JAKARTA - Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Putih Sari meminta Presiden Joko Widodo dan jajaran menteri terkait bidang kesehatan dan ketenagakerjaan agar lebih serius dalam mengevaluasi BPJS baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan. Evaluasi ini penting dan minimal dilakukan dalam waktu dua tahun sekali.

Putih Sari, yang menjadi anggota DPR RI terpilih selama tiga periode itu, menjelaskan sebenarnya permasalahan jaminan kesehatan seperti BPJS Ketenagakerjaan maupun Kesehatan seperti ini sudah menjadi pembahasan intensif di Komisi IX sejak lama. Namun ia mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang sudah menandatangani dan meningkatkan manfaat dari BPJS Ketenagakerjaan.

"Kalau peningkatan manfaat ini dilakukan sejak lama, manfaatnya bisa lebih luas lagi. Mungkin banyak yang dipertimbangkan oleh presiden dan para menterinya, namun kami terus berharap permasalahan jaminan sosial lebih serius diperhatikan karena menyangkut kesejahteraan bangsa Indonesia," kata Putih Sari dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Senin (6/1).

Beberapa waktu lalu, telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo kebijakan terkait penambahan manfaat dari perlindungan BPJS Ketenagakerjaan atau BPJAMSOSTEK yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

Putih Sari menambahkan tentu saja peningkatan manfaat BPJS Ketenagakerjaan ini akan membuat kesejahteraan bangsa Indonesia membaik. Terlebih lagi hampir semua sektor tercakupi, dari perluasan manfaat JKK yang melingkupi perawatan sampai sembuh, hingga pemberian beasiswa di setiap jenjang pendidikan.

"Perluasan peningkatan ini juga akan meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Dari perawatan sampai sembuh, hingga beasiswa yang diberikan di setiap jenjang pendidikan atau sampai anak peserta BPJS Ketenagakerjaan berumur 23 tahun. Ada juga beberapa manfaat tambahan lainnya," tambahnya.

Selama ini berbagai masalah muncul dan pada akhirnya membuat defisit BPJS Kesehatan. Pada 2018, misalnya, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp19,4 triliun. Sementara itu BPJS Ketenagakerjaan juga belum optimal pengelolaannya. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2018 (IHPS) BPK melansir pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan, antara lain enam properti investasi berupa tanah belum dimanfaatkan, sehingga belum memberikan pendapatan atau hasil investasi.

Selain itu, tingkat pengembalian investasi atas aset dana jaminan sosial dan aset BPJS Ketenagakerjaan masih di bawah tolak ukur kinerja portofolio investasi yang ditentukan dalam Peraturan Direksi tentang Pedoman Pengelolaan Investasi.

Di samping permasalahan di atas, BPK juga menemukan pelaksanaan kebijakan BPJS Ketenagakerjaan mengakibatkan peningkatan biaya. Seperti analisis terkait penundaan kebijakan cut loss atas saham-saham yang mengalami penurunan nilai perolehan lebih dari batas toleransi minimum belum dilakukan secara periodik.

Hasil permasalahan tersebut, lanjut BPK, mengakibatkan hasil investasi belum optimal. Tak cuma itu, terdapat juga kekurangan penerimaan hasil investasi program Jaminan Hari Tua (JHT) yang berasal dari denda keterlambatan pembayaran sewa ruang dan lahan parkir pada Gedung Menara Jamsostek. (G-2)

BACA JUGA: