JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengundang sejumlah lembaga penegak hukum untuk membahas kisruh upaya hukum lanjutan Peninjauan Kembali (PK), yang saat ini menjadi polemik apakah hanya boleh sekali atau berkali-kali seperti diputuskan Mahkamah Konstitusi. Koordinasi ini bertujuan agar tidak ada lagi polemik mengenai PK oleh para penegak hukum.

"Jadi kita coba mencari Common Ground supaya ini bisa kita laksanakan dengan baik, tidak elok kalau berdebat di media" kata Yasonna di kantornya, Jumat (9/1).

Menurut mantan Politisi PDI Perjuangan ini, PK yang dilakukan beberapa kali tidak memberikan kepastian hukum. Untuk itu, perlu ada pembatasan agar para terpidana cepat diproses atau dieksekusi. Apalagi, PK disinyalir hanya alasan para terpidana untuk menunda proses hukumnya.

"Artinya kita lihat kalau ada yang berpandangan itu cukup satu kali karena demi kepastian hukum. Ada yang lihat ini kan putusan MK, ada yang mengatakan putusan PK berkali-kali tapi harus dibatasi juga novumnya," cetusnya.

Saat ditanya apakah akan ada peraturan baru dengan diadakannya pertemuan ini, Yasonna masih belum berani berspekulasi. Menurutnya, hal itu harus dibicarakan kembali dengan Mahkamah Agung apakah surat edaran memang sudah cukup atau perlu dibuat peraturan yang lebih kuat terkait PK.

Sementara itu, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan pertemuan ini merupakan hal terbaik untuk menuntaskan polemik tentang PK. Mantan Politisi Partai Nasional Demokrat ini berharap ada jalan keluar supaya eksekusi terhadap narapidana tidak berlarut-larut.

Menurut Prasetyo, harus ada keselarasan antara keputusak MK dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). "Kita harus selaraskan antara keadilan dan kepastian hukum. Kedua-duanya  memberikan jalan keluar nanti," kata Prasetyo.

Dalam pembahasan ini selain dihadiri oleh Jaksa Agung HM Prasetyo, hadir pula para pejabat penegak hukum seperti Kabareskrim Komjen Pol Suhardi Alius, Hakim MA Artidjo Alkostar, Direktur Penuntutan KPK Ranu Mihardja, Menkopolhukam Tedjo Edy Purdijatno, dan Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie.

Sebelumnya, MA menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang peninjauan kembali (PK) yang hanya boleh satu kali. MA menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan PK berkali-kali tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebab, disinyalir putusan MK ini digunakan oleh para gembong narkoba untuk mengelak dari eksekusi mati.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 kali. SEMA itu ditandatangani Ketua MA Hatta Ali hari dan telah diedarkan kepada seluruh ketua pengadilan di seluruh Indonesia. MA menyatakan putusan MK itu non executable karena berdasarkan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat 2 menyatakan tegas tidak ada PK atas PK.

Dalam putusan itu, tertera bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Selain itu, dalam UU tentang Mahkamah Agung (MA) Pasal 66 ayat 1 juga menegaskan dengan nyata bahwa PK hanya satu kali

Dengan dasar hukum di atas, maka putusan MK yang menghapus ketentuan PK dalam KUHAP pada 6 Maret 2014, tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur di UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman.

BACA JUGA: