GRESNEWS.COM - Bau busuk impor daging sudah muncul dalam 3 tahun terakhir. Realisasi impor selalu di atas kebutuhan. Ditambah penyimpangan dan pemalsuan dokumen, lengkap sudah baunya menyebar ke mana-mana.

Tersebutlah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo, mengutip Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2012 yang baru saja diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan data betapa amburadulnya kebijakan impor daging selama ini. Realisasi impor daging sapi tahun 2010 dan 2011 ternyata jauuh melebihi kebutuhan.

Realisasi impor daging sapi tahun 2010 menembus angka 83.800 ton - 150% dari kebutuhan impor. Sementara realisasi impor daging tahun 2011 menembus angka 67.100 ton - 187% dari kebutuhan impor. Untuk diketahui, sampai dengan September 2011, penetapan kebutuhan impor, pemberian kuota, dan penerbitan surat persetujuan pemasukan (SPP) impor daging dan jeroan sapi berada dalam tanggungjawab Kementerian Pertanian. Mestinya Kementerian Pertanian jelaskan hal ini.

BPK juga menemukan adanya penyimpangan dan pemalsuan sejumlah dokumen impor. "Ada PIB (persetujuan impor barang) palsu, invoice (tanda bayar) palsu. Ini yang sedang kami dalami," kata Hadi Purnomo. Pendalaman itu dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya tiga unsur yang memungkinkan dibawa ke ranah hukum: perbuatan melanggar hukum, kerugian negara, serta keuntungan bagi diri sendiri dan orang lain.

Banyak Kepalsuan

Tak hanya data-data BPK yang berbicara. Bau busuk daging impor juga tercium saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Masyarakat Kementerian Pertanian, Prabowo Respatiyo Caturroso, Jumat (5/3) lalu. Lepas pemeriksaan, Prabowo mengakui, KPK menanyakan soal Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) izin impor daging yang ternyata palsu.

Kata Prabowo, ketika dia menjabat Dirjen pada akhir 2010, dia sebenarnya sudah mendapat banyak laporan soal pemalsuan SPP tersebut. Kabarnya, importir memalsukan SPP itu lantaran stok daging di negara asal (yang diizinkan) telah habis, sehingga mereka mengajukan permohonan untuk berganti negara importir. Sayangnya, pergantian tersebut tidak diikuti pencabutan SPP sebelumnya. Mestinya, SPP yang lama itu ditarik dulu, tegas Prabowo.

Selain SPP palsu, Prabowo juga mengaku, pernah menemukan importir yang tak memiliki SPP. Misalnya, pada tahun 2011 pernah ditemukan 51 kontainer daging impor tanpa SPP yang disita Badan Karantina. Pemilik kontainer tersebut ternyata PT Indoguna Utama. Anehnya, meski melanggar hukum, Indoguna tidak di-blacklist. "Karena kebijakan Pak Menteri itu, tidak usah di-black-list. Sebab direekspor pun sudah merupakan suatu hukuman," terang Prabowo.

Kasus itu memicu Prabowo untuk meminta Inspektorat Jenderal Kementerian mengevaluasi semua perusahaan importir daging. Hasilnya sangat mengejutkan, ternyata banyak perusahaan besar mengantongi SPP palsu!

Nah, ini lebih aneh lagi. Sekitar dua tahun kemudian, Indoguna berhasil mendapatkan (lagi) jatah impor daging. Untungnya kali ini Indoguna kena batunya. KPK menangkap Ahmad Fathanah di Hotel Le Meridien, Jakarta Pusat, lengkap dengan gembolan duit Rp 1 miliar pada (29/1) lalu. Duit itu kepunyaan bos-bos Indoguna, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi, yang akan digunakan buat menyuap Luthfi Hasan Ishaq, saat itu Presiden Partai Keadilan Sejahtera.

Wewenang diperjelas

Laporan BPK dan penyelidikan KPK benar-benar membuka mata, betapa bau busuk di bisnis daging impor ini sudah bertahun-tahun membusuk. Andai pengawasan melekat di Kementerian Pertanian berjalan dengan baik, berbagai kejanggalan di Kementerian tersebut mestinya sudah sejak lama tercium. Jadi, Agak disayangkan sebenarnya, Pemerintah baru berbenah setelah ada kasus di KPK.

Baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengeluarkan aturan agar tidak ada lagi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian soal kebijakan Tata Niaga impor daging. Kementerian Pertanian nantinya akan fokus pada produksi daging dan sapi, sedangkan Kementerian Perdagangan fokus pada ekspor dan impor. "Sehingga (diharapkan) tidak ada policy yang membuat distorsi," kata Hatta, Jumat (5/4).

Hatta menekankan pentingnya data yang akurat. "Yang penting ada data suplai dan demand akurat. Sepanjang data akurat, kita bisa menghitung berapa kekuatan dalam negeri, dan melindungi peternak kita," sambung Hatta.

Yang menarik, Pemerintah akhirnya melirik Badan Urusan Logistik (Bulog) lagi sebagai pengendali harga. "Kami meminta Bulog untuk mempersiapkan diri untuk penugasan lain, seperti daging dan produk hortikultura," sebut Hatta Rajasa. Di era Orde Baru, Bulog menjadi pengendali sembilan bahan pokok. Kesaktian itu luntur menyusul program liberalisasi dari International Monetary Fund (IMF).

Apa alasan Pemerintah melirik lagi Bulog? Karena Bulog dinilai mampu untuk melaksanakan tugasnya. "Bulog mampu menjalankan stabilisasi dengan diberikan hak impor dari Kementerian Perdagangan," ulas Hatta. Namun Hatta tak menutup kemungkinan peran swasta. "Peran Bulog memang ada sewaktu harga pasar sedang bergejolak. Namun, peran ini juga tidak tertutup bagi swasta," tutupnya.

Menurut catatan Gresnews.com, selain pengaturan wewenang seperti yang disebut Hatta. Yang juga diperlukan Pemerintah saat ini adalah konsistensi pihak-pihak yang terlibat dalam tata niaga impor daging. Terbukanya bau busuk di Kementerian Pertanian oleh BPK dan KPK belakangan ini terbukti membuat banyak importir dan penanggung jawab tata niaga berhati-hati.

Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan misalnya mengungkapkan, realisasi kuota daging impor hingga kuartal I 2013 ternyata masih berada di bawah 10 ribu ton. Padahal jatah impor daging untuk 2013 sekitar 80 ribu ton. Kemana perginya para importir? Gita mengimbau para importir untuk mengakselerasi realisasi tersebut. Gita juga akan mengundang para importir untuk duduk bersama, pekan depan.

Khas "preman" Indonesia, tiarap ketika datang musim "razia". (GN-02)

 

BACA JUGA: