RACHMAT WAHYUDI HIDAYAT
Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kesra Badan Keahlian DPR RI

Saat ini pemerintah tengah mempublikasikan hasil kajian mengenai pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. Tidak ingin flashback terlalu jauh ke belakang di zaman Presiden Soekarno, sependek pengetahuan penulis, pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, wacana pemindahan ibu kota negara ini telah digaungkan sejak awal masa pemerintahan periode pertama.

Pada akhir masa pemerintahan periode pertama dan memasuki awal kepemimpinan periode kedua, tampaknya Presiden Joko Widodo akan merealisasikan wacana tersebut dan melakukan action atas kajian yang telah dilakukan selama masa pemerintahan periode pertama tersebut. Bahkan, berdasarkan hasil kajian, Presiden telah secara tegas menyatakan lokasi calon ibu kota negara secara cukup detail yakni di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.

Hal itu berarti selama kurun waktu hampir lima tahun pertama pemerintahan, wacana dan rencana pemindahan ibu kota negara tersebut tentu telah dikaji secara matang. Atas penilaian tersebut, tulisan ini tidak bermaksud mengkaji kembali urgensi pemindahan ibu kota atau alasan pemilihan Kalimantan Timur sebagai ibu kota negara. Tulisan ini mengkaji secara yuridis pemindahan ibu kota negara dari aspek hubungan kelembagaan negara, terutama peran DPR dalam menjalankan fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasi serta syarat legal formal pemindahan ibu kota negara.

Hubungan Kelembagaan Negara
Secara konstitusional, Presiden dan DPR adalah lembaga negara yang diatur dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang disebut sebagai organ konstitusi. Presiden dan DPR merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat utama (primary constitutional organ). Pasca amendemen (perubahan) ketiga UUD NRI Tahun 1945, salah satu perubahan mendasar terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Sebagai konsekuensi dari amendemen tersebut, pelaksanaan kedaulatan rakyat dibagi menjadi tiga kekuasaan (distribution of power), yakni kekuasaan eksekutif oleh Presiden, kekuasaan legislatif oleh DPR, dan kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi. Amendemen UUD NRI Tahun 1945 ini secara tidak langsung juga menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan Presiden dan DPR dalam mekanisme checks and balancesSistem checks and balances dimaksudkan untuk mengimbangi pembagian kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antarlembaga. Sistem check and balances tidak hanya berlaku dalam hubungan eksekutif dan legislatif, termasuk juga batasan dan hubungan kekuasaan yudikatif.

Hubungan kelembagaan antara DPR dan Presiden adalah hubungan nebengeordnet atau hubungan horizontal yang sederajat. Hubungan antara kedua lembaga tersebut oleh UUD NRI tahun 1945 dirumuskan sebagai bentuk kerja sama kelembagaan dalam menyelenggarakan hubungan fungsional masing-masing lembaga negara. Pasca-amendemen UUD NRI Tahun 1945, kekuasaan Presiden sebagai pelaksana pemerintahan berwenang untuk menjalankan tugas yang diberikan oleh ketentuan UUD NRI Tahun 1945.

Tugas yang berkaitan dengan hubungan fungsional kelembagaan dengan DPR, yaitu: (a) berwenang mengajukan RUU (Pasal 5 ayat (1)); (b) berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UU (Pasal 5 ayat (2)); dan (c) berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti UU (Perppu) dalam ihwal kegentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat (1)). Kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, sedangkan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara terdapat dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 15 UUD NRI Tahun 1945.

Dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh Presiden, DPR memiliki hak interpelasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 ayat (1) huruf a UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 164 ayat (1) huruf a Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Hak interpelasi ini merupakan hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Aspek hubungan kelembagaan antara Presiden dan DPR ini penting dan memiliki relevansi dalam konteks pemindahan ibu kota negara atau pusat pemerintahan. Sebab, apabila yang dipindahkan adalah ibu kota negara, mekanisme checks and balances berlaku karena melibatkan dua lembaga tinggi negara yakni Presiden sebagai kepala negara dan DPR. Sebaliknya, jika yang dipindahkan hanya pusat pemerintahan maka pemindahan tersebut menjadi sepenuhnya wewenang Presiden selaku kepala pemerintahan (hak prerogatif/discrehionary power). Dalam pemindahan Ibu kota negara atau pusat pemerintahan ini terdapat perbedaan antara fungsi dan peran Presiden sebagai kepala negara serta fungsi dan peran Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis memiliki dissenting opinion terhadap pihak yang menyatakan pemindahan ibu kota negara merupakan wewenang penuh Presiden. Pemindahan ibu kota negara jelas memerlukan keterlibatan peran DPR sebagai bagian mekanisme checks and balances. Peran DPR dalam pemindahan ibu kota negara diwujudkan dalam kerangka pelaksanaan fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasi. Apabila DPR tidak dilibatkan dalam rencana dan kajian pemindahan ibu kota negara, hal ini akan menjadi handicap yang akan menghalangi langkah Presiden/Pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara, meskipun mayoritas fraksi di DPR merupakan pendukung Presiden Joko Widodo.

Adanya permohonan dukungan persetujuan kepada DPR yang disampaikan oleh Presiden pada saat pidato kenegaraan RI tanggal 16 Agustus 2019 dan surat resmi ke DPR perihal penyampaian hasil kajian dan permohonan dukungan pemindahan ibu kota menunjukkan bukti jika Presiden tetap melibatkan DPR dalam pemindahan ibu kota negara. Terhadap surat Presiden tersebut, DPR telah merespons dengan membentuk Panitia Khusus (Pansus) DPR Pemindahan Ibu Kota Negara yang telah menghasilkan rekomendasi agar Pemerintah melakukan kajian lebih lanjut terhadap tiga aspek yakni pertamasumber pembiayaan dan infrastruktur; kedualokasi dan lingkungan; dan ketigaaparatur sipil negara dan regulasi. Keterlibatan DPR ini pun harus dilakukan secara kontinu mulai dari tahap kajian, pelaksanaan pembangunan, dan saat pemindahan ibu kota sebagai bagian mekanisme checks and balances dalam pelaksanaan fungsi DPR.

Legal Formal Pemindahan Ibu Kota Negara
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU merupakan produk hukum yang disusun, dibahas, dan disahkan secara bersama antara Pemerintah selaku eksekutif dan DPR selaku legislatif. Oleh karena itu penyiapan suatu naskah akademis, rancangan undang-undang, dan revisi atas undang-undang terlepas dari pengusulnya, jelas memerlukan keterlibatan DPR sebagai lembaga negara pemegang kuasa legislatif. Dengan demikian apabila sejak awal DPR tidak dilibatkan dalam rencana, kajian, dan pengawasan pemindahan ibu kota maka sangat mungkin dalam pembahasan dan pengesahan UU Pemindahan Ibu kota Negara sebagai tindak lanjut dari hasil kajian akan menjadi deadlock. DPR dalam melaksanakan fungsi legislasinya memiliki hak veto untuk melanjutkan atau memberhentikan proses pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang.

Secara legal formal setidaknya ada dua dokumen yang harus dipersiapkan terkait dengan pemindahan ibu kota negara. PertamaNaskah Akademis; dan keduaRancangan Undang-Undang yang mengatur mengenai pemerintahan provinsi yang ditetapkan sebagai ibu kota negara yang akan mencabut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain penyiapan naskah akademis dan rancangan undang-undang, perlu dilakukan inventarisasi dan revisi terhadap produk undang-undang yang memiliki dampak hukum pemindahan ibu kota negara, yakni antara lain UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,  dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada pun dalam rancangan undang-undang yang akan mencabut UU Nomor 29 Tahun 2007 mengatur mengenai fungsi, peran, dan kedudukan dari pemerintahan provinsi yang akan menggantikan Jakarta sebagai ibu kota negara. Selain itu dalam rancangan undang-undang juga perlu diatur mengenai batas wilayah, tata ruang dan kawasan khusus dari ibu kota negara baru.  

BACA JUGA: