JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kita tentu masih ingat pembebasan bersyarat (PB) yang diberikan kepada mantan terpidana kasus suap Bupati Buol Amran Batalipu, Hartati Moerdaya. Ia dibebaskan sebelum habis menjalani masa tahanan selama 2 tahun 8 bulan sesuai keputusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

PB yang diberikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM) itu menuai protes keras tidak hanya dari kalangan aktivis. Langkah tersebut dianggap salah kaprah karena tidak meminta pendapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pihak penyelidik dan penyidik dalam perkara ini.

Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua pun mengungkap cara terpidana korupsi agar mendapat pengurangan masa tahanan baik itu remisi maupun PB. Salah satu yang menjadi celah, menurut Abdullah, adalah syarat pemberian pengurangan tersebut yaitu berkelakuan baik selama di tahanan dan juga berprestasi.

"Mereka bisa menyuap polisi, jaksa, sipir tahanan, bahkan Karutan (Kepala Rumah Tahana). Nah setelah itu kan ada penilaian napi, dan dia masuk kategori berkelakuan baik, dan berprestasi makanya diberikan remisi atau PB," kata Abdullah usai menjadi pembicara dalam diskusi di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (15/3).

Menurut Abdullah, para koruptor telah menghitung secara sistematis anggaran yang dikeluarkannya agar mendapatkan pengurangan tahanan. Oleh sebab itu, mereka biasanya melakukan korupsi dalam jumlah cukup besar. Hal itu dilakukan jika ia tertangkap oleh KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian, mereka sudah mempunyai anggaran untuk mengantisipasinya.

"Kalau mereka korupsi Rp25 miliar. Rp20 miliar disembunyikan dil uar negeri. Nah sisanya cuma pegang Rp5 miliar, lalu buat bayar-bayar tuh, Rp1 miliar bayar pengacara hebat, Rp1 miliar bayar polisi, Rp1 miliar bayar Jaksa, dan Rp2 miliar lagi buat bayar petugas-petugas rutan, pas mereka keluar masih punya Rp20 miliar," ujarnya.

Abdullah pun mencontohkan salah satu narapidana yang ikut menyumbang dana untuk pembangunan jalan. Menurut Abdullah, hal tersebut tentu saja sarat dengan konflik kepentingan, sebab biaya yang dikeluarkan napi itu disinyalir ada kompensasi mengenai pengurangan masa hukuman.

Namun saat ditanya siapa nama napi tersebut dan dalam kasus apa ia terlibat, Abdullah mengaku tidak mengingatnya. "Saya lupa itu siapa nama napinya," ucap Abdullah.

Sedangkan untuk terpidana korupsi, Abdullah tidak segan menyebut nama terpidana kasus suap kepada Jaksa Urip Tri Gunawan, Artalyta Suryani. Wanita yang akrab disapa Ayin ini kepergok sedang bersolek dan mendapat fasilitas layaknya salon-salon terkenal di Ibukota.

Selain itu, Abdullah juga mengetahui cara picik koruptor tersebut dari pengalamannya sendiri. "Saya kan pernah 2 tahun dipenjara gara-gara profesi saya sebagai wartawan. Di sana ada bilik-bilik asmara, fasilitas-fasilitas, itu semuanya bayar. Dan karena bayar itu justru dianggap mereka berprestasi," ucapnya.

Hal senada juga dikatakan ahli hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih. Menurutnya jika korupsi merupakan musuh besar bagi negara seharusnya pemerintah tidak mengobral remisi dan PB. Sebab, tata cara penghitungan pengurangan hukuman itu juga masih belum jelas.

"Apakah PB dihitung setelah remisi, atau dihitung sejak putusan? Jadi remisi itu tidak mempengaruhi. Kalau remisi ini mempengaruhi dia dua tahun bisa dapat satu tahun dua bulan kalau agustusan dan hari raya dia dapat remisi, ya malah tekor," tandas Yenti.

Seharusnya, kata Yenti, pemerintah tidak begitu saja memberikan remisi secara maksimal. Ia mencontohkan jika narapidana maksimal mendapat remisi 3 bulan, padahal terpidana tersebut masuk kategori kejahatan luar biasa seperti korupsi. "Kenapa tidak 15 hari aja, kenapa bisa dapat 3 bulan? Itu kan dipertanyakan," tutur Yenti.

BACA JUGA: