JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (19/2), secara resmi berkirim surat kepada tiga lembaga negara yakni Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR RI, dan Ketua Panitia Kerja Pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kementerian Hukum dan HAM RI. Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan ada lima hal yang tertuang dalam surat itu. Pertama, pengiriman surat bukan respon atas ketidaksetujuan KPK pada revisi RUU KUHAP dan RUU KUHP, namun KPK menilai revisi yang saat ini sedang berjalan tidak menjawab kebutuhan publik.

"Kedua, pembahasan kedua RUU itu tidak akan cukup dan utuh untuk dibahas dalam periode DPR kali ini, mengingat masa kerja DPR hanya tinggal 100 hari kerja," kata Johan Budi melalui sambungan telepon kepada Gresnews.com pada Rabu (19/2).

Ketiga, KPK mengusulkan agar pembahasan didahulukan mengenai RUU KUHP, sebelum RUU KUHAP. Keempat, KPK meminta kepada pemerintah untuk memperbaiki isi dari materi RUU KUHAP dan mengeluarkan pasal mengenai tindak pidana korupsi dan membuatnya dalam UU khusus korupsi. Kelima, meminta agar pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP dilakukan pada DPR periode 2014-2019.

Menanggapi surat KPK itu, anggota Komisi III dari Fraksi Keadilan Sejahtera Nasir Djamil menilai sikap KPK untuk menyurati Presiden, DPR dan Panja RUU KUHAP dan Panja RUU KUHP dinilai terlambat.  "Argumentasi KPK terlambat, seharusnya sebelum raker KPK meminta itu kepada Presiden," kata Nasir kepada Gresnews.com melalui pesan singkat, kemarin.

Nasir menambahkan, alasan KPK yang menilai pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP tidak akan efektif dalam masa sisa hari kerja DPR dinilai politisi senior PKS itu tidak tepat untuk meminta sebuah penghentian pembahasan RUU. Nasir menyatakan tidak setuju bila pembahasan mengenai RUU KUHAP dan RUU KUHP itu dihentikan.

Sebelumnya beberapa anggota Komisi III DPR RI menyayangkan sikap KPK yang hanya bermain melalui media untuk memprotes atas pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP. Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan, Eva Sundari menilai KPK lebih banyak menyampaikan sikap dan komentar melalui LSM. Menurut Eva, draft RUU KUHAP pengajunya pemerintah. Pemerintah, kata Eva, sudah menyiapkan draft naskah akademik RUU KUHAP sejak tahun 2000. Sehingga bila ada kontroversi mengenai pasal yang diajukan dalam draft RUU KUHAP, menurut Eva, protes tersebut harusnya dilayangkan ke pemerintah sebagai pihak pengaju.

Berikut 12 poin yang selama ini dipersoalkan dan dituding melemahkan pemberantasan korupsi maupun lembaga KPK:

Dihapuskannya ketentuan Penyelidikan
Ketentuan RUU KUHAP menghapuskan ketentuan penyelidikan dan hanya mengatur ketentuan penyidikan (Pasal 1 RUU KUHAP). Peniadaan fungsi penyelidik memiliki konsekuensi hukum bagi seluruh institusi penegak hukum, termasuk KPK. Hilangnya penyelidik dari institusi penegak hukum akan membuat beberapa kewenangan juga turut hilang. Penyelidik punya wewenang untuk memerintahkan pencekalan, penyadapan, pemblokiran bank termasuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Karena penyelidikan hilang, maka di KPK tidak boleh lagi dilakukan tindakan-tindakan itu, Pada tahap penyelidikan, penyelidik akan mengumpulkan barang bukti untuk meningkatkan perkara ke tahap penyidikan. Jika dua alat bukti sudah terkumpul, maka sebuah perkara bisa lanjut dari penyelidikan menjadi penyidikan. Namun, kalau penyelidikan ditiadakan dan langsung penyidikan, dengan begini penyidikan di KPK tidak dapat berjalan, Dengan tidak adanya penyelidikan, KPK dan lembaga penegak hukum lain tak bisa menelusuri, meminta keterangan, dan mengumpulkan alat bukti yang diperlukan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka suatu kasus.

KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHP
Pasal 3 ayat 2 RUU KUHAP mengatur tentang ketentuan dalam UU ini (KUHAP) berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi (sebagaimana diatur dalam UU KPK) yang saat ini digunakan KPK.

Penghentikan penuntutan suatu perkara
Pasal 44 RUU KUHAP mengatur tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hal ini bertentangan dengan semangat melakukan pemberantasan kejahatan tindak pidana luar biasa dalam UU KPK. Dalam UU tersebut KPK tidak dapat menghentikan penyidikan atau penuntutan.

Tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap Penyidikan
Pasal 58 RUU KUHAP mengatur tentang persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat) hari.  KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan.  Di sini, hanya disebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

Masa penahanan kepada tersangka lebih singkat
Masa Penahanan dalam RUU KUHAP lebih singkat dari UU KUHAP yang saat ini berlaku. Dalam Pasal 60 RUU KUHAP, masa penahanan ditingkat penyidikan hanya 5 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari. Bandingkan dengan masa penahanan dalam Pasal 24 KUHAP yang saat ini berlaku yaitu selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Jangka waktu penahanan penyidikan yang lebih singkat dari KUHAP saat ini dapat mengganggu proses penyidikan. Apalagi dalam menangani kasus korupsi, jumlah saksi jauh lebih banyak daripada jumlah saksi dalam persidangan kasus tindak pidana umum.

Hakim dapat menangguhkan Penahanan yang dilakukan penyidik
Pasal 67 RUU KUHAP mengatur tentang Penangguhan Penahanan dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa. Dampaknya adalah jika diminta tersangka atau terdakwa, maka Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.

Penyitaan  harus izin dari Hakim
Pasal 75 RUU KUHAP mengatur tentang Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik.

Penyadapan harus mendapat izin Hakim
Pasal 83 RUU KUHAP mengatur tentang Penyadapan pembicaraan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari Hakim. Jika hakim tidak setuju maka penyadapan KPK tidak dapat dilakukan.

Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur tentang dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dalam ketentuan lain disebutkan jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dapat dihentikan.

Putusan Bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas. Berdasarkan ketentuan tersebut, kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.

Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi
Pasal 250 KUHAP mengatur tentang Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Hal ini berdampak pada Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pengadilan pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika diajukan dikasasi. Ini menjadi celah bagi koruptor untuk mendapatkan korting/pengurangan jika prosesnya berlanjut hingga proses kasasi.

Ketentuan pembuktian Terbalik tidak diatur
RUU KUHAP tidak mengakomodir pembalikan beban pembuktian untuk kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Di aturan soal TPPU yang sekarang ada beban pembuktian terbalik sempurna, di mana seseorang harus menjelaskan asal-usul kekayaannya.


Berikut ini pasal-pasal dalam draft RUU KUHAP yang dinilai berpotensi melemahkan KPK

Pasal 1
Tidak diatur ketentuan Penyelidikan. Penyelidikan dan Penyidikan digabung,

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menentukan tersangkanya.

Pasal 3
(1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.
(2) Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.

Pasal 44
(1) Penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
(2) Sebelum memberi putusan tentang layak atau tidak layak suatu perkara dilakukan penuntutan ke pengadilan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat memeriksa tersangka dan saksi serta mendengar konklusi penuntut umum.
(3) Putusan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tentang layak atau tidak layak suatu perkara dilakukan penuntutan ke pengadilan adalah putusan pertama dan terakhir.
(4) Apabila Hakim Pemeriksa Pendahuluan memutus suatu perkara tidak layak dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka penuntut umum mengeluarkan surat perintah penghentian penuntutan.
(5) Apabila penuntut umum menemukan bukti baru atas perkara tersebut, penuntut umum meminta kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan agar diputuskan penuntutan dapat dilanjutkan.

Bagian Kedua
Penahanan

Pasal 58
 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka.
(2) Jika jaksa yang melakukan penahanan dalam tahap penyidikan tindak pidana tertentu, persetujuan penahanan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat) jam diberikan oleh:
a. kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri;
b. kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau
c. Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

(3) Untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan atas permintaan penyidik melalui penuntut umum berwenang memberikan persetujuan perpanjangan penahanan terhadap tersangka.
(4) Untuk kepentingan pada tahap penuntutan, hakim pengadilan negeri atas permintaan penuntut umum berwenang memberikan persetujuan penahanan terhadap terdakwa.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang menangani perkara tersebut berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa.

Pasal 60
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk waktu paling lama 5 (lima) hari oleh penyidik.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) hari oleh Penuntut Umum.
(3) Dalam jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penahanan secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dengan tembusan pada Penuntut Umum.
(4) Setelah menerima surat dari Penyidik, Hakim Pemeriksa Pendahuluan wajib memberitahu dan menjelaskan kepada tersangka melalui surat atau dengan cara mendatangi secara langsung mengenai:
 a. tindak pidana yang disangkakan terhadap tersangka;
 b. hak-hak tersangka; dan
 c. perpanjangan penahanan.
(5) Hakim Pemeriksa Pendahuluan menentukan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c diperlukan atau tidak.
(6) Dalam hal Hakim pemeriksaan pendahuluan berpendapat perlu perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, perpanjangan penahanan diberikan untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
(7) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan melakukan perpanjangan penahanan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberitahukannya kepada tersangka.
(8) Dalam hal masih diperlukan waktu penahanan untuk kepentingan:
    a. penyidikan, hakim pengadilan negeri berwenang melakukan penahanan atas permintaan penyidik yang ditembuskan kepada penuntut umum, untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan
    b. penuntutan, hakim pengadilan negeri berwenang melakukan penahanan atas permintaan penuntut umum, untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(9) Waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) atas permintaan penuntut umum dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dalam hal masih diperlukan dapat diberikan perpanjang lagi untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(10) Apabila jangka waktu perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terlampaui, penyidik dan/atau penuntut umum harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menghadapkan tersangka kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 67
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, sesuai dengan kewenangannya Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau hakim pengadilan negeri dapat menangguhkan penahanan dengan jaminan uang dan/atau orang.

Pasal 75
(1) Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan berdasarkan permohonan melalui penuntut umum.
(2) Penyidik wajib menunjukkan surat perintah penyitaan dan surat izin penyitaan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
(3) Dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2), penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
(4) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum dalam jangka waktu paling lama 1(satu) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penyitaan, untuk mendapat persetujuan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
(5) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan menolak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik atau pihak yang menguasai semula.

Pasal 83
 (1) Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan.
 (2) Tindak pidana serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindak pidana:
 a. terhadap Keamanan negara;
 b. perampasan kemerdekaan/Penculikan;
 c. pencurian dengan kekerasan;
 d. pemerasan;
 e. pengancaman;
 f. perdagangan orang;
 g. penyelundupan;
 h. korupsi;
 i. pencucian Uang;
 j. pemalsuan uang;
 k. keimigrasian;
 l. mengenai bahan peledak dan senjata api;
 m. terorisme;
 n. pelanggaran berat HAM;
 o. psikotropika dan narkotika; dan
 p. pemerkosaan.
 q. pembunuhan;
 r. penambangan tanpa izin;
 s. penangkapan ikan tanpa izin di perairan; dan
 t. pembalakan liar.

(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
(4) Penuntut umum menghadap kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersama dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alasan dilakukan penyadapan tersebut.
(5) Hakim Pemeriksa Pendahuluan mengeluarkan penetapan izin untuk melakukan penyadapan setelah memeriksa permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan atau menolak memberikan izin penyadapan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus mencantumkan alasan pemberian atau penolakan izin tersebut.
(8) Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dilaporkan kepada atasan penyidik dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Pasal 84
(1) Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum.
(2) Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
 a. bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak;
 b. permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau
 c. permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penyadapan dilakukan untuk mendapatkan persetujuan.
(4) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberikan persetujuan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penyadapan dihentikan.

Pasal 240
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.

Pasal 250
(1) Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, Pasal 242, dan Pasal 243 mengenai hukumnya, Mahkamah Agung dapat memutus untuk menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.

BACA JUGA: