JAKARTA, GRESNEWS.COM - Buntut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan aturan peninjauan kembali dalam KUHAP, sejumlah undang-undang dianggap bertentangan dengan putusan MK tersebut. 

Ketidakselarasan antar UU ini dinilai memberikan ketidakpastian hukum, lantaran aturan yang membatalkan PK satu kali hanya terdapat dalam KUHAP melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam UU lainnya aturan PK hanya satu kali masih berlaku.

Persoalan inilah yang mendasari advokat Muhamad Zainal Arifin mengajukan gugatan terhadap Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal tersebut berisi ketentuan permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali. Lalu ia juga menggugat Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal ini mengatur putusan PK tidak dapat dilakukan PK kembali.

Kuasa pemohon, Riko Wibawa Sitanggang, menilai dua UU di atas tidak sesuai dengan konstitusi. Sebab Pasal 268 ayat (3) UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat satu kali sudah diujimaterikan ke MK dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sesuai putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013.

"Putusan MK menjadi dasar bahwa pengaturan antar UU harus konsisten dan koheren satu dengan lainnya. Sehingga tidak boleh terdapat kontradiksi antar UU agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang adil," ujar Riko.

Riko menuturkan akibat pertentangan pasal antar UU itu, permohonan PK perkara pidana yang diajukan lebih dari satu kali tidak dapat diterima. Sebab penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas permohonan PK tidak dikirimkan ke MA. Alasannya karena terdapat Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014 yang mengatur PK hanya sekali. SEMA tersebut mengacu pada UU MA dan UU KK.

Ia menambahkan akibat aturan yang membatasi PK, upaya hukum PK lebih dari satu kali yang diajukan klien pemohon berpotensi tidak diterima pengadilan. Padahal dalam permohonan PK terdapat novum yang menurutnya dapat mempengaruhi putusan sebelumnya. Sehingga pembatasan PK ini dinilai membuat pemohon selaku advokat berpotensi dirugikan karena tidak dapat melakukan upaya hukum maksimal dalam mendampingi klien.

Menanggapi permohonan pendahuluan pemohon, Hakim panel Patrialis Akbar mengatakan dalam permohonannya pemohon berprofesi sebagai advokat yang kerugian konstitusionalnya mengacu pada kerugian kliennya. "Jadi bukan kerugian anda sendiri. Betul itu?" tanya Patrialis pada kesempatan yang sama.

Ia pun menyarankan agar pemohon memperjelas kerugian konstitusionalnya. Sebab dalam permohonannya kerugian pemohon dilandaskan pada kerugian yang dialami klien. Patrialis mempertanyakan seharusnya klien pemohon yang mengajukan gugatan ini sebagai prinsipal.

Menjawab pertanyaan Patrialis, Zainal mengatakan sebagai advokat ia telah disumpah untuk menegakkan hukum. Sehingga bila ada kliennya tidak bisa mengajukan upaya PK untuk kedua kali karena ada ketentuan yang dibatasi dalam UU MA dan UU KK, ia menilai hal tersebut juga menjadi kerugiannya. Sebab akibat pembatasan PK tersebut, ia menganggap tidak bisa menegakkan kebenaran dan keadilan.

"Saya sudah berdiskusi dengan klien saya agar dia yang mengajukan uji materi ke MK. Tapi ini masalah strategi. Klien saya sudah ajukan PK ditolak. Lalu sudah ada beberapa novum mau ajukan PK lagi. Kalau klien saya yang ajukan sebagai pemohon dalam perkara ini, untuk upaya PK yang kedua kali takutnya MA dendam," ujar Zainal.

Patrialis pun menyatakan dalam dunia peradilan tidak boleh ada dendam. Ia juga mengingatkan kembali soal aturan di MK bahwa yang mengajukan uji materi harus memiliki hak konstitusional. Sehingga pemohon harus memiliki kerugian langsung. Kalau yang mengajukan memiliki kerugian langsung MK tidak akan kesulitan mencari legal standing pemohon.

Patrialis menjelaskan dengan adanya putusan MK soal PK tidak ada pembatasan dalam tindak pidana karena berhubungan dengan perspektif keadilan. Kalau novum klien pemohon memang betul ada, maka tidak ada alasan untuk menolak PK. Sehingga ia meminta pemohon memikirkan kembali soal kedudukan pemohon.

Untuk diketahui terkait polemik PK hanya satu kali sebelumnya pernah diujimaterikan ke MK, MA, dan pengadilan negeri Jakarta Pusat. Uji materi di MK membatalkan PK hanya sekali sudah diputuskan pada 6 Maret 2014. Lalu Koalisi Masyarakat Anti Hukuman Mati juga mengajukan uji materi SEMA 7/2014 soal pembatasan PK ke MA dan masih dalam proses.
Begitu juga dengan tiga advokat dari KAI, Peradi, dan Peradin yang menggugat MA soal SEMA 7/2014 tentang pembatasan PK. Mereka menganggap SEMA tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan putusan MK yang menghapus pasal PK hanya sekali dalam KUHAP.

BACA JUGA: