JAKARTA, GRESNEWS.COM - Isu penjualan Gunung Ciremai oleh pemerintah kepada Chevron Geothermal Ltd., telah memberikan sebuah pelajaran penting tentang betapa rumitnya mengembangkan energi panas bumi di Indonesia. Isu ini bermula dari niat Chevron membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal. Masalahnya, pembangunan itu berada di kawasan taman nasional yang seharusnya steril dari kegiatan ekonomis apapun.

Proyek ini ternyata telah memicu berhembusnya isu yang menghebohkan itu. Beberapa hari lalu sempat bererdar pesan berantai di peranti Blackberry Messenger yang isinya sangat bombastis:

"Hanya sekedar ingin memberikan informasi kepada rekan semua, khususnya masyarakat Majalengka. Ciremai, gunung tertinggi di Jabar yang letaknya berada di dua daerah yaitu Majalengka dan juga Kuningan telah dijual oleh pemerintah dengan seharga Rp 60 triliun kepada Chevron Corporation, perusahaan asal Amerika Serikat ini, bergerak di bidang geothermal (panas bumi). Palutungan, Kuningan adalah gerbang utama untuk mengeksploitasi gunung terbesar di Jawa Barat tersebut. Sedangkan Majalengka akan terkena dampaknya".

1. Keluarnya campuran beberapa gas, diantaranya karbondioksida (Co2), hidrogen sulfida (H2S), metana (CH4) dan amonia (NH3).
2. Pencemar-pencemar tersebut jika dilepas ikut memiliki andil pada pemanasan global, hujan asam, bau yang tidak sedap serta beracun.
3. Pembangunan pembangkit juga merusak stabilitas tanah
4. Pasokan air bersih berkurang
5. Adanya gempa minor yang mengakibatkan gunung meletus.

Belakangan terungkap kalau isi BBM itu hanyalah sebuah kabar burung belaka meski tak sepenuhnya salah. Chevron sendiri mengakui rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) di wilayah Gunung Ciremai. Namun Chevron membantah telah membeli gunung Ciremai sebesar Rp60 triliun dari pemerintah Indonesia. "Proses tendernya reguler dengan beberapa peserta dan sama seperti proses tender pembangkit panas bumi lainnya di lampung, Sumatera Utara, Gunung Ciremai itu biasanya," kata Juru Bicara Chevron Pasific Indonesia Yanto Sianipar kepada Gresnews.com, di Jakarta, Selasa (4/3).

Kendati sudah memenangkan tender, menurut Yanto, perusahaan belum menjadwalkan pembangunan pembangkit panas bumi. Saat ini Chevron baru mengurus perizinan khusus dari pemerintah. "Yang jelas kami mengikuti tender sesuai dengan prosedur yang diminta pemerintah untuk mengembangkan panas bumi di wilayah kerja di Gunung Ciremai," kata Yanto.

Niat untuk membangun pembangkit geothermal ini di satu sisi seharusnya mendapat dukungan, khususnya dari para pegiat lingkungan hidup. Greenpeace Indonesia, misalnya, bersama masyarakat Batang dan beberapa lembaga lainnya seperti YLBHI menentang keras pembangunan PLTU Batang yang ditenagai batubara yang dinilai sebagai energi kotor. PLTU Batang diperkirakan akan menghasilkan emisi sebesar 10,8 juta ton karbon dan 226 kg merkuri setiap tahunnya.

Salah satu energi alternatif yang disodorkan Greenpeace ialah energi panas bumi. Dalam catatan Greenpeace, Indonesia memiliki 40 persen persediaan panas bumi dunia. Kapasitas panas bumi di wilayah yang dilingkari cincin api ini mencapai 29.000 Megawatt. "Tetapi yang digunakan saat ini hanya 1,2 MW," kata Juru Kampanye Greenpeace Arief Fiyanto kepada Gresnews.com, Selasa (4/3).

Masalahnya pengembangan energi geothermal di Indonesia ternyata menyimpan masalah yang sangat pelik. Pertama adalah menyangkut urusan hukum dan perundang-undangan. Pembangunan energi panas bumi di Indonesia setidaknya terganjal dua aturan hukum. Pertama adalah UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Dalam beleid ini, kegiatan pemanfaatan panas bumi digolongkan sebagai kegiatan pertambangan.

Penggolongan ini membuat kegiatan pemanfaatan energi panas bumi kemudian harus berhadapan dengan masalah hukum kedua yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.

Dimana letak persoalannya? Seperti diketahui selama ini potensi energi panas bumi terbesar kebanyakan tersimpan di kawasan hutan konservasi. Nah, kawasan itu diatur dalam UU Kehutanan dan UU Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya sebagai kawasan yang diharamkan untuk dijamah kegiatan pertambangan. Lantaran pemanfaatan energi panas bumi dikategorikan sebagai pertambangan maka otomatis pemanfaatan tenaga panas bumi di kawasan hutan konservasi dilarang.

Kategorisasi energi panas bumi sebagai barang tambang ini sendiri menimbulkan kontroversi karena kegiatan yang lebih merusak seperti pengeboran minyak sesuai UU No. 22 Tahun 2001 tidak dikategorisasikan ke dalam kegiatan pertambangan. Alhasil jika ada cadangan minyak di kawasan hutan konservasi otomatis lebih mudah dijamah kegiatan eksplorasi migas.

Pada kenyataannya, energi fosil ini sebenarnya sudah harus pelan-pelan dikurangi oleh pemerintah demi terciptanya ketahanan energi. Selain itu pengurangan energi fosil juga penting untuk mencegah terjadinya pemanasan global. Itu sebabnya dalam urusan ketahanan energi dan pemanasan global, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2009 sudah menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dan mengembangkan energi terbarukan 25% total bauran energi pada tahun 2025.

Sayangnya, upaya untuk move on dari energi fosil salah satunya dengan memanfaatkan energi panas bumi malah terganjal beleid yang dibuat pemerintah sendiri. Upaya untuk melakukan formulasi ulang atas kegiatan pemanfaatan energi panas bumi itu sendiri pernah dibuat pemerintah dengan menerbitkan PP Nomor 28 Tahun 2011. Dalam beleid itu diatur tentang pemanfaatan energi panas bumi di kawasan hutan lewat skema izin usaha jasa lingkungan. Hanya saja pada praktiknya PP ini nyaris tak bergigi karena kerap terbentur aturan di atasnya.

Persoalan pelik di bidang hukum ini mengemuka dalam pertemuan antara Ketua Tim Pansus RUU Panas Bumi DPR Satya Widya Yudha dengan Asisten Perekonomian dan Pembangunan Provinsi NTB Lalu Gita Ariadi, Kamis pekan lalu, di gedung DPR, Senayan, Jakarta. Dalam pertemuan itu Satya mengatakan regulasi di bidang panas bumi belum dapat menjawab tantangan dalam pengembangan panas bumi secara optimal dan berkelanjutan. Terutama dalam kaitan dengan masalah perundangan tadi.

Padahal di sisi lain, sumber daya panas bumi dapat dikategorikan sebagai sumber daya energi ramah lingkungan karena unsur-unsur yang berasosiasi dengan energi panas tidak membawa dampak lingkungan atau berada dalam batas ketentuan yang berlaku. Pertemuan itu memang terkait pembahasan RUU Panas Bumi untuk merevisi beleid lama yang dinilai menghambat pengembangan energi panas bumi.

Lewat pertemuan dengan pimpinan pemerintahan daerah yang memiliki potensi panas bumi, Pansus RUU Panas Bumi ingin menggali masukan-masukan dan juga kendala yang dihadapi daerah. Dari pertemuan itu memang terungkap adanya kerancuan dalam rancangan beleid soal panas bumi yang berlaku selama ini. Khususnya dalam masalah perizinan pemanfaatan.

Pejabat dari Dinas Pertambangan NTB Husni mengatakan terkait dengan perizinan ada hal rancu di RUU ini. Dalam Pasal 20 diatur bahwa setiap pengusahaan panas bumi wajib punya izin usaha panas bumi. Pada Pasal 9 diatur pengusahaan panas bumi ada pemanfaatan langsung dan pemanfaatan tidak langsung.

Dia melihat di pasal-pasal lain yang memberikan definisi izin panas bumi dan izin pemanfaatan langsung, kenapa tidak izin pemanfaatan tidak langsung. "Sebenarnya izin panas bumi itu ada dua-duanya, ini yang sangat rancu. Seolah-olah ada wilayah kerja itu hanya izin panas bumi, yang izin pemanfaatan langsungnya tidak bicara wilayah kerja," kata Husni. Hal ini menunjukkan masih sulitnya membenahi aturan hukum terkait pemanfaatan energi panas bumi.


Persoalan kedua adalah menyangkut masalah keekonomian. Dari beberapa literatur yang diperoleh Gresnews.com, pengembangan energi panas bumi tampaknya terkendala masalah sumber daya manusia, finansial dan teknologi. Dari sisi SDM, Indonesia masih terkendala tidak adanya lembaga pendidikan khusus yang mencetak tenaga ahli di bidang ini kecuali di Institut Teknologi Bandung, itu pun baru bisa dipelajari di level magister alias S2.

Dalam soal finansial, kegiatan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi juga masih terkendala investasi yang sangat mahal. Nilai invesitasi untuk pembangkit berkapasitas 50 MW saja diperkirakan mencapai US$200-US$300 juta. Biaya awal ini terhitung sangat besar dibandingkan dengan industri migas. Sebab untuk bisa mendapatkan energi panas bumi yang keluar pertama kali butuh 5-7 tahun.

Waktu tersebut dihitung untuk pertama kegiatan survei yang diperkirakan membutuhkan waktu satu tahun. Kedua kegiatan eksplorasi yang diperkirakan memakan waktu 2-3 tahun. Ketiga, pengembangan pembangkit selama 2-3 tahun tahun. Dengan biaya mahal dan rentang waktu yang lama untuk pemanfaatannya, memang diragukan ada investor yang tertarik.

Dalam soal lahan sendiri sepertinya pengembangan energi geothermal tidak membutuhkan tapak yang terlalu luas. Lahan yang dibutuhkan untuk pembangkit berkapasitas 50-100 MW diperkirakan kurang dari 100 hektare. Fakta ini sebenarnya sedikit banyak mengurangi kekhawatiran pembangunan pembangkit listri tenaga panas bumi bakal merusak hutan. Sebab dalam praktiknya pembangkit listrik ini bekerja tetap memerlukan air.

Ibarat memasak air, tenaga panas bumi membuat air mendidih dan uapnya dapat dipakai menggerakkan turbin. Karena itu cadangan air yang tersimpan di hutan tetap diperlukan dan tidak mungkin cadangan air terjaga jika hutannya digunduli. Dengan demikian sebenarya pengembangan energi panas bumi bisa disinergikan dengan konservasi hutan. Ini seharusnya menjadi pemikiran tersendiri bagi para perumus RUU Panas Bumi agar pemanfaatan panas bumi tidak lagi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan.

Karena itu dalam persoalan kegiatan Chevron di Gunung Ciremai, Greenpeace Indonesia mengambil sikap berhati-hati. Arief Fiyanto mengatakan pembangunan pembangkit listrik geotermal itu harus dicek betul apakah benar berada di kawasan hutan lindung. Jika iya kata Arief Greenpeace akan dengan konsisten menolaknya. "Yang jelas pembangunan pembangkit panas bumi di area hutan lindung akan merugikan ekosistem. Meskipun itu untuk pembangunan energi terbarukan," kata Arief.

Lantas apakah persoalan ini bakal terus menghambat pengembangan energi panas bumi di Indonesia? Faktanya dibandingkan dengan Filipina, misalnya, Indonesia memang tertinggal jauh. Energi Officer WWF Indonesia Indra Sari Wardhani mengatakan, Filipina sudah mengembangkan panas bumi sejak tahun 2008 dipicu krisis minyak dan gas tahun 1970-an.

Pada 16 Desember 2008 pemerintah Filipina mengesahkan Undang-Undang mengenai Energi Terbarukan, yang bertujuan untuk mempercepat eksplorasi dan pengembangan energi terbarukan dalam rangka mencapai kemandirian energi, mengurangi ketergantungan negara terhadap energi fosil serta mengurangi tekanan negara terhadap fluktuasi harga energi.

Hasilnya, Filipina mampu membangun pembangkit listrik geotermal di Mount Apo. Pembangkit listrik Mount Apo memiliki luas wilayah 701 hektar dengan kapasitas terpasang sebesar 2x52 MW dan telah beroperasi sejak tahun 1993. Pembangkit ini dikembangkan oleh EDC (Energy Development Company) yang merupakan perusahaan panas bumi terbesar Filipina yang telah berhasil mengembangkan sekitar 1.155 MW atau 65% dari kapasitas terpasang panas bumi di Filipina

Kebijakan dan regulasi ini cukup berhasil karena hingga 2013 pangsa energi terbarukan mencapai 29% dalam bauran energi nasional Filipina dan 14% diantaranya atau sekitar 1.848 MW berasal dari energi panas bumi. Filipina boleh dikatakan beberapa langkah lebih maju dalam pengembangan energi terbarukan bila dibandingkan dengan Indonesia dimana lebih dari 95% bauran energi nasionalnya masih berasal dari energi fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas bumi, sementara pangsa energi terbarukan masih kurang dari 5%. 


Indra Sari mengatakan, ada beberapa perbedaan dalam arah pengembangan energi di Filipina dan Indonesia. Yang pertama, latar belakang kondisi energi yang berbeda dimana Filipina negara yang memiliki sumber daya energi fosil yang terbatas sementara Indonesia memiliki sumber daya energi fosil yang cukup melimpah bahkan Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor minyak bumi, gas bumi dan batubara yang cukup besar. Walaupun saat ini dengan kebutuhan energi dalam negeri yang terus meningkat, Indonesia sudah harus mengimpor minyak bumi dan produk turunannya.

Kedua, Filipina memiliki Undang-undang yang mendorong pengembangan energi terbarukan yang secara jelas ditujukan untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap energi fosil. Dengan adanya UU energi terbarukan, Filipina telah berhasil meningkatkan kontrak kerja panas bumi 3 kali lipat yaitu dari 13 menjadi 39 kontrak kerja. Sementara di Indonesia saat ini arah kebijakan nasional untuk mengurangi pangsa minyak bumi menjadi kurang dari 20% pada 2025 namun pangsa batubara dan gas bumi meningkat masing-masing menjadi 33% dan 30% dari total bauran energi nasional.

Ketiga, harga energi di Filipina berdasarkan harga pasar, tidak ada subsidi yang diberikan untuk semua jenis energi. Namun pemerintah Filipina memberikan insentif baik fiskal maupun non fiskal bagi pengembangan energi terbarukan termasuk panas bumi antara lain pembebasan pajak (income tax holiday) selama 7 tahun dan setelah itu pajak hanya sebesar 10% (energi fosil sebesar 30%). Filipina juga memberlakukan pembebasan tarif impor untuk mesin, peralatan dan bahan, insentif dana langsung untuk pengembang yang melakukan program elektrifikasi, pembebasan pajak untuk carbon credit yang diperoleh, net operating loss carry-over selama 7 tahun, dan lainnya.

Berbeda dengan Indonesia, dimana harga energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) dan listrik masih mendapat subsidi yang cukup besar dari negara. Tercatat pada APBN 2013 total subsidi energi sebesar Rp274,7 triliun atau sekitar 16% dari total pengeluaran negara terdiri dari subsidi BBM sebesar Rp193,8 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp80,93 triliun. Insentif bagi energi terbarukan di Indonesia juga dirasakan belum cukup menunjang. Feed in tariff yang ditetapkan oleh pemerintah, dirasakan kurang menarik bagi para investor untuk mengembangkan panas bumi.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah Indonesia membangun kebijakan energi berbasis energi terbarukan khususnya panas bumi seperti di Filipina? Jawabannya mungkin. WWF sendiri telah megeluarkan panduan kelestarian ekosistem untuk pemanfaatan panas bumi sejak akhir tahun lalu.

Budi Wardhana, Direktur Kebijakan, Keberlanjutan dan Transformasi WWF Indonesia, dalam rilis kepada media, mengatakan panduan ini untuk menjadi acuan bagi pengembangan dan pemanfaatan panas bumi di kawasan hutan agar tetap menjaga kelestarian ekosistem. "WWF berharap lebih banyak lagi listrik dari energi panas bumi yang dikelola dengan memperhatikan nilai-nilai penting konservasi dan kepentingan sosial masyarakat," katanya.

Panduan ini, menjelaskan prinsip, kriteria dan indikator mencakup aspek keberlanjutan produksi panas bumi, dan kemantapan fungsi kawasan hutan. Juga, keberlanjutan fungsi ekologi ekosistem hutan dan keberlanjutan fungsi sosial ekonomi budaya ekosistem hutan. Fungsi ekologi ekosistem hutan bisa dilihat dari karakter biologis ekosistem, seperti keberadaan fauna dan flora penting (endemik, langka dan terancam punah), dan karakter fisik, seperti tutupan lahan, intensitas hujan, dan fisiografi lahan, bentuk lahan, kelerengan, maupun ketinggian. 

Seperti dijelaskan di atas, dengan keberadaan tapak yang tidak luas dan perlunya menjaga cadangan air, maka pembangunan pembangkit listrik geotermal jelas terhitung ramah lingkungan. Keberhasilan Filipina menjadi contoh yang patut ditiru. Tinggal sekarang apakah pemerintah memang mau mengembangkannya atau masih ingin terus terlena dengan energi migas dengan iming-iming keuntungan finansial yang berlimpah meski harus menggadaikan masa depan?

BACA JUGA: