JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mengesahkan Undang-Undang Perdagangan pada hari Selasa (11/2) lalu. Namun pengesahan itu banyak menuai kontroversi karena UU tersebut dinilai sangat bertentangan dengan konstitusi. UU itu dinilai sangat pro pasar dan pro liberalisasi dan tidak menjamin kedaulatan pasar dalam negeri. Pasal-pasal dalam UU itu juga dinilai tidak memberikan perlindungan kepada pedagang kecil dan pasar-pasar tradisional.

Kenapa hal itu bisa terjadi? Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Revrisond Baswir mengatakan, kontradiksi itu bisa terjadi karena naskah akademik UU Perdagangan sangat lemah. Isi naskah akademik RUU Perdagangan terhadap kesepakatan liberalisasi perdagangan cenderung sangat ramah. Itu sebabnya UU tersebut bertolak belakang dengan Pasal 33 UUD 1945

Dia mencontohkan mengenai hirarki kerjasama perdagangan internasional dalam Bab III.B.3. Menurutnya berbagai kerjasama perdagangan internasional yang selama ini diikuti Indonesia dapat disusun dalam hirarki diantaranya posisi tertinggi diduduki Organisasi Perdagangan Dunia, menyusul Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Forum Regional ASEAN (ARF) yang bersifat mendukung APEC, ASEAN+3, dan ASEAN+1.

Akhirnya, dibawah ASEAN+1 terdapat berbagai kerjasama yang bersifat liberal. "Jadi jangan dilihat dari UU Perdagangannya tetapi proses pembuatannya. Itu naskah akademiknya ada atau tidak. Itu sangat liberal," kata Revrisond kepada Gresnews.com, Jakarta, Senin (17/2).

Revrisond yang terlibat dalam pembuatan naskah akademik RUU itu mengaku landasan filosofis naskah akademik RUU tersebut, adalah liberalisasi yaitu "market mechanism is the best mechanism for the economy". "Landasan filosofi tersebut ditelan mentah-mentah dari paham ekonomi liberal," ujarnya.

Karena itu tidak heran jika kandungan berbagai paragraf yang terdapat dalam naskah akademik tampaknya berupaya untuk menyingkirkan pasal 33 UUD 1945.

Memang kata dia dalam Bab II dan Bab III naskah akademik RUU perdagangan Pasal 33 UUD 1945 dijadikan acuan juga. Salah satu asas yang digunakan adalah asas demokrasi ekonomi yang sepintas pencatuman asas itu memang tampak heroik. Namun dia menilai asas tersebut hanya basa basi karena tidak ada definisi yang jelas.

Bahkan arti kata itu sesungguh hanya slogan kosong yang tidak ada ujung dan pangkalnya. "Saya sudah bilang untuk memperdalam lagi naskah akademiknya tetapi apa yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah tetap jalan kan? Hasilnya sudah jadi UU. Nah itulah saya tidak mengerti cara anggota DPR dan pemerintah dalam menyusun UU," kata Revrisond.

Revrisond menilai bukan hanya UU Perdagangan saja yang melanggar UUD 1945 tapi UU Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Penanaman Modal juga melanggar UUD 1945. Kesemua UU tersebut sudah jelas terbukti melanggar UUD 1945. Bahkan rakyat pun sudah memperingatkan kepada pemerintah dan DPR untuk tidak membuat UU tersebut tetapi pemerintah terus menjalankan proses dari RUU menjadi UU. "Naskah akademik itu hanya formalitas saja. Itu yang saya tidak mengerti," kata Revrisond.

Wakil Ketua Kadin Bidang Perdagangan, Soy Pardede mengatakan hal sebaliknya. Kata dia, dalam UU Perdagangan tersebut pemerintah sangat memperhatikan kepentingan nasional yang kemudian kepentingan nasional tersebut diselaraskan dengan kepentingan global. Hal itu bertujuan agar kepentingan global tidak mendominasi kepentingan nasional.

Dia menjelaskan undang-undang yang dimiliki Indonesia seperti UU Perlindungan Konsumen dan UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Sehat sudah sangat cukup untuk meredam dominasi kepentingan global terhadap kepentingan perdagangan nasional. Namun Pemerintah acap kali tidak memperhatikan daya saing produk pelaku usaha nasional karena terdapat kendala-kendala yang membebani pelaku usaha nasional seperti tingkat suku bunga tinggi, infrastruktur, kurangnya treatment perdagangan dan bea masuk perdagangan.

"Kita lihat Asia China Free Trade, Indonesia-Japan Economic Partnership, selalu kita menjadi pasar yang dimanfaatkan oleh pelaku pedagang luar negeri. Sementara kita tidak dimanfaatkan dan mempersiapkan daya saing produk kita," kata Soy kepada Gresnews.com, Jakarta, Senin (17/2).


Pemerintah sendiri tampaknya akan jalan terus dengan UU Perdagangan. Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah mengatakan, UU tersebut mengkonfirmasi arah dan orientasi kebijakan perdagangan Indonesia di tengah volatilitas permintaan dunia. Seiring dengan pengesahan RUU ini, menurut Firmanzah, pemerintah dalam waktu dekat ini akan menjabarkan amanat UU Perdagangan ini sebagai pedoman teknis pelaksanaan dalam bentuk 9 Peraturan Pemerintah, 14 Peraturan Presiden, dan 20 Peraturan Menteri.

Melalui kebijakan dalam UU Perdagangan ini, ujar Firmanzah, sektor perdagangan akan terus didorong menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi bersama-sama dengan konsumsi dan investasi. "Dengan adanya resturukturisasi dan diversifikasi sumber pertumbuhan  tentunya akan berdampak positif bagi pengelolaan perekonomian nasional. Ancaman potensi risiko ekonomi  global akan lebih mudah ditangani dengan beberapa mesin pertumbuhan dibanding hanya mengandalkan satu sektor saja," tukas Firmanzah seperti dikutip situs setkab.go.id, Senin (17/2).

Undang-undang Perdagangan yang disetujui DPR-RI untuk disahkan jadi UU itu terdiri dari 19 bab dan 122 pasal, yang di dalamnya  memuat fungsi kebijakan, pengaturan dan pengendalian di sektor perdagangan yang diharapkan dapat memacu kinerja sektor perdagangan nasional. Kepentingan nasional dalam UU perdagangan itu disebutkan meliputi: stabilisasi harga barang/barang kebutuhan pokok, melindungi produk dalam negeri, penguatan daya saing produk domestik, pengendalian impor serta peningkatan ekspor barang bernilai tambah tinggi.

Dengan UU Perdagangan ini, Pemerintah diberi mandat untuk melakukan intervensi pengamanan pasokan dalam negeri termasuk didalamnya keterjangkauan atau stabilisasi harga. Di samping UU Perdagangan memberi ruang yang luas bagi uapaya peningkatan produksi dan daya saing hasil produksi dalam negeri melalui berbagai fasilitas sarana perdagangan.

Mandat UU Perdagangan kepada Pemerintah untuk mengendalikan kegiatan perdagangan dalam negeri tertuang dalam pasal 5 ayat 1 yang berbunyi: "Pemerintah mengatur kegiatan Perdagangan Dalam Negeri melalui kebijakan dan pengendalian".

Kebijakan dan pengendalian itu meliputi peningkatan efisiensi dan efektivitas distribusi; peningkatan iklim usaha dan kepastian berusaha; pengintegrasian dan perluasan pasar dalam negeri; peningkatan akses pasar bagi produk dalam negeri; dan pelindungan konsumen (pasal 5 ayat 2).

Secara sepesifik komitmen peningkatan penggunaan produk dalam negeri tertuang dalam pasal 22 ayat 1 UU ini yang berbunyi: "Dalam rangka pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan Perdagangan Dalam Negeri, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau pemangku kepentingan lainnya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengupayakan peningkatan penggunaan Produk Dalam Negeri".

Sedangkan untuk mendorong peningkatan penggunaan produk dalam negeri, Pemerintah dimandatkan untuk melakukan keberpihakan melalui promosi, sosialisasi, atau pemasaran dan menerapkan kewajiban menggunakan Produk Dalam Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 22 ayat 2).

BACA JUGA: