JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) bisa dilakukan berkali-kali dengan alasan keadilan. Namun upaya PK berkali-kali dinilai mengandung bahaya laten berseminya benih-benih korupsi. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membolehkan terpidana atau ahli warisnya sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya PK sebagai mana disebut dalam Pasal 286 Ayat (1) dengan berbagai alasan.

Ayat (2) pasal yang sama menyebutkan PK diajukan dengan alasan apabila ada ´keadaan baru´ atau novum;  apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan; dan terakhir apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan. Lalu pada Ayat (3) pengajuan PK hanya bisa dilakukan satu kali. Ayat ini yang dihapus oleh MK lewat putusannya yang diucapkan pada Kamis (6/3) kemarin.

Menurut pengamat hukum Roby Arya Brata putusan MK terkait PK bisa dilakukan lebih dari sekali akan berpengaruh pada proses hukum di Indonesia. Putusan tersebut bagai dua sisi mata uang. Satu sisi putusan tersebut menjadi ´angin surga´ bagi pencari keadilan di tengah sistem peradilan yang korup ini.

Namun di sisi lain, putusan tersebut dapat memunculkan ketidakpastian hukum. Misalnya, sampai kapan PK boleh terus diajukan dan dimanakah posisi MA. "Bahkan dengan putusan ini berpeluang terjadi korupsi," kata Arya kepada Gresnews.com, Sabtu (8/3).

Karena itu, salah satu yang bisa dilakukan adalah perlunya memberikan pembatasan dengan syarat formil yang juga lebih ketat. Misalnya novum serta fakta baru. Lagi-lagi Roby melihat pengajuan novum baru juga berpeluang memicu terjadinya korupsi. Sebab akan ada hakim yang memutus soal novum tersebut.

Peneliti dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mendukung PK berkali-kali dengan syarat formil berupa novum dan ketentuan yang lebih ketat. Salah satunya, putusan MK ini perlu segera ditindaklanjuti oleh MA dengan membuat surat edaran mengenai batas-batas waktunya. "Bagi saya ini positif, sebab KUHAP kita yang masih berkiblat ke Belanda, disana PK sudah bisa dilakukan berkali-kali," kata Erwin kepada Gresnews.com.

Pendapat yang tegas lagi disampaikan Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie. Dia menyebut putusan MK ini tidak perlu dikhawatirkan. Putusan ini kata Hamim justru menjamin keadilan bagi terpidana yang memiliki bukti-bukti baru atau novum tadi. Bahkan menurut Hamim, dalam kasus tertentu PK seharusnya dimungkinkan dapat menunda eksekusi.

Sesuai ketentuan Pasal 66 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, putusan kasasi harus langsung dieksekusi meski ada pihak yang mengajukan PK. "Praktik PK lebih dari sekali juga sesungguhnya sudah pernah dilakukan Mahkamah Agung antara lain  dalam Kasus Mochtar Pakpahan dan Pollycarpus," kata Hamim kepada Gresnews.com.

Bagi LBH Keadilan, di tengah kondisi demoralisasi penegakan hukum, PK berkali-kali sangat relevan. "Bisa dibayangan jika ada satu rekayasa kasus, yang kemudian seorang terdakwa dijatuhi hukuman mati dan tidak bisa mengajukan PK yang kedua, ketiga dan seterusnya. Padahal telah ada bukti baru yang ditemukan. Sungguh telah merampas rasa keadilan seorang terpidana," ujarnya.

Demoralisasi penegakan hukum tidak hanya akibat perilaku penegak hukum yang buruk, seperti rekayasa kasus oleh kepolisian, semakin banyaknya hakim dan jaksa yang terjerat kasus korupsi, hakim yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) serta jaksa dan advokat yang terseret kasus suap. Tetapi juga buruknya sejumlah peraturan perundang-undangan.

MK mengabulkan gugatan uji materi Pasal 268 ayat 3 UU KUHAP yang dimohonkan Antasari Azhar di Gedung MK Jakarta, Kamis (6/3). Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa Pasal 268 ayat 3 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga PK bisa dilakukan berkali-kali.

Menanggapi putusan tersebut, Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai pelaksana menghormati putusan MK itu. Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan putusan MK sudah final. Putusan MK sudah pasti telah dipertimbangkan matang-matang. "Saya belum baca seperti apa putusannya, apa yang menjadi putusan MK sudah dipertimbangkan, kita sebagai pelaksana kita hormati," kata Basrief di Kejakgung, Jumat (7/3) kemarin.

Putusan MK ini untuk memenuhi permohonan Antasari Azhar. Dalam pasal 268 ayat 3 KUHAP menyatakan PK hanya bisa diajukan satu kali. Pasal ini menghalangi Antasari yang diganjar 18 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Nazaruddin Zulkarnaen untuk kembali mengajukan PK. Sebelumnya PK Antasari ditolak MA.

Putusan MK itu diambil dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 22 Juli 2013 silam. Saat itu Ketua MK Akil Mochtar dengan anggota Achmad Sodiki, Ahmad Fadhil, Maria Farida Indarti, Anwar Usman, Harjono, Hamdan Zoelva, M Alim dan Arief Hidayat. Putusan RPH sempat megendap selama 7 bulan lamanya. Lalu Akil Mochtar tertangkap KPK pada Oktober 2013 lalu baru dibacakan pada Kamis kemarin.

BACA JUGA: