JAKARTA, GRESNEWS.COM - Muatan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dinilai telah disusupi "penumpang gelap" kepentingan koruptor lewat penyelenggara negara. Karena sejumlah pihak meminta pembahasan RUU tersebut tidak dilanjutkan pembahasannya karena sejumlah pasalnya berpotensi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Menurut Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar, setidaknya ada 12 potensi pelemahan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK dalam RUU KUHAP.  Pertama, dihapuskannya ketentuan penyelidikan di Pasal 1. Kedua, KUHAP berlaku terhadap tindak pidanan yang diatur dalam KUHAP di Pasal 3 ayat 2. Ketiga, penghentian penuntutan suatu perkara di Pasal 44. Keempat, tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan di Pasal 58. Kelima, masa penahanan kepada tersangka lebih singkat di pasal 60. Keenam, hakim dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan penyidik di pasal 67. Ketujuh, penyidikan harus izin dari hakim di pasal 83. Kedelapan, penyadapan harus dapat dibatalkan oleh hakim di pasal 84. Kesembilan, penyitaan harus isin hakim di pasal 75. Sepuluh, putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada MA di pasal 84. Sebelas, putusan MA tidak boleh berat dari putusan pengadilan tinggi pasal 250. Terakhir, ketentuan pembuktian terbalik tidak diatur.

Abdul mengatakan soal penghapusan “penyelidikan” dalam RUU KUHAP patut dipertanyakan apa dasar pertimbangan. Jika alasannya hanya efisiensi biaya tidak masuk akal karena dengan tidak adanya “penyelidikan”  berapa banyak koruptor yang lolos dari jeratan hukum KPK. Apalagi KPK tidak mempunyai kewenangan menghentikan penyidikan (SP3) akan kesulitan dalam hal menuntut perkara yang tidak didahului dengan tindakan memvalidasi bukti-bukti tindak pidana korupsi dalam ranah penyelidikan. Dalam konteks ini hanya kepolisian dan kejaksaan yang memilikinya di samping lembaga intel  yang diperbantukan dalam penanganan kasus. "Jika pertimbangan mengamputasi kewenangan KPK, maka ini merupakan konspirasi paling jahat dari para koruptor berbulu penyelenggara negara," jelas Abdul Fickar kepada Gresnews.com, Senin (10/2).

Dugaan RUU ini diboncengi kepentingan tertentu makin kuat saat proses pembahasannya yang dinilai tidak transparan. Selain tertutup, pembahasan juga dilakukan malam hari. Bahkan YLBHI menuding adanya kepentingan Kepolisian. Itu didasari kehadiran jajaran Badan Reserse Kriminal Mabes Polri diakhir pembahasan pada 22 Januari 2014 malam itu. Kehadiran Bareskrim itu patut dipertanyakan karena institusi penegak hukum lain tidak hadir.
"Kehadiran Bareskrim perlu dipertanyakan dan dapat diduga ada kepentingan Polri di RUU ini," kata Staf Advokasi dan Kampanye YLBHI Wahyu Nandang di Kantor Indonesia Cooruption Wacth (ICW), Kamis lalu.

Menurut Wahyu salah satu kepentingan polisi dicabutnya ketentuan penyelidikan. Karena selama ini polisi kesulitan menangkap orang yang diduga terlibat dalam gerakan sosial. Sebab tak bisa dipungkiri jika polisi berkoalisi dengan kepentingan tertentu untuk melemahkan gerakan tersebut.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Shinta Agustina juga menduga adanya kepentingan koruptor di RUU KUHAP. Salah satunya, upaya melenyapkan eksistensi KPK dan pengadilan Tipikor. Karena RUU-KUHAP tidak menyebut institusi lain, selain subsistem SPP yang umum ada, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Keadaan ini jelas membahayakan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sekarang sudah terlihat gencar dengan KPK sebagai motornya.

Pelemahan terhadap pemberantasan korupsi semakin keras ketika menelisik beberapa ketentuan dalam RUU-KUHAP, diantaranya adalah ketentuan tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Kewenangan HPP ini sangat besar, tidak hanya dapat menentukan apakah upaya paksa termasuk penyadapan dapat dilakukan atau tidak, melainkan juga  dapat  menentukan apakah suatu perkara akan diadili atau tidak.

Dengan kata lain, suatu proses hukum yang telah dilakukan oleh penyidik, termasuk KPK, akan berhenti begitu saja hanya karena HPP menyatakan perkara tersebut tidak layak untuk diteruskan ke pengadilan. "Berbagai pengaturan dalam RUU-KUHAP jelas membunyikan lonceng senjakala bagi pemberantasan korupsi, bukan hanya bagi KPK," kata Shinta saat dihubungi terpisah.

BACA JUGA: