JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konflik lahan dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu menjadi indikasi reformasi agraria belum berjalan. Reformasi agraria mengandung pengertian sebagai strategi politik pembangunan ekonomi melalui penataan kembali struktur kepemilikan, dan penguasaan. Selanjutnya, pengelolaan sumber-sumber agraria yang sebelumnya timpang menjadi lebih berkeadilan.

Sayangnya, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (PA) yang diharapkan bisa menjawab persoalan itu tidak pernah berjalan sesuai semangat para pembentuknya. Bahkan, diselewengkan dan dikebiri oleh munculnya undang-undang sektoral seperti UU Pertanahan, UU Sumber Daya Air, UU Minerba, UU Kehutanan hingga UU Perkebunan.

"Konflik agraria pun muncul di berbagai sektor. Kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM meluas," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin kepada Gresnews.com (9/3).

Pada 2014, konflik agraria tersebut terus berulang. Terbaru adalah kasus meninggalnya seorang petani Suku Anak Dalam (SAD) dan lima warga lainnya luka-luka akibat diserang oleh kelompok sekuriti PT Asiatic Persada (AP) yang dibantu oknum militer.

Masyarakat SAD telah lama berjuang mendapatkan pengakuan hak atas lahan mereka selama lebih dari dua dekade. Berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik selalu gagal. Terakhir mediasi gagal karena Wilmar menjual PT AP kepada Ganda Group sehingga proses mediasi menjadi mentah kembali. Warga protes karena penjualan tersebut justru terjadi di tengah proses mediasi yang mulai menunjukkan kemajuan ketika setidaknya dua komunitas Suku Anak Dalam, yaitu dari Dusun 4 Sungai Beruang dan Kelompok Pinang Tinggi mau berunding.

"Negara abai, bahkan aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melayani rakyat justru menjadi pelopor menggusur warga SAD," tegas Irwan.

KPA mencatat telah terjadi 369 konflik agraria meliputi 1.281.660.09 hektar, korban 139.874 keluarga sepanjang 2013. Korban tewas 21 orang, ditembak 30, ditahan 239 orang, dan disiksa 130 orang. Jika dibandingkan 2012, naik 86 %, dimana 198 konflik agraria meliputi 963.411,2 hektar, dan 141.915 keluarga, 156 petani ditangkap, 55 mendapat penyiksaan, serta tiga orang tewas.

Persoalan pokoknya adalah ketimpangan penguasaan lahan, tumpang tindih perizinan dan penggunaan lahan serta tidak ada transparansi. Lalu, ada dualisme rezim tanah, ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik lahan yang memadai, dan tanah-tanah adat atau ulayat belum ada pengakuan. Penguasaan tanah skala besar, dengan cara apapun baik legal maupun ilegal, kepada korporasi, kebanyakan bersifat lintas batas, seperti teritori, wilayah administrasif, dan negara. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, ada empat faktor proses penggusuran masyarakat atas tanah mereka yakni, peraturan, pasar, legitimasi politik dan paksaan ataupun melalui penipuan dan gabungan.

Untuk itu, agenda penting segera dilaksanakan adalah legal audit dan legal complain terhadap semua perizinan perusahaan perkebunan, kehutanan maupun tambang. Kebijakan daerah mengenai perkebunan berkelanjutan juga hal penting yang harus didorong.

Nah untuk menjamin terciptanya kondisi sosial, hukum, dan keamanan dalam negeri yang kondusif dan mendukung kelancaran pembangunan nasional. Pemerintah memandang perlu kelanjutan pelaksanaan langkah-langkah penanganan konflik sosial melalui keterpaduan, baik antar aparat pusat, antar aparat daerah maupun antar aparat pusat dan daerah, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2013.

Selanjutnya, pada 28 Februari 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Inpres Nomor 1 Tahun 2014 yang ditujukan kepada Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Kesra, Mendagri, Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), para Gubernur, dan para Bupati/Walikota.

Seperti dikutip dari laman setkab.go.id pada Minggu (9/3), ada delapan instruksi yang termuat dalam Inpres No. 1/2014 itu. Dalam poin ketiga disebutkan: "Melanjutkan proses penyelesaian berbagai permasalahan baik yang disebabkan oleh sengketa lahan/sumber daya alam, SARA, politik dan batas daerah administrasi maupun masalah industrial yang timbul dalam masyarakat dengan menguraikan dan menuntaskan akar masalahnya". Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada sejak dikeluarkan pada 28 Februari 2014.

Upaya menyelesaikan kasus-kasus tersebut, sebenarnya DPR pernah membentuk Tim Pengawas Penyelesaian Persengketaan Pertanahan dan Konflik Agraria pada Kamis, 9 Februari 2012. Masa kinerja tim ini pun diperpanjang  hingga 2014. Pertimbangannya, karena belum adanya grand design atas penyelesaian sengketa pertanahan dan konflik agraria selama ini. Keputusan ini diambil oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan saat memimpin Rapat Paripurna di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa 17 Desember 2013 usai mendengarkan laporan Ketua Tim Pengawas Penyelesaian Persengketaan Pertanahan dan Konflik Agraria Arif Wibowo.

Dalam laporan tertulis Tim Pengawas Penyelesaian Persengketaan Pertanahan dan Konflik Agraria, Arif mengatakan permasalahan pertanahan dan konflik agraria menjadi isu krusial sepanjang sepuluh tahun terakhir. Hal itu dilihat dari banyaknya laporan dan pengaduan masyarakat ke DPR tentang sengketa pertanahan dan konflik agraria. Pada 2012 terdapat 774 pengaduan dan di 2013 sebanyak 560 pengaduan. Tingginya laporan dan pengaduan masyarakat tentang sengketa pertanahan dan konflik agraria mencerminkan bahwa masalah tanah dan agraria merupakan masalah menahun yang belum terselesaikan.

Menurut Tim Pengawas, permasalahan pertanahan dan konflik agraria sangat multi-kompleks karena melibatkan banyak pihak bahkan sarat dengan kepentingan masyarakat seperti hubungan masyarakat atas hak atas tanahnya, hubungan negara dengan tanah, kepemilikan tanah oleh masyarakat hukum adat seperti kepemilikan tanah oleh instansi negara seperti TNI, Polri, BUMN, BUMD, serta tanah sebagai salah satu hak dasar asasi manusia.

Arif menambahkan permasalahan pertanahan dan agraria tersebut dipicu oleh munculnya kebijakan yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan investasi daripada pemerataan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta adanya penafsiran tentang konsep pertanahan dan agraria yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip dasar UU PA. Akibatnya terbit undang-undang sektoral yang berakibat pada terdegradasinya UU PA. Muncul juga ketidaksinkronan, tumpang tindih secara regulasi maupun kewenangan kelembagaan antara UU PA dengan-undang sektoral.

"Hal ini menyebabkan terjadinya konflik agraria dan sengketa pertanahan yang multi dimensi dan berdampak luas sehingga dapat menyebabkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia," kata Arif.

Dari sisi fungsi pengawasan alat kelengkapan dewan yang menangani sengketa pertanahan dan konflik agraria, Arif mengatakan, permasalahan pertanahan dan agraria ini juga menjadi perhatian beberapa komisi di DPR, seperti Komisi I, II, II dan IV.

Komisi I membahas permasalahan pertanahan dan agrarian terkait dengan aset tanah yang dimiliki oleh TNI. Komisi II membahas permasalahan pertanahan dan agraria terkait dengan sistem pertanahan yang pengaturannya masih tumpang tindih. Sementara di Komisi III terkait dengan penegakan hukum atas kasus-kasus pertanahan dan di Komisi IV terkait dengan pertanahan dan agraria yang dimiliki sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian.

BACA JUGA: