JAKARTA - Keadilan kembali tercoreng.

Setelah putusan ringan untuk jaksa Pinangki Sirna Malasari yakni 4 tahun penjara, kini majelis hakim juga memberikan putusan ringan bagi mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Bekasi, Rohadi, yakni hanya 3,5 tahun penjara.

Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai putusan Rohadi itu sangat jauh dari rasa keadilan.

"Kami menengarai mafia peradilan saat ini sudah pada level membahayakan penegakan hukum di Indonesia, antara sesama aparat penegak hukum mereka saling melindungi," kata Ardi kepada Gresnews.com, Sabtu (17/7/2021).

Menurut Ardi, perbuatan Rohadi sangat mencoreng nama baik intansi kejaksaan sehingga memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.

"Seharusnya perilaku Rohadi mendapatkan sanksi yang berat. Patut dicurigai, bahwa ada oknum penegak hukum lain yang dilindungi di balik putusan ringan terhadap Rohadi ini," ungkapnya.

Ardi juga menyinggung perihal hukuman Pinangki yang mendapat potongan 6 tahun menjadi 4 tahun penjara, lebih ringan dari sebelumnya 10 tahun penjara.

"Pertimbangan hakim yang mengurangi hukuman Pinangki dengan alasan memiliki anak kecil juga mencederai rasa keadilan masyarakat, karena pengurangan hukumannya mencapai lebih dari separuhnya," sindirnya.

Menurutnya, dalam banyak kasus yang lain, pertimbangan tersebut juga jarang dipertimbangkan oleh hakim. Jikalau pun ada pengurangannya tidak se-signifikan itu.

Kebanyakan hakim memberikan keringanan saja berupa hak-hak anak yang harus terpenuhi selama menjalankan hukuman seperti ruang tahanan yang memadai dan akses kesehatan anak.

"Kami juga mencurigai, ada oknum mafia hukum yang ingin dilindungi dari putusan ringan terhadap Pinangki. DPR harus memanggil Jaksa Agung untuk klarifikasi dan membongkar hal ini karena menyangkut kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum," tuturnya.

Ardi menjelaskan sebenarnya hakim atau jaksa memiliki kriteria dalam menentukan tuntutan atau putusan dalam mempertimbangkan tuntutan atau hukuman.

"Yang paling utama adalah fakta-fakta yang diungkap di dalam persidangan, bukan BAP. Dalam proses persidangan kita melihat jaksa penuntut umum tidak berupaya membongkar kasus ini secara terang-benderang," jelasnya.

Jadi, kata Ardi, petakanya ini sudah dimulai dari tubuh jaksa penuntut umum itu sendiri. Seharusnya yang menyidik kasus Pinangki ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan penegak hukum konvensional.

Majelis hakim dalam persidangan kasus Pinangki ini juga tidak secara aktif mencari kebenaran materiil sehingga bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan tidak cukup kuat untuk menghukum berat Pinangki.

"Padahal skandal ini sungguh sangat mencoreng nama institusi penegak hukum di Indonesia terutama Kepolisian dan Kejaksaan," pungkasnya.

Berdasarkan Fakta

Sementara itu Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro, mengatakan MA tidak berhak menanggapi putusan pemidanaan terhadap Rohadi dan Pinangki sudah sesuai atau jauh dari rasa keadilan dan apa yang membuat putusan itu menjadi ringan.

MA menahan diri untuk tidak mengomentari putusan pemidanaan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam perkara Rohadi, begitu pula putusan pemidanaan PT DKI Jakarta dalam perkara Pinangki. Sebab, kalau kami mengomentari dan memberi penilaian terhadap hukuman yang hukuman yang dijatuhkan bisa menimbulkan kesan bahwa MA mencampuri atau mengintervensi independensi hakim yang mengadili perkara tersebut.

"Kecuali kalau kedua perkara itu dimintakan kasasi ke MA maka majelis hakim Kasasi yang memutus perkaranya dapat menilai apakah putusan pemidanaan a quo sudah sesuai dengan rasa keadilan atau dinilai terlampau ringan," kata Andi kepada Gresnews.com, Sabtu (17/7/2021).

Andi mengatakan sesungguhnya hakim dalam memutuskan suatu perkara selalu berpedoman pada fakta hukum dalam persidangan. "Hakim dalam menjatuhkan putusan didasarkan pada fakta hukum yang terungkap di persidangan," jelasnya.

Andi melanjutkan, setelah melalui proses pembuktian di persidangan, barulah hakim memutuskan terdakwa itu sesuai fakta hukum tersebut.

"Dari fakta hukum itu pula dinilai apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Sebelum hakim menjatuhkan hukuman wajib mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa," tandasnya.

Sementara itu pihak penasihat hukum Rohadi, Fariz Risvano, menanggapi atas putusan Rohadi, ia tetap mematuhi dan menghormati putusan hakim tersebut.

"Atas putusan tersebut, kemarin di persidangan pada intinya Pak Rohadi sudah menerima dan untuk terkait hasil ya kami semua itu sesuai dengan proses hukum yang berjalan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitulah yang kita patut hormati hasil putusan majelis hakim dalam persidangan Pak rohadi," kata Fariz kepada Gresnews.com, Sabtu (17/7/2021).

Fariz mengatakan bahwa dengan putusan itu penasihat hukum merasa cukup gembira. Namun sebenarnya keinginan penasihat hukum, putusan itu diberikan yang paling ringan.

"Kalau sesuai harapan ya tentu kami selaku penasihat hukum cukup, kalau harapan kami tetap yang seringan-ringannya. Cuma apa daya hanya ini yang kita mampu lakukan selaku penasihat hukum, ya maksimalnya seperti ini," ujarnya.

Ia menegaskan pihak penasihat hukum tidak akan melakukan langkah hukum apapun ke depannya, sesuai dengan permintaan Rohadi yang menerima putusan tersebut.

Sebelumnya Majelis Hakim yang dipimpin Albertus Usada menjatuhkan vonis atau putusan pidana penjara 3,5 tahun kepada Rohadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 14 Juli 2021.

Hal itu diungkapkan setelah hakim menyatakan terdakwa Rohadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu subsider, kedua, ketiga, serta melakukan TPPU sebagaimana dakwaan keempat.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tsb oleh karena itu dng pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan dan pidana denda Rp300 juta subsider 4 bulan," kata Albertus Usada di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (14/7/2021).

Hakim juga menetapkan tindak pidana tersebut tidak dikurangkan masa penahanan karena terdakwa Rohadi dalam perkara ini tidak ditahan.

Majelis hakim menyimpulkan terdakwa Rohadi tidak memenuhi syarat kumulatif sebagai justice collaborator (JC) dalam pokok perkara tipikor dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dalam konteks ini Tipikor merupakan tindak pidana asal adanya TPPU.

"Permohonan terdakwa sebagai JC tidak beralasan menurut hukum, oleh karena itu harus ditolak," jelas hakim.

Sebelumnya, mantan Panitera Pengganti Jakarta Utara dan Bekasi Rohadi terkenal nyentrik dan tajir. Hal itu karena punya pengawal pribadi dan memiliki mobil pribadi mewah serta memiliki lahan tanah yang sangat luas.

Mobil yang dibeli Rohadi bervariasi, mulai dari Toyota Alphard, Camry, Fortuner, Yaris, Agya, Honda Jazz, Suzuki APV, Mitsubishi Pajero, Jeep Wrangler, hingga Mercedes Benz. Kemudian, Properti yang tersebar di Jakarta Timur, Bekasi, Cianjur, dan Indramayu.

Selain itu, ia memiliki tanah seluas 132.896 meter persegi yang digunakan untuk pembangunan komplek perumahan, wisata waterboom, rumah sakit, dan sekolah tinggi ilmu kesehatan di bawah bendera PT Reysa Permata Cikedung (RPC).

Ternyata, semua kemewahan, kenyentrikan dan ketajirannya itu didapat dari uang hasil korupsi suap dalam pengurusan perkara di pengadilan.

Pada perkara ini Rohadi didakwa telah menerima suap sebesar Rp1,21 miliar dari anggota DPRD Papua Barat periode 2009-2014 Robert Melianus Nauw dan Jimmy Demianus Ijie terkait pengaturan perkara. Suap diberikan agar Robert dan Jimmy dapat diputus bebas di tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Pada dakwaan kedua, Rohadi disangkakan menerima hadiah dan janji sebesar Rp110 juta dari Jeffri Darmawan. Duit itu diduga diberikan Jeffri melalui perantara Rudi Indawan.

Rohadi juga diduga menerima uang haram untuk memenangkan perkara dari Yanto Pranoto melalui Rudi Indawan Rp235 juta. Lalu, dia diduga menerima uang dari Ali Darmadi Rp1,6 miliar, dan dari seorang mantan anggota DPR Rp1,5 miliar.

Pada dakwaan ketiga, Rohadi diduga menerima gratifikasi senilai Rp11,5 miliar. Uang itu dikumpulkan Rohadi dari banyak orang mulai dari 2001 sampai 2014.

Pada dakwaan terakhir, Rohadi diduga melakukan pencucian uang. Ia diduga membeli 41 tanah dan bangunan, serta 19 mobil mewah untuk menyamarkan kekayaannya.

Jaksa menyebut Rohadi menukarkan uang asing sebanyak 87 kali sejak Januari 2011-Juni 2016. Dia juga diduga melakukan investasi sebanyak 32 kali di RSU Reysa dengan nilai Rp100 juta-Rp300 juta. (G-2)

BACA JUGA: