JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menjelang pemilihan umum (pemilu) salah satu yang menjadi sorotan publik adalah calon legislatif perempuan. Mereka disorot bukan hanya karena kewajiban partai politik yang kesulitan untuk memenuhi kuota calon legislatif (caleg) perempuan sesuai beleid Partai Politik, namun juga sejauh mana para caleg perempuan itu bisa mengakomodir kepentingan-kepentingan kaumnya.

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan dari produk-produk undang-undang yang dihasilkan oleh DPR RI pada periode 2009 - 2014 terlihat masih sangat minim beleid yang sensitif gender. "Masih minimalis, karena sesuai tupoksinya ada tiga hal yaitu, legislasi, pengawasan dan budgeting sebagai UU yang disahkan antara DPR dan pemerintah bisa dibaca ada pasal-pasal yang belum berpihak kepada perempuan," kata Siti Zuhro kepada Gresnews.com, Minggu (2/3).

Siti Zuhro menambahkan saat ini produk undang-undang jangan hanya dilihat dari segi kuantitas, namun bila dikaji lebih jauh undang-undang itu belum sensitif gender. Bukan hanya di Komisi VIII yang khusus membidangi soal perempuan, juga komisi lain kurang dalam perspektif gender. Sebagai contoh dalam undang-undang ketenagakerjaan dimana buruh perempuan masih belum mendapatkan haknya secara optimal.

Atau di dalam undang-undang pendidikan. Sebagai pihak yang berwenang mempunyai fungsi budgeting DPR seharusnya mampu membuat aturan yang berpihak bagi perempuan. Contohnya beasiswa sekolah hingga perguruan tinggi khusus perempuan. Hal itu sangat penting bila ingin mendorong meningkatnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia, karena perempuan yang berpendidikan baik akan mampu mendidik anak-anak mereka.

Siti Zuhro menambahkan salah satu penyebab tidak terakomodirnya undang-undang yang sensitif gender karena proses perekrutan parpol yang tidak baik. Parpol seharusnya mempunyai mekanisme yang jelas terhadap perekrutan, terutama kaum perempuan. Perekrutan seharusnya dilakukan setelah pemilu berakhir. Sehingga sistem menit terakhir dan bergantung pada asas kepopuleran dan modal fisik tidak menjadi acuan.

Saat ini masyarakat cenderung tidak tahu bagaimana cara mendaftar menjadi kader sebuah partai. Biasanya perekrutan terjadi dengan cara komunikasi di komunitas atau keluarga. Sehingga tidak mengherankan bila dalam sebuah partai politik ada banyak beberapa anggota dari keluarga yang sama. Partai politik seharusnya jelas memberikan informasi kepada masyarakat bagaimana mendaftar menjadi anggota mereka. Partai sebaiknya juga menjemput bola, dengan melakukan perekrutan dari berbagai LSM, organisasi masyarakat, komunitas dan berbagai kelompok sosial serta organisasi lainnya.

Dalam hal pengawasan, anggota DPR perempuan masih belum peka terhadap kebijakan-kebijakan yang sensitif gender. Bila terdapat perspektif gender dalam rapat kerja itu seharusnya DPR mampu menanyakan progres kerja dari anggaran yang dikeluarkan, terutama sejauh mana kebijakan-kebijakan bagi kaum perempuan itu dipertanyakan oleh para anggotanya.

Kepala Sub Divisi Partisipasi Publik Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) Andi Yentriyani mengatakan belum optimalnya unsur-unsur yang mengakomodir kepentingan perempuan. "Sebetulnya masalah angka bukan menjadi acuan, tapi lebih dari itu adalah bagaimana daya korban untuk melaporkan dan seberapa besar media terlibat untuk turut menyoroti kasus itu," kata Andi Yentriyani kepada Gresnews.com, Minggu (2/3).

Andi menambahkan permasalahan lainnya masih banyaknya aturan yang belum memihak kaum perempuan dikarenakan DPR tidak pernah meminta laporan detail kepada pemerintah mengenai implementasi dari kebijakan undang-undang yang dijalankan dan bagaimana pertanggungjawaban terhadap anggaran. Selain itu, DPR juga belum tegas mendorong lembaga eksekutif untuk menuntaskan persoalan-persoalan perempuan.

Di Komisi VIII yang membidangi soal perempuan pun, menurut Andi masih terkesan diisolasi mengenai isu-isu perempuan. Komisi cenderung lebih banyak menyoroti persoalan lain dan mengesampingkan persoalan-persoalan perempuan. Perspektif gender, kata Andi bukan hanya dibutuhkan para legislator perempuan di Komisi VIII, namun juga seluruh komisi untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan perempuan.

Untuk itu, baru-baru ini Komnas Perempuan membuat Pakta Integritas untuk Partai yang ditandatangani oleh lebih dari 80 caleg yang maju pada Pemilu 2014, baik dari petahanan di DPR RI, maupun DPRD. 80 caleg yang terdiri dari kaum perempuan dan laki-laki itu berkomitmen dalam Pakta itu untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan perempuan.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII Ledia Hanifa Amaliah mengatakan belum terakomodasinya kepentingan perempuan karena rendahnya pengawasan pada implementasi di pemerintahan. Menurut Ledia selama ini tidak ada leading sektor terkait dengan aturan-aturan mengenai perempuan. Menurutnya, hal itu karena tidak ada perintah bagi kementerian itu yang ditunjuk sebagai pengawas dan koordinator dalam isu perempuan.

"Nah implementasi ini tidak ada yang ngawal dengan kuat. Di pemerintah sendiri siapa leading sectornya? Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) bukan tidak mau, tapi dia hanya proses kebijakan, tapi belum ada pengawasan yang ditunjuk khusus," kata Ledia kepada Gresnews.com pada Minggu (2/3).

Ledia juga menampik bila belum terakomodasinya kepentingan perempuan bukan dari faktor jumlah suara perempuan di parlemen, namun hal itu kembali pada perspektif dari tiap anggota masing-masing. Terkait dengan masalah kekerasan terhadap perempuan, Ledia katakan selain terus mengawasi kebijakan pemerintah, ia juga mendorong agar dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP juga dapat mengakomodir perlindungan terhadap perempuan dan sanksi yang berat bagi pelaku kekerasan seksual.

Dari data Formappi pada November 2013 lalu, berdasarkan riset yang dilakukan dari data resmi KPU, sebanyak 37,3 persen para caleg berasal dari kaum hawa. Dari prosentase itu sebagian besar yang maju menjadi caleg masih berasal dari petahana. Data Formappi menunjukkan hanya ada lima parpol yang menunjukkan prosentase penyediaan caleg perempuan diatas aturan yakni 30 %. Lima parpol itu adalah Partai Nasdem 40,4 %, PPP 38,9 %, PKS 38,8 %, PKB 37,6 % dan PKPI 37,1 %.

Jumlah caleg perempuan tidak pernah mencapai target 30% dalam tiga kali pemilu pasca reformasi. Pada pemilu 1999, yang notabene pemilu pertama di era reformasi, hanya 45 perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR atau hanya 9 %. Lalu, pemilu 2004, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR sebanyak 62 orang atau sekitar 11,3 %.

Kemudian, pada pemilu 2009 lalu, jumlah perempuan terpilih sebagai anggota DPR meningkat, yakni 102 orang atau 18 %. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan negara lain di dunia, Indonesia hanya menempati peringkat 75. Jauh di bawah Rwanda (56.3 %), Andorra (50 %), dan Kuba (45,2 %).

BACA JUGA: