatakan ilegal atau dipidana. Gratifikasi yang dapat dipidana itu adalah gratifikasi yang ilegal. Bisa dikatakan ilegal apabila pemberian tersebut diberikan karena ada hubungan dengan jabatannya.

"Agak janggal kalau menurut KPK, suvenir kemarin adalah gratifikasi yang ilegal karena suvenir diberikan kepada semua undangan tanpa melihat siapa dan apa jabatan dari undangan,” tegasnya.

Ia berpendapat, sebenarnya masalah souvenir iPod ini sederhana. Sejak awal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mendeteksi apakah suvenir itu sah atau tidak tanpa harus meminta semua undangan untuk menyerahkan terlebih dahulu ke KPK.

Cukup lakukan pengecekan saja, apa suvenir tersebut diberikan hanya kepada orang-orang tertentu atau semua undangan. Kalau ke semua undangan, sementara tidak semua undangan adalah penyelenggara negara. Artinya suvenir itu wajar dan legal. "Sederhana banget kok ini. KPK aja yang lebay," ujar Arsil.

Sebelumnya KPK telah menetapkan bahwa iPod yang diterima pejabat, penyelenggara negara, atau penegak hukum dari resepsi pernikahan anak Nurhadi, harus diserahkan pada negara. Sebab, menurut KPK, souvenir tersebut termasuk gratifikasi.

Pasal 12B Ayat (1) berbunyi: "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya". Ancaman hukum pidananya diatur dalam Ayat (2) yang mengatakan: “Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku apabila jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Hal ini tertuang dalam Pasal 12C Ayat (1): "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi".

"Untuk gratifikasi iPod itu, Nurhadi tidak bisa dikenakan sanksi pidana. UU Tipikor mengatur bahwa gratifikasi itu  hanya terkait dengan penerima, sedangkan terkait dengan pemberi gratifikasi tidak diatur,” kata Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar kepada Gresnews.com, Minggu (4/5).

Erwin menambahkan, gratifikasi itu sifatnya netral. Menjadi tindak pidana, apabila yang menerima itu pejabat negara yang berhubungan dengan jabatannya. Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, bisa dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) UU Tipikor.
"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut..."

Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.

"Jika semua pejabat negara melaporkan gratifikasi yang diterimanya ke KPK dalam waktu satu bulan sejak ditetapkan oleh KPK bawa hal itu adalah gratifikasi maka para pejabat Negara tersebut tidak dapat dipidana. Sementara jika lebih dari jangka waktu yang ditentukan itu, maka para pejabat negara penerima dapat dijerat dengan tindak pidana gratifikasi," tegasnya.

BACA JUGA: