JAKARTA – Ada hal yang tak kalah penting selain memproses hukum sindikat perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur, yaitu memberikan perlindungan bagi anak korban itu sendiri. Proses perlindungan anak itu juga termasuk upaya melakukan penanganan dan rehabilitasi anak korban sehingga bisa kembali ke masyarakat.

Polda Metro Jaya sebelumnya telah membekuk enam tersangka sindikat perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi. Mereka diketahui memaksa dan mempekerjakan 10 anak perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Cafe Khayangan, Jalan Rawa Bebek, RT 02/RW 13, Penjaringan, Jakarta Utara. Enam tersangka yang ditangkap masing-masing berperan sebagai pemilik kafe dan mucikari.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI) Antonius PS Wibowo mendukung aparat penegak hukum memproses para pelaku perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur. Dukungan itu termasuk kesiapan LPSK RI memberikann perlindungan kepada anak korban sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Menurut Antonius, inti dari kedua pasal tersebut adalah anak korban kekerasan seksual dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhak atas perlindungan dari LPSK serta dapat mengakses layanan yang disediakan negara melalui LPSK, mulai bantuan medis, rehabilitasi psikologis maupun rehabilitasi psikososial.

"LPSK berharap kasus (eksploitasi anak di bawah umur secara ekonomi dan seksual di Penjaringan, Jakarta Utara) tersebut dapat diproses berdasarkan UU Perlindungan Anak dan sekaligus UU Pemberantasan Tindak Pidana TPPO," kata Antonius dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Sabtu (25/1).

Antonius menjelaskan, jika kasus ini akan diproses berdasarkan UU Tindak Pidana TPPO, pihak kepolisian dapat langsung memintakan perlindungan bagi anak korban kepada LPSK. Namun, seandainya diproses menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, LPSK berharap elemen masyarakat yang peduli dengan perlindungan anak, misalnya Lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun Lembaga bantuan hukum (LBH) bersedia menjadi pendamping dan memintakan perlindungan ke LPSK.

"Berdasarkan kewenangan yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK RI juga bisa melakukan tindakan proaktif untuk memberikan perlindungan bagi anak korban," tegas Antonius.

Tidak itu saja. Antonius melanjutkan, kementerian/lembaga atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki tugas, pokok dan fungsi perlindungan anak, juga dapat mengambil peran sebagai pendamping dan memohonkan perlindungan bagi anak korban ke LPSK.

"Langkah selanjutnya, LPSK akan menggandeng K/L dan SKPD/pemda terkait untuk bersama-sama memberikan perlindungan dan layanan medis, psikologis, psikososial, dan hak lainnya bagi anak korban pelacuran/TPPO itu," ujarnya.

Sebab, lanjut dia, menurut kedua undang-undang itu, baik UU Perlindungan Anak maupun UU Pemberantasan Tindak Pidana TPPO, pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab pada masalah perlindungan anak dan penanganan korban. (G-2)

BACA JUGA: