JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konflik agraria antara Masyarakat Polongbangkeng dengan PTPN XIV Perkebunan Tebu Pabrik Gula Takalar, berujung pada serangkaian intimidasi dan kekerasan terhadap petani. Bahkan perusakan kebun dan sawah siap panen terus terjadi sepanjang tahun 2014-2015. Padahal pada tahun 2013 telah ada upaya penyelesaian konflik melalui skema kerjasama oleh kedua belah pihak.
 
"Intimidasi dan perusakan lahan petani siap panen oleh PTPN XIV Takalar membuat petani semakin menderita," ujar Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kurniawan Sabar, kepada Gresnews.com, Sabtu (18/4).
 
Konflik agraria ini sebenarnya bermula dari perampasan tanah pada tahun 1978-1981 dan masih berlanjut hingga saat ini. Pihak PTPN XIV Takalar memiliki luas area mencapai 6.782,15 hektare yang mencakup 11 Desa. Namun mereka hanya memiliki kemampuan mengolah sekitar 4.000 hektare saja.

Oleh karena itu, warga telah meminta lahan yang terlantar agar dapat dimanfaatkan kembali oleh warga sejak tahun 2007. Tuntutan ini telah ditanggapi oleh Pemerintah Daerah sejak tahun 2012, sehingga warga mendorong kerjasama dalam pemanfaatan lahan di Kecamatan Polongbangkeng.

Namun, terhitung sejak 6-11 April 2015, PT PN XIV Takalar secara sepihak telah melakukan perusakan atas sawah dan kebun warga Polongbangkeng. Tindakan ini dilakukan pada sore hari menjelang magrib hingga pukul 2.00 dini hari menggunakan buldozer dan dikawal oleh oknum aparat Brimob Polda Sulselbar.

Warga yang melihat perusakan sawah dan kebun siap panen tersebut tentu merasa sangat sedih namun tak mampu berbuat banyak. "Ada 4 buldozer yang melakukan penghancuran tanaman, di beberapa titik jalan terdapat beberapa mobil patroli Brimob dan mobil operasional PT PN XIV yang melakukan penjagaan dan pengawalan proses perusakan," kata Kurniawan.

Kondisi ini semakin membuat warga terintimidasi dan ketakutan. Hingga tanggal 9 April, PT PN XIV telah merusak tanaman sawah dan kebun sekitar 17 hektare yang mencakup desa Lassang Barat seluas 10 hektare, Timbuseng seluas 5 hektare, dan Parang Luara seluas 2 hektare. Tindakan pengrusakan yang terus berlanjut hingga tanggal 12 April 2015 ini diprediksi telah merusak sawah milik warga sebanyak 50 ha.

"Petani merasa semakin kesulitan dan menderita mengingat kacang panjang, wijen, jagung, dan padi yang mereka kelola susah payah hingga mendekati masa panen dirusak dengan cara yang keji," ujarnya.

Kini, para warga belum tahu apa yang harus dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Konflik yang terjadi di Kec. Polongbangkeng, Kab. Takalar ini merupakan gambaran ketidakadilan pengelolaan agraria dan sumber daya alam di Indonesia.

"Monopoli, perampasan tanah, kekerasan, intimidasi, dan perusakan lahan menjadi kondisi buruk yang terus dialami petani di Polongbangkeng, Takalar dan petani Indonesia pada umumnya," ujar Kurniawan.

Menanggapi hal ini, telah diadakan pertemuan langsung antara Walhi bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Lembaga-lembaga ini telah menyampaikan kasus tersebut secara langsung dalam pertemuan dengan Kapolri Badroddin Haiti.

Laporan ini kabarnya sempat membuat Badrodin Haiti. Karena berdasarkan laporan yang diterima Mabes Polri, kasus yang terjadi di Takalar telah dinyatakan selesai dengan baik sejak tahun 2013.

"Namun, jika terjadi perusakan lahan warga di Takalar yang dikawal langsung oleh aparat Brimob Polda Sulselbar, maka akan segera dilakukan koordinasi dan pengecekan di lapangan dengan Polda Sulselbar," kata Badrodin ketika itu.

Mabes Polri juga berjanji akan langsung memonitoring kasus ini dan mengupayakan penanganan konflik di Takalar dengan mengutamakan negosiasi masyarakat.

BACA JUGA: