JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pasokan minyak ke PT Pertamina (Persero) oleh Glencore International disinyalir  terdapat kejanggalan. Pasalnya komposisi minyak mentah yang dikirim jauh berbeda dari spesifikasi  yang tertuang dalam kontrak dan kemauan Pertamina. Akibat ketidaksesuaian  kualitas impor crude oplosan itu diduga telah mengakibatkan kerugian terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.

Senior Vice President ISC Pertamina, Daniel Purba, mengakui ada kegagalan impor minyak mentah Sarir/ Mesla Blend. Ia menjelaskan minyak mentah tersebut dibeli Pertamina dengan proses tender yang biasa dilakukan setiap bulan. Saat itu pihak Glencore menawarkan minyak mentah dalam tender yang dilakukan pada akhir bulan Juni 2016 untuk pengiriman bulan September 2016. Namun Daniel mengakui dalam pelaksanaan pengapalan, komposisi blend yang dikapalkan jauh berbeda dari komposisi blend ketika kualitas minyak mentah tersebut dievaluasi sebelum pelaksanaan tender.

"Jadi minyak yang dikapalkan jauh dari keinginan Pertamina, karena komposisi crude saat dievaluasi, yakni sekitar 70 persen Sarir dan 30 persen Mesla. Tetapi kenyataannya, yang  dikapalkan di pelabuhan muat  justru sebaliknya,  30 persen Sarir dan 70 persen Mesla," kata purba kepada gresnews.com, Rabu (28/9).

Purba mengatakan, dari penjelasan resmi yang dikeluarkan Perusahaan Minyak Nasional Libya itu, perubahan komposisi tersebut disebabkan adanya gangguan produksi minyak mentah karena gangguan faktor keamanan  di area produksi minyak mentah. "Adanya perubahan mutu itu, Pertamina pun tidak bersedia menerimanya," ujarnya.

Namun,  saat ditanyakan bagaimana minyak bodong dari Glencore bisa masuk, dia enggan menjawab. "Nanti tanya saja ke tim komunikasi Pertamina," ujarnya.

Sementara di tempat terpisah, Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, mengakui ada kesalahan mutu dalam pengiriman minyak mentah dari Glencore kepada Pertamina. Transaksi pembelian itu pun, menurutnya, telah dibatalkan.

"Kargo sudah kami tolak dan tidak dibongkar. Saat ini sedang proses klaim pada seller," kata Wianda kepada gresnews.com, melalui pesan singkat, Rabu (28/9).


KETERLAMBATAN ISC DIPERTANYAKAN  - Menanggapi kasus ini Direktur Eksekutif CERI (Center of Energy and Resources Indonesia) Yusri Usman mengatakan, suplai minyak bodong dari Glencore kepada Pertamina telah meresahkan. Betapa tidak, komposisi minyak mentah yang dipesan jauh melenceng dari spesifikasi yang tertuang dalam kontrak.

Pertamina sebelumnya memesan minyak mentah sebanyak empat  kargo untuk kebutuhan kilang Pertamina.  Yakni, minyak mentah "aseng" sebanyak 600 ribu barel untuk kilang Balongan, dan minyak jenis Bonny Light sebanyak 600 ribu barel untuk kilang Balikpapan dan dua kargo minyak lagi berasal dari Libya," kata Yusri kepada gresnews.com,  Rabu (28/9).

Namun faktanya, minyak yang didatangkan merupakan minyak oplosan Sarir dan Mesla sebanyak 1,2 juta barel dengan komposisi terbalik. Dimana seharusnya dengan perbandingan 70 persen Sarir dan 30 Mesla, tapi yang datang dengan perbandingan 30 Sarir dan 70 Mesla.

Diduga dengan komposisi perbandingan yang terbalik antara minyak Sarir dan Mesla itu ada potensi selisih harga hingga  USD10 per barel.  "Sehingga kalau minyak oplosan itu diterima oleh Pertamina, ada potensi kerugian sebesar USD120 juta," paparnya.

Menjadi pertanyaan, kenapa ISC Pertamina baru menolak, saat kedua kapal tanker MT Takiki dan MT Stavenger Blossom yang membawa minyak tersebut merapat di Pelabhan Dumai dan Balikpapan pada tanggal 19 September 2016.

Sebab jika merujuk notifikasi Bill of Lading  yang lebih awal diterima oleh ISC, seharusnya sejak awal, sebelum kapal bergerak dari terminal minyak di Libya sudah bisa diperintahkan oleh ISC untuk dibatalkan.  Sehingga tidak mengakibatkan kerugian bagi ISC Pertamina, sebab mereka bisa dengan cepat mencari minyak mentah pengganti di pasar bebas. Kendati mungkin akan lebih mahal sekitar USD1 per barel.

Langkah ISC yang terlambat menolak pasokan minyak yang tak sesuai mutu itu dikritik sejumlah pihak. Apalagi sebelumnya  disebutkan proses pemilihan minyak oplosan Sarir dan Mesla ini didasarkan kajian Direktorat Pengolahan menggunakan perangkat lunak linier program GRTMPS  yang diduga mengandung keanehan. Juga bertentangan dengan prinsip  baku yang biasa dilakukan ISC dengan cara Crude Oil Management System/COMS, yang melarang impor minyak mentah yang dicampur di kapal karena akan mengandung risiko aspek kualitas dan kuantitasnya.

Sebab pencampuran minyak mentah dari berbagai sumber merupakan tugas dan tanggung jawab kilang Pertamina,  yang dikenal dengan produk Cocktail Crude. Selain itu minyak Sarir ini  juga sudah sangat lama tidak digunakan kilang Pertamina. Sesuai rekomendasi kilang dan temuan audit BPK RI bahwa mengolah minyak Sarir di kilang telah menghasilkan residu yang amat besar.

"Sehingga untuk mengolah residu menjadi Low Sulfur Waxy Residu/LSWR dibutuhkan ADO (Automotive Diesel Oil) yang lebih banyak dan harganya sangat tinggi. Dengan kata lain, minyak sarir dinilai tidak ekonomis," ujarnya.

TIDAK EFISIEN TAPI DIPAKSAKAN - Namun Dirut Pertamina saat itu, Arie Soemarno pada 18 Oktober 2006 justru mengeluarkan surat Nomor: 124/ COOOOO/2006- SO yang tidak sejalan dengan kondisi tersebut. Dalam surat tersebut, Pertamina malah menyatakan tetap berminat membeli minyak mentah Sarir dari NOC Libya melalui Pertamina EP Libya (PEPL)  sebanyak 900.000 barel.

Selanjutnya, tanpa alasan yang jelas untuk memenuhi kontrak term 2007 dengan Pertamina, pengadaan minyak mentah Sarir berikutnya dilakukan melalui Petral yang diduga pelaksanaan tendernya "ecek-ecek", yang semuanya diborong oleh perusahaan Concord Energy Pte Ltd.

Menurut temuan audit BPK,  akibat pembelian tidak langsung kepada NOC Libya itu telah mengurangi pendapatan Pertamina pada tahun 2007 senilai USD1.458.862, dengan kata lain telah terjadi kerugian negara.

"Sayangnya, proses pembelian minyak Sarir terus berlanjut sampai tahun 2008. Bahkan semua tendernya diborong oleh Concord Energy secara terus menerus dan termasuk juga memborong semua pembelian minyak mentah Champion dari Brunei Shell Petroleum," beber  Yusri.

Berdasarkan nota rahasia Kepala Divisi Perencanaan dan ekonomi kilang kepada Direktur Pengolahan tertanggal 19 Oktober 2006, telah terjadi perbedaan kesimpulan. Namun saat  Tim  BPK RI yang meminta bukti surat tersebut  pada 24 Desember 2008, dijawab semua data tersebut tidak dapat diberikan pihak Pertamina karena alasan dokumentasi yang ada dalam komputer terkena virus.

Dari semua dokumen yang ada sejak 2006 sampai 2014, tidak pernah terekam penggunaan minyak Mesla yang dicampur dengan minyak Sarir untuk kilang Pertamina, termasuk untuk kontrak suplai September 2016. “Yang ada hanya minyak  Sarir, Sharara, Es Sider, Brega, Amna, Sirtica dan Melitah dari blok migas Libya. Dugaannya, bisa jadi minyak Mesla ini diusulkan secara mendadak pada pertengahan tahun 2016," imbuhnya.

Masih kata Yusri, melihat kejadian minyak oplos Sarir dengan Mesla oleh Glencore ini, mengingatkan kita pada kasus minyak Zatapi yang terjadi tahun 2008, yang kelakarnya  minyak itu datang dari langit, karena tidak bisa dibuktikan percampuran minyak dari sumber lapangan mana.

Melihat kasus ini, dengan merunut ke belakang sejak 2004 sampai sekarang dimana pejabat-pejabatnya adalah orang-orang yang pernah duduk di Petral dan ISC. Maka kasus minyak bodong Glencore sepertinya hal yang biasa terjadi bagi pejabat Pertamina saat ini.

"Karena sepertinya hal ini mengulang kasus yang lama dengan orangnya yang itu-itu juga . Hanya sedikit berganti kulit, termetamorfosa saja," ungkapnya.

Yusri juga menyesalkan, sikap penegak hukum yang hanya diam, menyaksikan semua fakta kejadian ini. Yusri pun meminta penegak hukum menyelidiki dugaan keterlibatan Arie Soemarni.  "Karena soal impor minyak Libya  Sarir Crude sudah dimulai sejak Arie Soemarno menjabat Dirut Pertamina. Padahal diketahui telah ada rekomendasi dari kilang bahwa penggunaan minyak Sarir kurang ekonomis. Tapi hal ini justru seperti dipaksakan, Inilah yang harus dipertanyakan," ujarnya.

Terkait masalah ini, menurut Yusri, BPK sudah pernah melaporkan soal permainan dan potensi kerugiannya ke KPK. Kasus ini harusnya bisa menjadi pintu masuk KPK untuk mengusutnya

"Seingat saya temuan soal minyak sarir/PEP Libya sudah pernah diserahkan teman-teman auditor ke KPK. Namun sampai saat ini belum ada follow up-nya." tuturnya.

BACA JUGA: