Oleh: Taswa Witular*)

Pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak tahun 2018 sudah semakin dekat. Terlepas dari siapa yang didukung, rakyat tentunya berharap pilkada berlangsung secara demokratis, fair, dan damai.

Bicara pilkada tentu tidak bisa lepas dari kata fair play. Bicara fair play, tentu bicara pergerakan kandidat. George c.s. Benson (Topo Santoso: 2007), menyebutkan penyimpangan kekuasaan sang petahana tergolong political corruption, yaitu setiap penggunaan kekuasaan pemerintahan yang tidak sah dan tidak etis untuk keuntungan pribadi dan keuntungan politik. Korupsi ini untuk meraih dua tujuan: materi dan kekuasaan.

Penggunaan kekuasaan inilah yang kerap menjadi senjata utama bagi petahana. Namun benarkah petahana adalah satu-satunya kandidat yang bisa membuat kecurangan dalam meraih suara?

Dalam sebuah diskusi santai dengan beberapa relasi di Jakarta, yang terdiri dari akademisi dan pemerhati sosial politik, saya menyimpulkan bahwa kontestan atau peserta pilkada hampir seluruhnya curang. Baik yang kalah atau yang menang. Makanya tak mengherankan jika dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), pihak penggugat (pemohon) dan pihak tergugat (termohon) saling serang dan menunjukan kecurangan masing-masing. Hanya saja tingkat kecurangan memang sangat bervariasi, tergantung stadiumnya. Namun karena pihak penggugat (pemohon) tidak mampu menunjukan alat bukti dan saksi yang cukup, kerap kali tergugat menang dalam persidangan.

Kita secara objektif tentu memaklumi, selain memiliki awareness, petahana adalah pihak yang lebih berpotensi melakukan kecurangan. Seperti apakah petahana kerap membuat kecurangan?

Mobilisasi PNS
Modus mobilisasi PNS beragam. Dinas Pendidikan dapat melakukan pertemuan para guru dan wali murid. Terkadang kepala sekolah berada di bawah ancaman. Instruksi politik kepada semua kepala desa dengan iming-iming ada penambahan Anggaran Dana Desa (ADD). Jika ada PNS yang ketahuan tidak mendukung, siap-siap saja untuk dimutasi ke wilayah “kering”. Sebaliknya, pihak yang dianggap berjasa akan diberikan promosi. Bekerja secara terstruktur, rapi, dan tersembunyi biasanya menjadi kode kecurangan petahana.

Penggunaan APBD untuk Kampanye
Sudah menjadi rahasia umum, kampanye untuk pihak petahana tidak menggunakan dana sendiri. Dinas Pertania membuat program bantuan gratis, Dharma Wanita melakukan bakti sosialdan pembagian suplemen gratis, dikemas dengan kreasi yang mengedepankan nama petahana. Banyak Kepala Dinas yang mencari dana, entah dari cukong (pengusaha) maupun dari anggaran Dinas. Kesempatan bagi para Kepala Dinas "memalak" para kontraktor dengan bahasa "Bapak/Ibu mengajak bahagia". Pemborong pun takut, jika tidak ada kontribusi bisa-bisa besok jika si Bapak/si Ibu menang lagi, dia tidak dapat proyek.

Desain Penyelenggara
Petahana berpotensi membangun kekuatan di lembaga penyelenggara pilkada, KPUD dan atau Panwaslu. Peran KPUD di sini membuat pemetaan dalam rekrutmen jajaran di tingkat bawah, membuat desain kepemilikan nomor urut paslon, dll. Meski petahana tidak terlibat dalam proses rekrutmen, dirinya dalam beberapa momen bisa tatap muka dengan penyelenggara ini seperti dalam kegiatan pembukaan acara Pantarlih atau Diklat semua jajaran PPK hingga KPPS.

Modus memberi tambahan honorarium yang diambil dari APBD, membuat petugas senang. Sementara Panwaslu mengawasi terus menerus pergerakan lawan, hingga di beberapa daerah sampai membubarkan pertemuan yang dilakukan calon Kepala Daerah lain. Sebaliknya, jika ada laporan dari pihak lawan, Panwas bisa saja mengatakan tidak bisa diproses ke pelanggaran hukum karena tidak cukup bukti. Jika anggota Panwas dijadikan saksi di persidangan MK, dia bisa mengatakan bahwa petahana tidak melakukan pelanggaran hukum karena saksi dan bukti tidak cukup. Hal lain yang patut diwaspadai, pihak penyelenggara bisa saja tidak membagi undangan bahkan kartu pemilih kepada wilayah yang dianggap sebagai basis musuh, mencetak kertas suara melebihi yang sudah ditentukan dan dipersiapkan kotak suara yang sudah berisi, merekayasa pemilih fiktif, hingga mengubah dokumen C1 hasil penghitungan suara.

Pembaca yang budiman, tidak mengherankan kalau potensi kemenangan dari petahana ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pasangan lain. Akan tetapi, mengalahkan petahana juga bukan tidak mungkin. Pada tahun 2005 dan 2010 dari masing-masing 200-an Pemilukada yang diikuti oleh petahana, hasilnya berimbang di mana persentase petahana yang menang tidak jauh berbeda dengan petahana yang kalah. Di beberapa daerah, posisi petahana dalam opini publik tampak cenderung menunjukan grafik elektabilitas menurun, baik di kalangan birokrasi maupun masyarakat bawah. Hal ini diantaranya tentu saja seiring kesadaran kaum intelek birokrat dalam menilai kepemimpinan sang petahana. Pencitraan yang dilakukan petahana di hadapan masyarakat selama ini pun telah menjadi bumerang. Saya melihat hal ini dipicu oleh ketidakseimbangan promosi (pencitraan) dengan kinerja serta pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pelayanan prima.

Kecurangan sekali lagi pasti ada, dan lagi-lagi, sulit dibuktikan. Maka upaya preventif seyogyanya menjadi langkah utama agar kecurangan bisa diminimalisir.

*) Penulis adalah pemerhati sosial politik, dikenal sebagai konsultan politik

BACA JUGA: