JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan Revisi Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) alot dan berpotensi molor. Sejumlah anggota Komisi VI masih berkutat dalam perdebatan soal definisi BUMN dan belum menginjak pada masalah substansi isi dari UU tersebut. Mereka belum menemukan formula yang tepat untuk mendefinisikan BUMN agar peran BUMN lebih maksimal untuk mensejahterakan rakyat.

Kondisi tersebut diakui Wakil Ketua Komisi VI Mohamad Hekal. Politisi partai Gerindra ini mengungkapkan, pembahasannya paling alot itu masih mengenai definisi BUMN. Ada beragam pandangan soal definisi tersebut. Menurutnya, DPR ingin mengembalikan semangat Pasal 33 UUD 1945 ke dalam formulasi BUMN.

"Kan ada cabang produksi penting, mengenai hidup hajat orang banyak, dan bumi laut dan kekayaan yang terkandung di dalamnya  sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Terhadap ini, kita ingin kunci dulu," kata Mohamad Hekal di Komplek Parlemen, Senayan Jakarta Pusat, Senin (27/3).

Menurut Hekal, kalau definisi tersebut mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, maka memungkinkan jumlah BUMN akan semakin mengerucut dari 119 BUMN yang ada. Pasalnya, beberapa BUMN yang tidak termasuk ke dalam kriteria tersebut akan tereliminasi sehingga konsekuensinya jumlah BUMN akan disederhanakan lagi. Oleh karena itu, amanat UUD 1945 Pasal 33 menurut Hekal mutlak ditangani negara melalui BUMN.

Perdebatan lainnya, terkait soal kategori BUMN sesuai dengan kepemilikan saham negara di dalamnya. Kalau mengacu pada undang-undang sebelumnya, yang disebut BUMN adalah perusahaan dimana kepemilikan saham negara di atas 51 persen saham.

"BUMN itu saham negara lebih dari 51 persen. Sementara perusahaan negara tidak begitu. Ini juga belum ada kesepakatan," ujar Hekal.

Lebih jauh, ia menjelaskan soal penamaan saham juga masih diperdebatkan. Kalau dalam UU yang lalu, yang dinamakan saham negara adalah saham yang atas nama saham negara republik Indonesia. Itu pun hanya pada tingkat holdingnya, sementara pada anak perusahaan itu sahamnya atas nama perusahaan tertentu seperti Pertamina.

"Kalau mengikuti pemerintah yang akan melakukan holdingisasi BUMN maka sahamnya menjadi saham perusahaan seperti atas nama PT Pertamina dan lain lain. Kecuali pada level holdingnya," ungkap Hekal. Terhadap perusahaan di bawah holding, DPR masih menginginkan itu tetap masuk dalam kategori BUMN dan dituangkan dalam redaksi undang undang agar tidak muncul interpretasi yang berbeda terhadap BUMN.

MESTI DIAWASI - Selain itu, Hekal mengungkapkan, masalah tentang pentingnya pengawasan oleh DPR terhadap  BUMN agar tetap pada rel yang ditetapkan juga sempat mengemuka. Namun begitu, untuk mengontrol mulai dari besaran gaji tidak mungkin secara rigid diatur melalui revisi RUU BUMN tersebut.

Skema kontrolnya bisa saja dilakukan pada perusahaan BUMN yang memiliki kaitan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak. Menurutnya, meskipun tidak bisa diatur spesifik soal gaji jajaran direksi, bisa saja dilakukan dengan fit and proper test pada BUMN strategis yang melayani hajat orang banyak.

"Apakah kita BUMN yang berkait langsung dengan UUD 1945 itu akan di fit proper seperti PLN, Bulog, Pertamina," ungkapnya.

Wakil Ketua Komisi VI lainnya Inas Nasrullah Zubir juga mengungkapkan hal yang sama. Politisi Fraksi Partai Hanura ini juga mengungkapkan, pentingnya DPR diberi kewenangan untuk melakukan fit and proper test terhadap direksi dan komisaris BUMN.

Dia melihat ada celah posisi itu menjadi "mainan" bagi kementerian untuk mengganti atau merombak direksi sesuai kepentingan politiknya. Hal itu terjadi pada jabatan direktur PT Pertamina beberapa waktu lalu yang menurut Inas sarat dengan kepentingan kelompok tertentu.

Oleh karena itu, perlu ada pengawasan terhadap BUMN oleh DPR agar tindakan bongkar pasang terhadap jabatan seperti wadirut tidak digunakan sesuai kepentingannya. DPR, kata Inas, melalui fungsi pengawasannya bisa melakukan uji kelayakan  (fit and proper test)  terhadap calon Wadirut Pertamina atau pada BUMN tertentu.

"Kita punya wewenang untuk fit and proper test. Kita ingin atur itu termasuk nanti komisarianya agar menunjang kinerja. Agar tidak bongkar pasang terus," imbuh Inas.

BACA JUGA: