TRIYOGA MUHTAR HABIBI
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Asisten Senior pada Ombudsman RI

Pada November 2019, pemerintah melakukan seleksi penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN). Animo masyarakat selalu tinggi untuk mengikuti seleksi tersebut. Status ASN masih dianggap lebih mapan dan memberikan jaminan kepastian hidup. Selain itu, anggapan bahwa bekerja sebagai ASN berarti menjadi pegawai pemerintah dan bukan swasta, juga menjadi faktor pendorong. Pendapat itu kemudian sampai pada anggapan bahwa bila bekerja di instansi pemerintah pasti ASN atau bila bukan ASN maka berstatus honorer, yang sekarang dikenal dengan istilah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). 

Pendapat tersebut tersebut tidaklah salah, karena memang saat ini ketentuan mengenai pegawai yang bekerja di institusi pemerintahan hanya mengatur dua jenis kepegawaian. Ada pun ketentuan lain yang mengatur kepegawaian adalah UU Ketenagakerjaan yang menjadi acuan kepegawaian di sektor swasta. Namun, perlu kita dalami, apakah dua ketentuan mengenai kepegawaian di atas telah mengakomodasi kebutuhan akan jenis kepegawaian di Indonesia? Lebih spesifik lagi, apakah untuk kepegawaian di pemerintahan hanya ada dua model yaitu ASN dan PPPK?

Beberapa bulan yang lalu terdapat beberapa permasalahan yang menarik perhatian masyarakat, seiring dengan akan disahkannya beberapa rancangan peraturan perundangan-undangan. Salah satu yang memperoleh penolakan luas masyarakat adalah pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena dianggap bermasalah dan berpotensi memperlemah institusi. Salah satu permasalahan dalam ketentuan tersebut adalah mengubah status pegawai KPK dari Pegawai Tetap Lembaga menjadi ASN. Penolakan tidak hanya dari masyarakat, namun juga dari Wadah Pegawai KPK. Perubahan status kepegawaian menjadi ASN dianggap merupakan bagian dari upaya mengurangi independensi dan melemahkan KPK.

Anggapan tersebut tentu tidak salah, karena kepegawaian ASN selama ini identik dengan kepegawaian pemerintah, yang kekuasaan pengelolaannya dimiliki oleh presiden dan pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait. Atas hal tersebut, muncul kekhawatiran masyarakat bahwa KPK menjadi tidak independen dalam melakukan tugas dan fungsinya karena berpotensi konflik kepentingan serta rawan intervensi pemerintah. Selain itu, adalah fakta bahwa ASN pada saat ini masih dianggap bagian dari faktor permasalahan korupsi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), pada 2018, jumlah PNS yang telah dinyatakan korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebanyak 2.674 orang. Permasalahan berikutnya adalah, dari angka tersebut, sebagian besar atau sebanyak 2.357 orang belum diberhentikan dari status ASN, padahal, berdasarkan ketentuan, seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat oleh atasannya. Kondisi ini cukup untuk menggambarkan masih banyaknya permasalahan dalam sistem kepegawaian ASN.

Berkenaan hal di atas, dengan meneruskan pertanyaan sebelumnya, apakah memang kepegawaian pada seluruh lembaga dan pemerintahan di Indonesia harus berstatus ASN? Apakah lembaga independen seperti KPK tidak boleh memiliki kepegawaian sendiri selain ASN?

Sistem ketatanegaraan di Indonesia dan status pegawai pelaksana fungsi lembaga sistem pemerintahan di Indonesia menganut konsep pemisahan kekuasaan dalam tiga cabang kekuasaan atau yang sering dikenal dengan teori trias politica. Ada pun ketiga cabang kekuasaan tersebut adalah eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Konsep pemisahan kekuasaan memang sudah jamak dilakukan di berbagai negara dalam rangka mencegah dominasi kekuasaan, meskipun dalam praktik memiliki variasi yang berbeda-beda.  

Di Indonesia, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan dijalankan menurut ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ada pun fungsi legislatif dimandatkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang di dalamnya juga memiliki fungsi pegawasan terhadap kinerja pemerintah dan fungsi penganggaran. Sementara itu, kekuasaan yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). MA menyelenggarakan fungsi peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan secara mandiri dengan didukung badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Selain tiga cabang kekuasaan yang disebut di atas, terdapat perkembangan baru yaitu munculnya lembaga-lembaga yang bersifat independen. Lembaga-lembaga independen tersebut merupakan irisan dari tiga cabang kekuasaan di atas, sehingga karakternya cenderung bersifat gabungan, meskipun tetap terdapat kecenderungan utama dari ketiga karakter tersebut. Terdapat lembaga yang sebagian karakternya lebih dekat ke fungsi legislatif, atau ke fungsi eksekutif, dan bahkan juga fungsi yudikatif. Beberapa contoh lembaga independen tersebut antara lain Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang merupakan irisan dari kekuasaan yudikatif dan eksekutif namun lebih dekat ke fungsi yudikatif. Contoh lain terdapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman RI yang dianggap merupakan irisan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif namun lebih dekat ke fungsi legislatif, karena memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan produk akhir berupa rekomendasi.

Karakter lembaga independen yang memiliki fungsi irisan dari tiga cabang kekuasaan utama tersebut sering kali dinyatakan dengan beberapa istilah antara lain organ negara tambahan (state auxiliary organs, state auxiliary agencies, state auxiliary bodies). Namun demikian terdapat berbagai pendapat mengenai pentingnya keberadaan lembaga-lembaga tersebut. Pada lembaga independen yang telah disebutkan dalam UUD, dianggap sebagai organ utama dan pendukung negara. Ada pun lembaga independen yang dasar pembentukannya adalah undang-undang disebut sebagai lembaga tambahan yang lahir karena kinerja lembaga utama dianggap belum efektif dan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

Merujuk hal di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan lembaga-lembaga negara, baik utama maupun penunjang, dimaksudkan untuk menciptakan kondisi pemerintahan yang saling mendukung dan menguatkan antara satu dan lainnya. keberadaan lembaga legislatif dan yudikatif diharapkan dapat menjalankan fungsi saling kontrol dan memberikan keseimbangan terhadap fungsi eksekutif, demikian juga sebaliknya. 

Berkenaan hal tersebut, keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang membantu menjalankan tugas menjadi sangat vital. Keberadaan SDM tidak hanya mengenai kualitas namun status dan pengelolaannya juga turut menjadi faktor penting. Ada pun pada saat ini SDM pada lembaga di luar eksekutif sebagian besar memiliki jenis kepegawaian ASN. Hanya terdapat beberapa lembaga yang memiliki jenis kepegawaian di luar ASN namun berstatus pegawai tetap institusi, antara lain Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ombudsman. Ada pun kepegawaian KPK pada saat ini masih berstatus pegawai tetap KPK dan sesuai ketentuan yang baru, dalam dua tahun ke depan harus berubah menjadi ASN.

DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislatif memiliki kepegawaian dengan berstatus ASN. Ada pun kepegawaian di luar ASN berstatus tenaga kontrak, bukan pegawai tetap. Karakter kelembagaan DPR tentu berbeda dengan lembaga eksekutif sehingga juga berpengaruh pada karakter kepegawaiannnya. DPR sebagai lembaga legislatif memiliki kurang lebih 500 orang anggota dengan status pejabat negara. Pada kondisi ini dapat diartikan SDM di DPR memiliki kurang lebih 500 orang pimpinan. Kondisi ini tentu tidak dapat dipersamakan dengan kepegawaian pada kementerian yang hanya terdapat satu orang pimpinan.

Bank Indonesia (BI), melalui ketentuan undang-undang, ditetapkan sebagai lembaga negara yang independen. Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu kemandirian yang diberikan adalah BI dapat melakukan pengelolaan kepegawaian secara penuh tanpa mengacu pada mekanisme dalam UU Kepegawaian. Sebagai lembaga negara yang bebas dari campur tangan pemerintah, negara memberikan keleluasaan kepada BI untuk mengatur kepegawaiannya sendiri, mulai pengangkatan, penggajian, penghargaan, pensiun, tunjangan serta pemberhentian pegawai BI dilakukan oleh Dewan Gubernur. Merujuk ketentuan dimaksud maka dapat dipahami dengan jelas bahwa pegawai BI bukan berstatus ASN. Senada dengan BI, SDM pada OJK juga tidak berstatus ASN. Bahkan OJK pada saat awal pembentukan mensyaratkan setiap pegawai yang berstatus ASN dapat diangkat menjadi pegawai OJK setelah melepaskan diri dari status kepegawaian ASN.

Pengaturan kepegawaian secara mandiri sebagaimana pada BI dan OJK tentu tidak dilakukan tanpa tujuan, namun sebagai salah satu langkah untuk memastikan tugas dan fungsi lembaga dapat berjalan maksimal. Pada institusi yang melaksanakan fungsi di luar pemerintah, seperti MA dengan fungsi yudikatif, kepegawaian pada kesekretariatan di DPR maupun lembaga independen yang dibentuk karena tujuan tertentu, seharusnya pengaturan SDM dilakukan secara mandiri. Lembaga-lembaga independen yang memiliki fungsi pengawasan seperti BPK, KPK, Ombudsman, dan Komnas HAM, pelaksanaan fungsi dan tugas teknis pengawasan dilakukan oleh pegawai. Apabila berstatus sebagai ASN maka saat melakukan pemeriksaan akan terbentur dengan ketentuan antara lain bahwa pemeriksaan terhadap pejabat harus dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan memberhentikan atas pejabat terperiksa. Meskipun pada praktiknya sering dapat dilakukan pengecualian, namun hal tersebut sebenarnya memberikan permasalahan mengenai efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga tersebut. 

Dengan status kepegawaian hanya ASN dapat akan terjadi sebuah “pengendalian” oleh pemerintah. Mulai pada tahap penerimaan saja, jumlah pegawai yang akan diterima oleh lembaga tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (PAN-RB) sehingga terkadang tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan SDM. Demikian juga dengan mekanisme akuntabilitas kinerja yang harus sesuai format kementerian di bidang kepegawaian dan tidak dapat membuat model sendiri, sesuai kondisi tugas dan fungsi lembaga.

Permasalahan-permasalahan di atas sebenarnya bersumber dari upaya perbaikan kehidupan bernegara yang dilakukan secara parsial, khususnya dalam mengatur jenis kepegawaian di Indonesia. UU ASN yang dinyatakan sebagai ketentuan payung atas kepegawaian pada institusi negara hanya mengatur dua jenis kepegawaian yaitu PNS dan PPPK. Proses perumusan ketentuan ini sepertinya masih terlalu sempit bila dilihat dari sudut pandang eksekutif. Padahal di luar kekuasaan eksekutif terdapat unsur lain dalam menopang kehidupan bernegara, yaitu yudikatif, legislatif dan beberapa lembaga negara independen. 

Berkenaan hal tersebut maka penting bagi negara untuk secara berbesar hati mengatur jenis kepegawaian lain, dengan semangat aparatur negara, dan tidak hanya aparatur sipil. Beberapa lembaga seperti BI, OJK dan KPK yang sudah memiliki pengelolaan kepegawaian secara mandiri seharusnya didukung dan dikuatkan. Dalam hal terjadi permasalahan teknis seperti mekanisme seleksi dan besaran pendapatan yang berbeda-beda maka dapat diberikan ketentuan yang menjadi acuan standar. Pengaturan tersebut dapat dituangkan dalam revisi UU ASN maupun membuat UU khusus sebagai payung jenis kepegawaian lain di luar ASN, namun dengan memberikan ruang kemandirian dalam rangka independensi. Dengan kondisi ini diharapkan setiap lembaga dapat menjalankan fungsi dan tujuan dibentuknya lembaga tersebut secara optimal dan tetap dalam kerangka pegawai yang bekerja bagi negara.

Kirimkan artikel dan opini Anda melalui e-mail: [email protected]

BACA JUGA: