JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim soal perubahan mekanisme penyaluran Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu diawasi, terutama yang diserahkan langsung ke rekening sekolah.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengungkapkan di luar DKI Jakarta, sistem penggunaan dan laporan dana BOS masih dilakukan secara manual. "Perlu ada pembenahan karena penggunaan anggaran rawan dan (ada) potensi kebocorannya. Jika seperti itu, efektivitasnya perlu ditingkatkan," kata Heru kepada Gresnews.com, Kamis (13/2).

Dia pun meminta dan memberikan `tantangan; kepada sekolah-sekolah agar berani menampilkan laporan penggunaan dana BOS secara transparan dan akuntabel di website atau mading (majalah dinding) sekolah agar semua pihak; internal (pengawas sekolah, komite sekolah, dan guru) dan eksternal, bisa mengaksesnya. Begitu pula diharapkan peran optimal Pengawas Sekolah yang selama ini lebih terkesan administratif belaka.

Ia juga mengkritik kebijakan meningkatkan batas atas penggunaan dana BOS untuk menggaji guru honorer, dari 15% menjadi maksimal 50%. Kebijakan tersebut berpotensi diskriminatif. Sebab ada prasyarat, guru honorer tersebut harus memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Kenyataannya, sangat banyak guru honorer, baik di sekolah negeri apalagi di sekolah swasta, yang belum mempunyai NUPTK. Birokratisasi NUPTK yang ribet dan menyusahkan guru menjadi salah satu penyebab banyaknya guru honorer belum mendapatkan NUPTK. 

Menurutnya, kebijakan dana BOS menggaji guru honorer sampai di angka maksimal 50% ini juga dilematis, sebab sekolah-sekolah akan terhambat pembangunan infrastruktur, pelatihan dan pembinaan guru, atau alokasi lain untuk meningkatkan kualitas sekolah. Itu karena 50% anggaran sudah tersita bagi gaji guru honorer. "Semestinya upah guru honorer itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui APBD, atau bersama dengan pemerintah pusat, bukan melalui dana BOS," ungkapnya.

Dia menilai pemerintah pusat sebenarnya tidak menyelesaikan persoalan guru honorer sampai ke akarnya, hanya di permukaan saja. Kalau pemerintah pusat mau menyelesaikan persoalan guru honorer, semestinya para guru honorer yang sudah ikut seleksi menjadi Guru P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) secara nasional 2019, segera dibuatkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan, penempatan, dan diberi gaji resmi oleh negara. Tapi nyatanya, para guru honorer yang dinyatakan lolos seleksi P3K itu sampai awal 2020 ini tak kunjung diangkat, ditempatkan, dan digaji layaknya ASN. Padahal, menurut UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), para Guru P3K adalah juga berstatus ASN. Pemerintah sangat diskriminatif mengatur dan mengelola Guru P3K dibandingkan dengan Guru ASN (PNS) umumnya.

FSGI juga mendapatkan keluhan dari ratusan Guru P3K di Kabupaten Garut, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bima, dan Kota Bima (NTB) perihal tersebut di atas. "Jadi persoalan alokasi dana BOS 50% untuk guru honorer tak menyelesaikan persoalan substansial para guru honorer. Hanya kebijakan populis, yang itu pun berpotensi diskriminatif (karena syarat NUPTK tadi)," ujarnya. 

(G-2)

BACA JUGA: