JAKARTA - Tindakan pelarangan dan penyapuan buku-buku ‘kiri’/Marxisme tanpa melalui proses peradilan yang terjadi di Probolinggo dan Makassar belakangan ini, bertentangan dengan prinsip negara hukum. Hal itu juga sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang yang bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Elsam) Miftah Fadhli mengatakan tindakan pelarangan dan penyapuan buku kiri tersebut telah kehilangan legitimasi dan dasar hukum. “Ini adalah extra judicial execution,” kata Miftah kepada Gresnews.com, Selasa (6/8).

TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme memang masih ada dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun, terdapat pengecualian dalam penerapannya yang ditujukan untuk kepentingan akademik, pengajaran, dan pengetahuan. “Larangan baru berlaku jika dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara,” kata Miftah.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 pada pengujian UU 4/PNPS/1963 tentang Pelarangan Barang-Barang Cetakan, berpendapat bahwa pelarangan dan penyitaan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tanpa proses peradilan merupakan bentuk pelanggaran terhadap negara hukum (the rule of law). MK pun secara otomatis membubarkan tim pelarangan buku (clearing house) yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung. (G-1) 

BACA JUGA: