JAKARTA - Maria Pauline Lumowa, tersangka kasus dugaan pembobolan Bank Negara Indonesia (BNI) senilai Rp1,7 triliun, ditahan, setelah pelariannya selama 17 tahun berakhir di Serbia.

Proses ekstradisi dari Serbia dipimpin langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Maria dibawa Yasonna, yang mengenakan topi koboi, dari Serbia menggunakan pesawat Garuda Indonesia 9790 Boeing 777 dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, beberapa hari lalu. Kemudian mereka memasuki Gedung VIP Terminal 3 Soetta dan langsung diserahkan ke Bareskrim Polri untuk diproses hukum.

"Kami sudah membuat surat ke Kedutaan Besar Belanda untuk memberitahukan ada warganya yang saat ini sudah kita tangkap dan lakukan penahanan," ujar Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, yang disiarkan YouTube Tribrata TV, Jumat (10/7/2020).

Sejak 1979, Maria menjadi warga negara Belanda. Dalam suratnya, Bareskrim juga meminta agar Kedubes Belanda dapat segera menunjuk penasihat hukum terhadap Maria supaya proses hukum terhadap Maria segera memasuki tahap pemeriksaan.

"Kita meminta kepada Kedutaan Besar Belanda untuk memberikan pendampingan hukum dalam rangka pemeriksaan terhadap Saudari MPL," katanya.

Ia menambahkan, dalam kasus tersebut, pihaknya telah menyiapkan dua pasal sekaligus untuk menjerat Maria.

"Rencana kita akan menerapkan Pasal 2 Ayat (1) UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor dengan ancaman pidana seumur hidup dan Pasal 3 Ayat (1) UU 25/2003 tentang TPPU (pencucian uang)," terangnya.

Namun bagi Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, ekstradisi Maria hanya untuk menutupi rasa malu Menkumham Yasona atas bobolnya buronan Joko Tjandra yang mampu masuk dan keluar Indonesia tanpa terdeteksi.

"Yasona dengan pakaian kebesaran topi koboinya gagah bak koboi membawa penjahat," ucap Boyamin melalui keterangan kepada Gresnews.com, Jumat (10/7/2020).

Bahkan Joko Tjandra mampu membikin e-KTP baru, paspor baru, dan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Rasa malu juga terjadi atas menghilangnya Harun Masiku yang hingga saat ini belum tertangkap.

Selain itu, atas ekstradisi Maria menunjukkan cekal akibat Daftar Pencarian Orang (DPO) adalah abadi hingga tertangkap meskipun tidak ada update dari Kejagung karena Maria status tetap cekal sejak 2004 hingga kini.

Menurut Boyamin, ini membuktikan kesalahan penghapusan cekal pada kasus Joko Tjandra yang pernah dihapus cekal pada 12 Mei 2020 sampai 27 Juni 2020 oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas permintaan Sekretaris NCB Interpol Indonesia. "Padahal tidak ada permintaan hapus oleh Kejagung yang menerbitkan DPO," katanya.

Terkait keberhasilan kasus ekstradisi Maria ini membuktikan pemerintah bila mau serius dapat memulangkan buronan yang sudah 17 tahun berkeliaran bebas. Tapi, kata Boyamin, apakah pemerintah juga turut serius menangkap buronan lainnya yang sudah membawa kabur uang negara? "Semestinya pemerintah bisa menangkap Joko Tjandra, Eddy Tansil, Honggo Wendratno dan buron-buron kakap," ujarnya.

Agar tidak terulang kasus buronon negara yang enak-enakan berbisnis di luar negeri, pemerintah harus segera mencabut berlakunya paspor buron itu dan meminta negara-negara lain yang memberikan paspor untuk juga mencabutnya sehingga buron tidak leluasa berpergian.

"Jika sudah diketahui punya paspor negara lain maka segera dicabut kewarganegaraannya sebagai amanat Pasal 23 Ayat (8) UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan," ujar Boyamin.

Bila buron tertangkap cukup diterbitkan Surat Perjalanan Laksana Pasport (SPLP) sekali pakai untuk membawa pulang ke Indonesia.

Meskipun demikian, Boyamin tetap mengapresiasi apa yang telah diperbuat Menteri Yasonna bersama jajarannya dapat memulangkan Maria dan semoga Joko Tjandra juga segera tertangkap. (G-2)

 

BACA JUGA: