GRESNEWS.COM - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gegabah ketika menyatakan gerakan rakyat untuk menggulingkan dirinya adalah gerakan inkonstitusional. Pesan implisit SBY dari pernyataan itu adalah potensi kriminalisasi terhadap hak pembangkangan sipil dan hak menyatakan pendapat, dua hak yang justru dilindungi UUD 1945.

Kritik terhadap SBY itu dilontarkan oleh pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah, Surakarta, Aidul Fitriciada Azhari, dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Minggu (17/3). Aidul menegaskan prinsip, "Ketika sistem yang berjalan dan berkuasa dipandang sudah menyimpang maka adalah konstitusional ketika rakyat memaksa agar sistem bekerja sesuai dengan kehendak rakyat."

Konstitusi itu diciptakan untuk rakyat, bukan sebaliknya, rakyat untuk konstitusi. Konstitusi tidak bisa menyimpang dari prinsip konstitusionalisme yang berbasis dua hal yaitu jaminan hak rakyat untuk menyampaikan pendapat dan membatasi kekuasaan pemerintah. "Itu dasarnya," katanya.

Sejarah konstitusi di Indonesia itu banyak yang tidak berada di lajur formal dan prosedural. Dekrit presiden 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, misalnya, jelas tak sesuai dengan prosedur formal dan aturan yang berlaku saat itu, tapi itu diterima masyarakat dan berjalan hingga hari ini. Selain itu turunnya Presiden Soeharto pada 1998 yang secara formal jelas dipandang menyalahi konstitusi yang berlaku saat itu, tapi ketika rakyat menerima maka yang terjadi adalah tindakan yang konstitusional.

Merujuk pada gerakan rakyat yang dikabarkan ingin menuntut turunnya SBY, Aidul sendiri lebih melihat hal itu sebagai bentuk kegeraman rakyat atas buntunya mekanisme formal yang berjalan di negeri ini. "Kalau sistemnya benar seharusnya aspirasi dan kegelisahan rakyat dapat ditangkap oleh lembaga seperti DPR dan MPR untuk disampaikan kepada Presiden. Nah dalam konteks hari ini itu tidak berjalan, jadi gerakan rakyat itu justru harus ditempatkan sebagai gerakan untuk menegakkan konstitusi yang tidak berjalan. Itu konteksnya yang sesuai dengan asas konstitusionalisme, jadi itu bukan tindakan inkonstitusional dong," terangnya.

Aidul menekankan dalam hukum tata negara sendiri dikenal istilah keadilan formal dan keadilan konstitusional.

"Gerakan seperti yang digalang oleh Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia(MKRI) sendiri yang mengultimatum agar SBY segera turun, jelas tidak untuk mendapatkan keadilan formal, karena secara formal dan sesuai prosedural dipandang salah, tapi secara konstitusionalisme, itu sah dan itu yang disebut sebagai keadilan konstitusional," katanya.

Ketika memberikan pernyataan tentang konstitusionalitas gerakan rakyat untuk mendobrak sistem yang tidak adil, aktivis Konsolidasi Nasional Aksi Mahasiswa Indonesia (Konami) Resa Novan Nanda mengatakan munculnya gerakan mahasiswa bersama rakyat akhir-akhir ini karena kepercayaan terhadap pemerintahan SBY telah merosot. Kata Resa, "Hampir di semua lini, SBY gagal memimpin negeri. Ekonomi terpuruk, penegakan hukum kacau."

Resa dan sejumlah aktivis Konami ini pernah ditangkap polisi ketika aksi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak tahun lalu. Resa menyebut penangkapan itu sebagai, "Kriminalisasi." Mengenai semakin menggumpalnya kekuatan mahasiswa saat ini, Resa berkata, mulai terlihat penyatuan visi-misi gerakan untuk menjatuhkan SBY-Boediono.

Sikap yang lebih soft disampaikan oleh aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Wafa. Dia mengatakan tugas mahasiswa memang untuk mengontrol dan mengkritik kinerja pemerintah. Bagaimana dengan isu penggulingan pemerintah? Wafa berkata ´lembut´, "Tidak bisa semena-mena mengeluarkan statement penggulingan."

Namun, dia mengakui di HMI ada sebagian kelompok yang berpendapat perlunya menurunkan pemerintahan SBY-Boediono. HMI saat ini sedang berkongres. Selain itu, beberapa waktu terakhir HMI terseret-seret namanya dalam politik nasional setelah Anas Urbaningrum bersitegang dengan pimpinan Partai Demokrat setelah Anas menjadi tersangka kasus Hambalang dan menyatakan berhenti sebagai ketua umum. Anas adalah ketua umum HMI pada 1997.

SBY konsolidasi
Tetapi tampaknya Resa dan kawan-kawan pro-penggulingan pemerintahan harus berhati-hati. Sebab, SBY pun berkonsolidasi untuk membangun basis politik menjelang akhir masa jabatan. Purnawirawan jenderal, ormas keagamaan, pemimpin media massa sudah diajak bertemu. Bahkan, Jenderal (Purn) Prabowo Subianto yang menggenggam jabatan penting di Partai Gerindra dan memiliki elektabilitas yang terus meroket sudah berjabat-tangan dengan SBY. SBY dan Prabowo adalah dua jenderal yang memiliki jejak dalam peristiwa Mei 1998.

Dalam beberapa hari terakhir, SBY berturut-turut bertemu tujuh Jenderal: Letjen (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Jenderal Subagyo H.S (mantan KSAD), Jenderal Facrul Razi (mantan Wakil Panglima TNI), Johny J. Lumintang (mantan Pangkostrad), Letnan Jenderal (Purn) Sumardi (mantan Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI), Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo (mantan Kepala Staf Teritorial TNI), dan Letnan Jenderal (Purn) Suady Marassabessy (mantan Kepala Staf Umum TNI).

Setelah itu, SBY bersilaturahmi dengan 13 ormas Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al-Irsyad al-Islamiyah, Al-Ittihadiyah, Matlaul Anwar, Ar-Rabithah al-Alawiyah, Al-Washliyah, Az-Zikra, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), IKADI, Perti, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Ke-13 Ormas tersebut menyatakan dukungannya terhadap Pemerintahan SBY-Boediono untuk bertahan hingga akhir 2014 nanti, sesuai dengan konstitusi.

Posisi politik purnawirawan jenderal itu adalah menolak gerakan-gerakan yang tidak menginginkan pemerintahan SBY sampai selesai. "Inkonstitusional dan merugikan rakyat Indonesia," kata Jenderal (Purn) Luhut Panjaitan. Luhut bilang, "Pemikiran menurunkan SBY itu tidak pantas. Tidak ada alasan yang kuat juga."

Situasi politik 2013-2014 pun jelas terbaca. SBY yang menghimpun kekuatan militer, ormas keagamaan, dan media massa berpotensi untuk berhadapan dengan kekuatan massa mahasiswa yang menggandeng akar rumput seperti petani, buruh, dan kaum miskin kota. (LAN/GN-01)

BACA JUGA: