JAKARTA - Kehidupan berdemokrasi dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo mengalami tantangan, salah satunya adalah pemasungan kebebasan yang merupakan bentuk penghancuran literasi dan ilmu pengetahuan yang berdampak buruk pada demokrasi yang berkualitas.

Hal itu bisa terlihat ketika terjadi penggagalan yang berlanjut tindakan teror atas rencana diskusi yang seharusnya digelar pada 29 Mei 2020 oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM).

"Ini merupakan bentuk persekusi atas kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia," kata Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Ismail Hasani dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Selasa (2/5/2020).

Menurutnya diskusi merupakan media pertukaran gagasan sekaligus sarana untuk memahami suatu kondisi lebih dalam dan dari beragam perspektif. Oleh karena itu, penyelenggaraan diskusi menjadi salah satu bentuk mimbar akademik yang dipilih untuk mengulik pandangan akademisi dalam melihat suatu peristiwa.

"Cara ini menjadi sarana literasi bagi akademiki secara khusus maupun masyarakat secara umum agar tidak menelan suatu narasi peristiwa secara mentah-mentah," ujarnya.

Ia menjelaskan tindakan persekusi atas kebebasan berpendapat ini bukanlah yang pertama terjadi pada masa pemerintahan Jokowi sejak 2014. Indeks HAM yang dirilis SETARA Institute (2019) menunjukkan skor untuk kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat selama pemerintahan Jokowi (2014-2019) hanya 1,9 dengan skala 1-7.

Sementara rata-rata skor untuk 11 variabel HAM yang dievaluasi adalah 3,2. Rendahnya skor untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat ini didukung oleh data pelanggaran yang serius seperti 204 peristiwa kriminalisasi individu, pemblokiran 32 media online, 961.456 pemblokiran situs internet dan akun media sosial, 7 pembubaran diskusi, pelarangan buku, dan penggunaan delik makar yang tidak akuntabel untuk menjerat sekurang-kurangnya 7 warga negara. 

Pemerintah, sebagaimana dikemukakan Menkopolhukam, Mahfud MD, tidak berada di balik teror tersebut akan tetapi membiarkan persekusi dan pelanggaran HAM terjadi atas warga negara adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Jika tidak mengambil langkah solutif dan pelembagaan penghapusan praktik pelanggaran kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, pemerintah bisa dianggap menikmati seluruh tindakan persekusi dan sikap koersif warga atas dalam berbagai peristiwa. 

"Benefit politik atas praktik pembungkaman resistensi terhadap pemerintah adalah pemerintah," katanya. 

Peneliti Hak Asasi Manusia dan Perdamaian SETARA Institute Selma Theofany mengecam keras ancaman, teror, dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum masyarakat tersebut. Praktik koersif tersebut bertentangan dengan demokrasi.

Ia menegaskan pentingnya pengelolaan deliberative democracy. Perspektif yang beragam dan pembahasan suatu perkara harus diberikan ruang aman untuk diekspresikan. Ketakutan tidak berdasar terkait makar terhadap pemerintahan yang berkuasa tidak sepatutnya menjadi pembenaran praktik pembungkaman ini. Setiap suara memiliki kesempatan untuk hidup di tengah masyarakat tanpa represi.

Menurutnya mimbar akademik merupakan ruang publik yang memiliki legitimasi sebagai wadah diskursus. Proses yang terjadi di mimbar akademik merupakan proses literasi yang harus dihidupkan. Kepentingan politis tidak patut menodai proses yang dilakukan atas nama ilmu pengetahuan. 

"Penegak hukum menindak tegas oknum yang melakukan intimidasi, ancaman, teror, serta provokasi yang mengakibatkan pembatalan diskusi ilmiah tersebut," ujarnya.

Negara tidak dapat melakukan pembiaran di tengah situasi yang menunjukkan adanya pelanggaran kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Sikap proaktif negara diperlukan untuk menunjukkan bahwa elemen negara atau organ lain yang disponsori negara tidak berada di balik peristiwa persekusi akademik di UGM.

Deputi Direktur Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Andi Muttaqien menuntut kepada Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa intimidasi kepada penyelenggara, dosen dan para pihak terkait dalam rencana pelaksanaan diskusi ilimiah tersebut.

"Kapolda harus melakukan penyelidikan atas peristiwa peretasan perangkat telepon milik penyelenggara, dosen dan para pihak terkait dalam rencana pelaksanaan diskusi ilmiah tersebut," katanya dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Selasa (2/6/2020)

Ia juga meminta agar pejabat Sivitas Akademika UGM untuk bisa menjamin ruang diskusi bagi siapapun dengan berprinsip pada kebebasan akademik. Termasuk juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi turut serta memastikan kebebasan mimbar akademik merupakan bagian dari strategi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ia menjelaskan pada 29 Mei 2020 seharusnya menjadi hari di mana curah gagasan oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) mengalir ke publik luas secara virtual via aplikasi Zoom dan berlangsung Jumat (29/5) pukul 14.00-16.00 WIB.

Acara Diskusi Publik Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan terpaksa dibatalkan karena CLS sebagai penyelenggara dan Narasumber dari Fakultas Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Prof. Dr. Nimatul Huda, S.H., M.Hum, mendapatkan ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak yang tidak dapat secara terbuka untuk memberikan argumen yang berbasis keilmuan.

Setidaknya ada panitia yang terdiri dari contact persont event, moderator, dan ketua CLS yang mendapatkan teror berupa ancaman dan peretasan. Selain itu nomor Ni`ma juga tak bisa dihubungi sejak tadi malam, diduga lantaran diretas. Ada pula informasi bahwa ia diteror. Panitia pun baru tadi pagi bisa berkomunikasi dengan Ni`ma.

Sebelumnya Diskusi CLS UGM ini ramai disorot setelah adanya tulisan dari pengajar Fakultas Teknik Sekolah Pascasarjana UGM, Bagas Pujilaksono Widyakanigara. Bagas menilai diskusi itu makar dan harus ditindak tegas. Pihak Dekan FH UGM Prof. Sigit Riyanto mengatakan sumber polemik ini adalah tidak adanya konfirmasi. Padahal, tak ada satu pun kata atau gagasan makar di balik diskusi itu. Menurut Sigit, tak ada yang salah dari menggelar diskusi tentang pemecatan presiden selama tidak melanggar hukum, ketertiban umum, dan etika kesusilaan apalagi dalam diskusi bersifat ilmiah dan akademik, tidak politis.

Dalam hal ini tuduhan makar terhadap diskusi akademiki ini perlu dipahami sesuai dengan Putusan No. 28/PUU-IV/2017, bahwa makar dan pemberontakan yang diatur Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP menurut Mahkamah Konstitusi harus dimaknai tidak sampai mengganggu kebebasan publik. Terlebih lagi mengingat, kebebasan berpendapat itu semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik, yang secara tegas diakui oleh negara yang tertuang secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988).

Tuduhan makar dan tindakan intimidasi di atas melukai penikmatan hak setiap orang untuk berpendapat, serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi demi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Terlebih, Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik melalui Undang-undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Di dalam Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik ini, Negara menjamin setiap orang untuk berpendapat tanpa intervensi dan berekspresi, termasuk menerima dan mengolah informasi dalam berbagai media.

Di saat yang bersamaan, penyelenggara dan narasumber adalah bagian dari entitas pendidikan tinggi yang pada marwahnya berperan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. akademiki dan peserta pendidikan tinggi sebagai civitas akademika dilindungi dan dijamin oleh Negara untuk penikmatan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi.

Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2020 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Setiap topik yang diangkat dalam mimbar akademik merupakan bagian dari strategi pengembangan ilmu pengetahuan.

Dalam konteks di atas, CLS yang merupakan sivitas akademika FH UGM dan Narasumber sebagai sivitas akademika FH UII dapat dengan bebas untuk membahas persoalan impeachment terhadap pemimpin negara dan pemerintahan karena menggunakan basis keilmuan Hukum Tata Negara. Aktivitas tersebut sejalan dengan definisi dari “otonomi keilmuan” yang tertuang dalam Pasal 9 Ayat (3) UU Dikti bahwa untuk menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik adalah otonomi sivitas akademika. (G-2)

 

BACA JUGA: