JAKARTA - Tanggal 20 November merupakan Hari Anak yang telah dituangkan dalam Konvensi Hak Anak. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Sayangnya, 30 tahun pascadeklarasi hak-hak asasi anak tersebut, penghormatan, pemenuhan, dan promosi terhadap hak anak di Indonesia masih minim, terutama hak anak-anak yang berkonflik dengan hukum. 

Menurut UNICEF, dalam 30 tahun peringatan deklarasi hak-hak anak, anak-anak di seluruh dunia masih terus menghadapi ancaman, baik yang sudah lama ada maupun ancaman-ancaman baru yang terus menerus hadir. "Sudah banyak progress yang terjadi, namun anak-anak yang paling miskin masih terus menghadapi permasalahan yang sama dan tidak merasakan progress tersebut, harus ada evaluasi," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju kepada Gresnews.com, Selasa (20/11).

Ia menjelaskan dalam Pasal 40 Konvensi Hak Anak dinyatakan bahwa negara harus mengakui hak setiap anak yang diduga, dituduh, atau diputus telah melakukan tindak pidana akan diperlakukan dengan konsisten. Tidak hanya itu, Pasal 40 juga menjamin hak-hak anak dalam peradilan pidana. Hak inilah yang kemudian oleh Pemerintah Indonesia dituangkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Tahun 2019 juga menandai lima tahun berlakunya UU SPPA. Artinya, jika merujuk pada undang-undang ini, waktu transisi dan persiapan sudah habis dan ketentuan-ketentuan dalam UU SPPA harus sudah berlaku secara efektif. Sayangnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan ICJR, pemenuhan hak-hak anak, khususnya anak yang berkonflik dengan hukum, masih belum terimplementasi dengan baik.

ICJR menemukan, UU SPPA dalam implementasinya masih menghadapi permasalahan baik masalah kesiapan regulasi teknis pelaksana, SDM, sarana dan prasarana, juga mengalami permasalahan dalam tataran implementasi secara umum. Dampaknya, hak-hak anak yang dijamin di dalam Konvensi Hak Anak, diadopsi dalam UU Perlindungan Anak, serta UU SPPA, menjadi tidak terpenuhi dan bahkan dalam derajat tertentu dilanggar karena adanya kesewenang-wenangan yang terjadi.

Sebagai contoh, dalam hal pendampingan hukum, dalam penelitian yang dilakukan ICJR terhadap putusan anak di DKI Jakarta tahun 2016-2018, ditemukan bahwa pendampingan hukum terhadap anak masih belum diberikan secara merata di seluruh tingkatan. Padahal, UU SPPA mewajibkan pendampingan hukum terhadap anak di setiap tingkatan.

Dari 304 kasus, pendampingan oleh kuasa hukum di persidangan ditemukan sebanyak 94,1%, sedangkan pada tingkat penyidikan hanya 3,9% dan 5,3% di tingkat penuntutan. Padahal, pendampingan terhadap anak pada proses awal peradilan pidana sangatlah krusial untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak yang lain, seperti hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan serta hak untuk diadili dengan kompeten, imparsial, dan beralasan nantinya. 

Tidak hanya itu, di Indonesia kecenderungan terhadap penahanan dan pemenjaraan anak masih sangat tinggi. Padahal, Konvensi Hak Anak dalam Pasal 37 (b) menegaskan bahwa penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan terhadap anak harus dilakukan sebagai upaya terakhir dan sebisa mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.

Namun penelitian ICJR menunjukkan bahwa penahanan dilakukan pada 93,75% anak-anaK. Tidak hanya itu, penahanan ini dalam beberapa kasus juga ditemukan melebihi waktu yang diperbolehkan oleh UU SPPA. Sayangnya, masalah penahanan sewenang-wenang ini nampaknya belum akan berakhir karena UU SPPA masih bertumpu pada KUHAP yang secara prinsip masih minim mekanisme pengawasan dan kontrol dari pengadilan untuk kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum.

Angka putusan penjara terhadap anak pun masih mencapai 86%. Padahal, UU SPPA telah menyediakan berbagai macam bentuk alternatif pidana non-pemenjaraan seperti peringatan dan pengembalian pada orang tua. Pemenjaraan bukan hanya populer dijatuhkan oleh hakim, jaksa pun memiliki kecenderungan untuk menuntut anak dengan pidana penjara, terbukti dengan ditemukannya 80% tuntutan jaksa berupa hukuman penjara pada penelitian ICJR. (G-2)

 

BACA JUGA: