JAKARTA, GRESNEWS.COM – Vonis hukuman mati dinilai tidak efektif dilakukan lantaran mereka yang dieksekusi  memiliki kesalahan yang dianggap tidak sebanding. Padahal kesalahan penghukuman dalam prakteknya tidak mungkin lagi dapat dikoreksi.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono mengatakan Indonesia sebagai negara yang menerapkan hukuman mati seharusnya menjatuhkan vonis tersebut pada mereka yang perannya paling besar dalam suatu tindak pidana. Namun dalam kenyataannya, sejumlah vonis hukuman mati malah diberikan pada mereka yang perannya sangat minim dalam melakukan tindak pidana.

"Dari 42 putusan yang diteliti ICJR (2002-2013) terdapat sembilan putusan yang menyatakan tersangka lain masih dalam daftar pencarian orang baik sebagai pelaku utama atau masih belum diketahui perannya," ujar Supriyadi dalam diskusi Kerentanan Sistem Peradilan Pidana bagi Terpidana Mati di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu (12/4).

Contoh putusan yang memposisikan terpidana mati bukan sebagai pelaku utama terjadi pada putusan yang dijatuhkan pada Scott Anthony Rush. Ia diancam hukuman mati dengan perannya sebagai kurir terkait kasus narkoba. Setelah mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan putusan nomor 28/PK/Pid.Sus/2011, Mahkamah Agung (MA) mempertimbangkan perannya sebagai kurir dan akhirnya menjatuhkan hukuman seumur hidup.

Selanjutnya, kasus lainnya terjadi pada Ranni Andriani atau Melisa Aprilia yang juga berperan sebagai kurir kasus narkoba. Meskipun Melisa pernah menjadi justice collaborator dengan mengungkapkan adanya jaringan pengedar narkoba, vonis hukuman mati tetap diberikan padanya hingga proses hukumnya mencapai tingkat kasasi. Eksekusinya pun dilakukan pada gelombang pertama hukuman mati periode pemerintahan Jokowi Januari 2015.

Terkait hal ini, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menuturkan dengan sistem peradilan yang ‘rapuh’ di Indonesia, pelaksanaan hukuman mati berpeluang besar mengalami kesalahan dalam penghukumannya. Akibatnya putusan peradilan malah gagal memberikan keadilan.

"Padahal kesalahan menghukum mati bersifat irreversible (tidak bisa dikoreksi)," ujar Wahyudi pada kesempatan yang sama.

Sebelumnya, pemerintahan Jokowi telah mengeksekusi mati enam terpidana mati kasus narkoba pada Januari 2015. Lalu gelombang kedua eksekusi dijatuhkan pada 10 terpidana mati dari total 158 terpidana mati yang belum dieksekusi.

BACA JUGA: